Hybrid Mismatch Arrangement, Instrumen Anti Tax Avoidance di PP 55/2022
Iffa Nurlatifah, Isna Nurlaeli, dan Choirunnisa Nadilla Safitri
|
Friday, 03 March 2023
Setiap korporasi yang berorientasi profit akan berupaya memaksimalkan pendapatan dan meminimalkan labanya melalui berbagai cara. Misalnya lewat skema penghindaran pajak alias Tax Avoidance.
Tax Avoidance merupakan upaya seseorang atau korporasi dalam memanfaatkan kelemahan-kelemahan atau loophole dari ketentuan perpajakan di suatu negara. Tujuannya, agar bisa membayar kewajiban pajaknya lebih kecil dari yang seharusnya.
Selain itu, bisa juga dengan memanfaatkan perbedaan aturan perpajakan yang berlaku antara satu negara dengan negara lain, lewat modifikasi transaksi. Cara ini sering disebut dengan Hybrid Mismatch Arrangement yang secara regulasi legal, karena tidak ada aturan yang dilanggar.
Masalahnya, Hybrid Mismatch Arrangement ini dianggap dapat menggerus penerimaan pajak suatu negara. Sehingga, banyak negara, termasuk Indonesia yang berusaha menutup celah-celah perbedaan regulasi yang sering dipakai untuk menghindari pajak.
Baca Juga: Cegah Penghindaran Pajak, PP 55/2022 Adopsi Ketentuan Biaya Pinjaman Baru
Best Practice OECD
Sebetulnya, upaya pembatasan praktik Hybrid Mismatch Arrangement sudah diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), melalui 15 rencana aksi penggerusan basis pajak dan pemindahan keuntungan atau Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan.
Khususnya, melalui rencana aksi yang disebut Neutralising the Effects of Hybrid Mismatch Arrangement yang terdapat pada BEPS Action Plan ke-2.
Menurut OECD, Hybrid Mismatch Arrangement sebagai suatu aturan yang memanfaatkan perbedaan dalam perlakuan perpajakan atas instrumen, entitas, atau transfer antara dua atau lebih negara.
Secara rinci, Hybrid Mismatch Arrangement terdiri dari beberapa elemen. Pertama, Hybrid Entities, yaitu suatu entitas diperlakukan sebagai entitas transparan untuk tujuan perpajakan di satu negara, sekaligus entitas nontransparan di negara lainnya.
Kedua, Dual Resident Entities, yaitu suatu entitas yang merupakan residen di dua negara berbeda untuk tujuan perpajakan.
Ketiga, Hybrid Instruments, yaitu suatu instrumen yang memiliki perbedaan perlakuan di negara-negara yang terlibat. Contohnya, suatu instrumen dianggap sebagai utang di suatu negara namun dinggap modal di negara lain.
Keempat, Hybrid Transfers, yaitu adanya perbedaan pengaturan terkait pengalihan kepemilikan aset di suatu negara, namun dianggap sebagai penjaminan utang di negara lainnya.
Baca Juga: Penegasan Secondary Adjustment Harga Transfer Sebagai Dividen
OECD menyebut ada beberapa dampak yang diakibatkan dari penggunaan Hybrid Mismatch Arrangement ini. Pertama, menimbulkan double deduction schemes atau skema pengurangan berganda, di mana suatu pengurang penghasilan untuk tujuan perpajakan diklaim di dua negara yang berbeda.
Kedua, deduction/no inclusion schemes atau skema pengakuan pengurangan dan noniklusi. Hal ini terjadi karena ketentuan pajak di suatu negara menyebabkan adanya pengakuan biaya di negara tersebut, biasanya pengurangan biaya bunga, tetapi tidak dianggap penghasilan di negara lain.
Ketiga, foreign tax credit generators, yaitu suatu pengaturan di mana suatu entitas menghasilkan kredit pajak luar negeri yang seharusnya tidak tersedia, setidaknya tidak sampai tingkat yang sama, atau tidak tanpa penghasilan luar negeri kena pajak yang lebih sesuai.
Baca Juga: Lewat PP 55/2022, Kesepakatan Harga Transfer Bisa Dilakukan Multilateral
Respons Indonesia
Indonesia, dalam beleid yang terbaru, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 yang mulai berlaku pada 12 Desember 2022 ini, berupaya meminimalisir praktik Hybrid Mismatch Arrangement.
Pasal 32 ayat (2) huruf h aturan tersebut menyebut, Menteri Keuangan berwenang menghitung kembali besaran pajak yang seharusnya terutang wajib pajak yang memanfaatkan perbedaan perlakuan perpajakan, atas suatu instrumen atau entitas di negara atau yurisdiksi tempat domisilinya.
Berdasarkan Pasal 43 ayat (1), setiap transaksi pembayaran yang dilakukan wajib pajak di dalam negeri kepada wajib pajak di luar, tidak akan dibebankan sebagai biaya yang mengurangi penghasilan apabila memenuhi dua kondisi.
Pertama, bila pembayaran tersebut tidak diperhitungkan sebagai penghasilan Wajib Pajak luar negeri yang dikenakan pajak di yurisdiksi oleh Wajib Pajak luar negeri tersebut berdomisili atau deduksi-noniklusi.
Kedua, bila pembayaran tersebut dibebankan sebagai pengurang penghasilan Wajib Pajak luar negeri di yurisdiksi Wajib Pajak luar negeri tersebut berdomisili atau deduksi dobel.
Dengan kata lain, pembayaran yang tidak dikenakan pajak baik di Indonesia maupun di luar negeri tidak dapat dibebankan sebagai biaya pengurang penghasilan kena pajak. Tujuannya, agar pembayaran yang dilakukan dapat dikenakan pajak di Indonesia sebagaimana mestinya.
Contohnya, perbedaan perlakuan perpajakan atas convertible bond atau obligasi yang dapat dikonversi menjadi saham yang menurut ketentuan domestik, dianggap sebagai utang, di mana pembayaran bunga atas utang tersebut dapat menjadi pengurang penghasilan.
Sedangkan, di negara lain, convertible bond dapat dianggap sebagai modal dimana penghasilan yang diterima dari modal tersebut akan diperlakukan sebagai dividen.
Baca Juga: Rugi Fiskal Tiga Tahun, DJP Bisa Koreksi Harga Transfer
Jadi, bila berdasarkan ketentuan di negara tersebut dividen tidak dikenakan pajak, Wajib Pajak akan memperoleh manfaat pajak, berupa pengurangan penghasilan atas biaya pembayaran bunga sekaligus manfaat pengecualian pajak atas dividen.
Tanpa ada Hybrid Mismatch Arrangements, Wajib Pajak dalam negeri akan menerima kedua manfaat tersebut.
Dengan adanya ketentuan Hybrid Mismatch Arrangements, biaya pembayaran bunga atas suatu hybrid instrument (convertible bonds) di Indonesia tidak dapat menjadi pengurang penghasilan, karena telah menerima manfaat tidak dikenakan pajak di negara lain tersebut.
Hanya saja, agar bisa berlaku efektif ketentuan Hybrid Mismatch Arrangements di dalam PP Nomor 55 Tahun 2022 ini memerlukan aturan teknis yang dituangkan di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Kita tunggu. (ASP)