OECD dan IGF Kolaborasi Rilis Kerangka Kerja Transfer Pricing Penjualan Mineral
Oleh: Nendi Bahtiar, Rahma Alifatu Zahro dan Paskalis Pudyastomo
|
Thursday, 19 September 2024
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan Intergovernmental Forum on Mining, Minerals, Metals and Sustainable Development (IGF) merilis dokumen terkait kerangka kerja transfer pricing untuk bisnis di sektor pertambangan.
Ada tiga dokumen yang dirilis hasil kolaborasi OECD dan IGF tersebut. Dokumen pertama, berjudul Determining the Price of Minerals, A transfer pricing framework. Di dalamnya diuraikan mengenai tantangan negara-negara di dunia dalam meningkatkan pendapatan dari sektor pertambangan, spesifiknya mengenai risiko dan kerangka kerja transfer pricing transaksi penjualan mineral.
Dokumen kedua berjudul Determining the Price of Minerals, A transfer pricing framework for lithium. Seperti judulnya, dokumen ini berfokus pada risiko transfer pricing untuk penjualan lithium. Kemudian, dokumen ketiga berjudul Determining the Price of Minerals, A transfer pricing framework for bauxite yang berfokus pada kerangka kerja tranfer pricing penentuan harga jual bauksit.
Baca Juga: Pengertian, Sejarah dan Implementasi Arm’s Length Principle di Indonesia
Kerangka Kerja Bagi Otoritas di Dunia
Kedua publikasi ini menjadi penting bagi pemerintah, terutama di negara-negara berkembang karena berisikan kerangka kerja yang akan menjadi panduan dalam menyusun kebijakan transfer pricing di sektor pertambangan, khususnya pertambangan mineral.
Sementara bagi Wajib Pajak, panduan ini relevan dalam konteks memahami arah kebijakan global terkait kegiatan di sektor tersebut. Mengingat, kegiatan operasional termasuk transaksi di sektor tersebut sangat kompleks. Sehingga, terdapat risiko transfer pricing yang cukup signifikan dan harus diantisipasi oleh pelaku usaha.
Karena hanya berupa kerangka kerja, maka panduan ini tidak mengatur secara detail mengenai penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) dalam transaksi antar pihak afiliasi pada kegiatan usaha pertambangan.
Baca Juga: Memahami Ragam Pendekatan Dalam Penyusunan TP Doc
Risiko Transfer Pricing Sektor Pertambangan
Dalam publikasi ini OECD dan IGF mencoba mengingatkan setiap pemerintah di dunia, bahwa kegiatan usaha di sektor pertambangan memiliki risiko transfer pricing, terutama terkait keberadaan perusahaan multinasional di berbagai negara.
Risiko tersebut muncul pada setiap tahapan pada rantai nilai sektor pertambangan yang cukup kompleks. Rantai nilai tersebut meliputi, tahap eksplorasi, pengembangan, produksi, serta tahap pengolahan, peleburan dan pemurnian yang masing-masing di antaranya terdapat risiko yang berbeda.
1. Eksplorasi.
Tahap eksplorasi ini perusahaan berusaha menemukan potensi cadangan tambang. Proses ini dapat dilakukan baik oleh perusahaan secara in-house atau dengan melakukan outsource kepada pihak ketiga penyedia jasa. Adapun, risiko transfer pricing yang dapat muncul pada tahap ini adalah ketika adanya transaksi intra-grup, terkait jasa bantuan teknis dan penyewaan peralatan khusus.
2. Pengembangan.
Tahapan ini melibatkan studi kelayakan, perencanaan desain tambang, dan konstruksi. Beberapa risiko transfer pricing yang muncul dari tahap pengembangan adalah transaksi terkait pembiayaan, jasa teknis, jasa manajemen, kekayaan intelektual, penyewaan peralatan, serta pembelian peralatan dengan pihak afiliasi.
3. Produksi.
Pada tahap produksi pertambangan, risiko transfer pricing yang muncul adalah transaksi dengan pihak afiliasi terkait pembiayaan, jasa teknis, jasa manajemen, kekayaan intelektual, penyewaan peralatan, pembelian peralatan, serta komisi agen penjualan.
4. Pengolahan, pemurnian, dan peleburan.
Risiko transfer pricing yang muncul pada tahapan ini adalah ketika fasilitas pemurnian dan peleburan disediakan oleh pihak afiliasi serta adanya biaya yang berlebihan terkait proses tersebut. Risiko lain juga muncul ketika terdapat entitas dengan fungsi penjualan di antara tahap produksi dengan tahap pengolahan, pemurnian, dan peleburan. Biaya terkait penjualan yang berlebihan menjadi risiko transfer pricing tersendiri.
Baca Juga: Konsolidasikan Regulasi Terkait Transfer Pricing, Simak Uraian PMK 172/2023 Berikut
Utamakan Penggunaan Metode CUP
Dalam kerangka kerja ini, OECD dan IGF mendorong penggunaan metode Comparable Uncontrolled Price (CUP) dalam menentukan harga wajar suatu transaksi hasil tambang mineral. Hal ini didasari oleh faktor ketersediaan informasi harga mineral tambang.
Pasalnya, dalam menerapkan metode CUP faktor ekonomi yang relevan perlu diperhatikan sebagai dasar penyesuaian pembanding transaksi. Berikut di antaranya beberapa faktor ekonomi tersebut:
- Karakteristik produk, seperti spesifikasi dan kualitas komoditi tambang
- Kondisi dan situasi ekonomi ketika penjualan terjadi. Hal ini termasuk dinamika permintaan dan penawaran serta sovereign risk dari host country yang berpotensi memengaruhi operasional kegiatan tambang.
- Syarat-syarat kontrak, seperti jumlah yang diperdagangkan, syarat transportasi, syarat pembayaran, asuransi, periode penawaran, nilai tukar, serta biaya pengolahan dan pemurnian.
Namun demikian, penggunaan metode CUP hanya dapat digunakan apabila memenuhi dua syarat atau kondisi tertentu. Pertama, tidak ada perbedaan antara transaksi yang dibandingkan atau antara perusahaan yang melakukan transaksi tersebut secara material dapat memengaruhi harga di pasar terbuka. Kedua, setiap perbedaan material yang ada dapat dihilangkan dengan melakukan penyesuaian yang wajar dan akurat.
Baca Juga: Rilis E-Tax Guide 7th Edition, Singapura Perbarui Proses Audit Transfer Pricing dan MAP
Pendekatan Administratif Dalam Menetapkan Harga Mineral
Dengan kerangka kerja ini, diharapkan pemerintah di dunia memiliki panduan yang nantinya lebih detail dan spesifik untuk setiap jenis mineral atau hasil tambang. Sehingga, bisa memberikan kepastian transparansi, kejelasan dan kepastian hukum perpajakan kepada Wajib Pajak.
Misalnya, dalam hal menetapkan harga acuan atas transaksi dalam rantai nilai industri mineral. Termasuk bila transaksi tidak mencakup rantai nilai akhir atau ketika transaksi dilakukan atas mineral yang tidak sesuai dengan spesifikasi harga acuan.
• Pendekatan Safe Harbour
Sebagai contoh, pendekatan administratif yang dilakukan oleh Republik Guinea dalam menentukan harga wajar mineral jenis bauksit, yaitu dengan menggunakan pendekatan safe harbour. Dengan pendekatan ini, Guinea menetapkan ketika harga bauksit yang akan dijual sama atau lebih tinggi dari harga indeks, penjualan dianggap wajar.
Hanya saja, kelemahan pendekatan ini adalah tidak jarang harga indeks yang dipublikasikan lebih rendah dari harga pasar, sementara pemerintah tidak bisa melakukan koreksi. Sehingga, bagi pemerintah berisiko pendapatan pajak yang diperoleh lebih kecil dari yang seharusnya.
Adapun pendekatan safe harbour lebih tepat digunakan oleh yurisdiksi yang memiliki sumber daya administratif terbatas. Karena dalam konteks transfer pricing, pendekatan ini mewajibkan aturan bagi wajib pajak atau transaksi tertentu dan membebaskan aturan bagi wajib pajak lain yang memenuhi syarat dan ketentuan tertentu.
Secara umum, pendekatan ini menyederhanakan kepatuhan pajak serta berpotensi untuk diterapkan di negara yang memiliki sektor mineral besar tetapi dengan sumber daya audit yang terbatas.
• Relevansi Advance Pricing Agreement
Advance Pricing Agreement (APA) merupakan perjanjian antara satu atau lebih otoritas pajak dengan satu atau lebih perusahaan afiliasi untuk menetapkan harga transfer transaksi tertentu. Sebetulnya, metode ini dapat memberikan kepastian perlakuan pajak dan harga transfer pada transaksi afiliasi. Biasanya APA dilakukan secara bilateral dibanding unilateral atau multilateral.
Hanya saja, dalam konteks penetapan harga transfer di industri mineral, keberadaan APA belum tentu relevan. APA memang bisa memberikan kepastian perpajakan serta mengurangi biaya dan waktu untuk pemeriksaan terkait transfer pricing, tetapi juga memiliki beberapa kelemahan.
Beberapa di antaranya, besarnya sumber daya yang diperlukan dalam melakukan audit transfer pricing. Selain itu fasilitas APA tidak tersedia untuk semua wajib pajak, karena prosedur untuk merumuskannya dapat memakan biaya dan waktu yang tidak sedikit.
Kerangka Kerja Spesifik Untuk Litium dan Bauksit
Idealnya, setiap komoditas mineral memiliki panduan transfer pricing-nya masing-masing yang spesifik. Karena masing-masing hasil tambang mineral memiliki karakteristik pasar dan fisik yang berbeda. Namun, untuk saat ini OECD dan IGF baru merilis panduan kerangka kerja transfer pricing untuk mineral jenis litium dan bauksit.
Ada beberapa poin yang diungkapkan dalam kerangka kerja harga transfer mineral litium dan bauksit ini.
Perkembangan Industri
Litium merupakan mineral yang identik dengan industri yang tengah berkembang saat ini, yaitu kendaraan listrik karena menjadi salah satu komponen utama dalam baterai. Namun demikian, secara umum litium dapat diperjual-belikan baik dalam bentuk konsentrat atau bentuk kimia seperti katoda. Adapun perkembangan industri mineral litium dalam beberapa tahun semakin meningkat. Baik untuk perdagangan konsentrat maupun katoda litium.
Sementara bauksit adalah batuan sisa yang didominasi oleh mineral alumina trihidrat dan monohidrat, biasanya sebagai gibbsite, boehmite, dan diaspore. Bauksit juga merupakan bahan baku utama aluminium. Bauksit dimurnikan menggunakan proses Bayer untuk menghasilkan aluminium oksida, yang biasanya disebut alumina. Alumina digunakan terutama dalam peleburan logam aluminium; namun, alumina juga memiliki banyak kegunaan industri lainnya.
Indeks Harga Penjualan
Beberapa lembaga diketahui telah membuat indeks harga jual litium dan bauksit baik untuk harga kontrak maupun harga spot atau perdagangan jangka pendek.
Beberapa lembaga tersebut diantaranya seperti Argus Media, Asian Metals, Benchmark Mineral Intelligence, Fastmarkets, S&P Global Commodity Insights, dan Shanghai Metal Market. Namun, keberadaan indeks tersebut tidak bisa menggantikan harga yang memenuhi PKKU atau Arm’s Length Principle.
Penyesuaian Kesebandingan
Untuk melakukan penyesuaian kesebandingan transaksi penjualan litium dan bauksit, OECD dan IGF menguraikan, setidaknya ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan, yaitu karakteristik produk, keadaan ekonomi, dan ketentuan kontrak.