Pengertian, Sejarah dan Implementasi Arm’s Length Principle di Indonesia
Arif Azmi Rianto
|
Thursday, 01 August 2024
Transaksi antar pihak afiliasi sering kali menjadi sumber sengketa antara Wajib Pajak dengan Otoritas Pajak. Pasalnya, transaksi antar pihak afiliasi jamak dijadikan skema atau pengaturan dalam praktik penghindaran pajak.
Oleh karenanya, untuk memastikan transaksi tersebut tidak digunakan untuk tujuan penghindaran pajak, maka praktisi perpajakan di dunia menggunakan suatu pendekatan yang disebut Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU).
Dengan kata lain, PKKU atau Arm’s Lenght Principle merupakan alat ukur kewajaran suatu transaksi yang dilakukan antar pihak afiliasi. Secara garis besar, ALP memiliki pandangan bahwa entitas yang memiliki hubungan afiliasi, harus dilihat sebagai entitas terpisah dan diperlakukan seperti halnya pihak independen ketika melakukan transaksi.
Baca Juga: Pahami Prinsip Kewajaran Usaha dan Konsekuensinya Dalam Transfer Pricing
Lahirnya Pendekatan ALP
Secara harfiah, terminologi Arm’s length dalam Bahasa Inggris diartikan sebagai upaya menjaga jarak atau menghindari kedekatan dengan pihak lain. Penggunaan frasa ini menyiratkan adanya upaya pemisahan walaupun transaksi dilakukan dengan pihak afiliasi.
Sementara dalam Bahasa Indonesia, Arm’s Lenght Principle (ALP) diterjemahkan sebagai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU). Jadi, ketika Wajib Pajak melakukan transaksi afiliasi, pihak afiliasi harus diperlakukan sebagaimana wajar dan lazimnya transaksi dilakukan dengan pihak independen dalam kegiatan usaha sehari-hari.
ALP lahir dari kehawatiran pegiat ekonomi dan praktisi pajak di dunia, akan masifnya kegiatan penghindaran pajak melalui mekanisme pengalihan keuntungan pada transaksi afiliasi. Oleh karenanya, di awal Abad ke-20 League of Nations atau Liga Bangsa-Bangsa mulai memasukan ALP ke dalam Draft Convention for the Allocation of Business Income between States.
Baca Juga: Mutual Agreement Procedure Pecah Kebuntuan Sengketa Pajak Berganda
Dalam rumusannya, ALP memuat dua kaidah yang harus dipenuhi oleh prinsip perpajakan internasional. Pertama, prinsip penghindaran pajak berganda. Kedua, prinsip alokasi keuntungan grup usaha secara adil.
Pendekatan Entitas Terpisah
Untuk menjalankan kedua prinsip tersebut, maka digunakanlah pendekatan penciptaan pertambahan nilai (value-added creation) sebagai dasar alokasi keuntungan sebuah grup usaha untuk keperluan perpajakan. Maksudnya, setiap entitas dengan porsi nilai tambah lebih besar akan dianggap sebagai pihak yang memiliki keuntungan lebih besar secara fiskal.
Dari konsep inilah kemudian muncul pilar penting dalam transfer pricing, yaitu pendekatan entitas terpisah atau separate entity approach. Pendekatan ini berpandangan bahwa semua entitas yang tergabung dalam grup usaha harus diperlakukan seolah-olah tidak memiliki hubungan istimewa.
Pendekatan ALP yang digunakan oleh negara-negara dan yurisdiksi di dunia berpedoman pada Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Model Tax Convention dan United Nation (UN) Model Tax Convention. Kedua konvensi tersebut, masing-masing kemudian diturunkan lagi ke dalam OECD Transfer Pricing Guidelines dan UN Transfer Pricing Manual.
Dalam implementasinya, setiap negara yang menjalankan praktik perpajakan internasional harus membuat kesepakatan antar negara, misalnya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau yang dikenal dengan sebutan Tax Treaty.
Sementara itu, di tingkat domestik ketentuan mengenai ALP tertuang di dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-undang tentang Pajak Penghasilan (PPh). Beleid itu menyebutkan bahwa setiap penetapan harga transfer antar pihak yang memiliki hubungan istimewa harus menerapkan ALP atau berdasarkan harga pasar wajar.
Tidak hanya itu, baik konvensi dan panduan internasional maupun aturan domestik juga memberikan wewenang kepada otoritas pajak menguji penerapan ALP oleh Wajib Pajak, apakah telah sesuai dengan ketentuan atau belum.
Pendekatan Unifikasi
Dalam beberapa kondisi, pendekatan entitas terpisah atau separate entity approach tidak dapat diterapkan. Misalnya, ketika transaksi dilakukan oleh Grup Usaha dengan sinergi yang bersifat unik. Sehingga, sulit untuk dinilai dan dibandingkan dengan keadaan pasar yang tidak terpengaruh oleh hubungan afiliasi.
Banyak transaksi yang kemungkinan tidak dilakukan antar pihak independen seperti, notional pooling, guarantee fee, atau kegiatan usaha antara dua entitas atau lebih yang saling terkait operasionalnya. Karenanya, sulit untuk menilai kesebandingannya jika menggunakan pendekatan entitas terpisah.
Pada kondisi sepetri itu, OECD Transfer Pricing Guidelines dan UN Transfer Pricing Manual, memungkinkan Wajib Pajak untuk menggunakan pendekatan unifikasi. Hal ini salah satunya tercermin pada penerapan metode pembagian laba atau profit split.
Walaupun tidak menggunakan pendekatan entitas terpisah, metode ini tidak meninggalkan prinsip dasar yang sebelumnya disebutkan. Prinsip dasar penentuan alokasi laba tetap mengacu pada konsep pertambahan nilai yang diciptakan oleh masing-masing entitas yang kegiatan usahanya saling terkait.
Implementasi pendekatan unifikasi memang terlihat lebih sederhana. Namun pada praktiknya tidak mudah. Karena sebagaimana panduan yang diterbitkan OECD, pendekatan ini dapat dilaksanakan bila terjadi konsensus atau kesepakatan bersama antar negara.
Hal ini menjadi tantangan karena masing-masing negara memiliki standar dalam penentuan faktor pengalokasian laba, standar akuntansi serta formula penghitungan alokasi laba yang tidak sama. (ASP)
Peraturan terkait atau sumber Informasi:
- OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations 2022;
- United Nations Practical Manual on Transfer Pricing for Developing Countries 2022;
- OECD Model Tax Convention on Income and on Capital;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana diubah pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana diubah pada UndangUndang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.