Lewat PP 55/2022, Kesepakatan Harga Transfer Bisa Dilakukan Multilateral
Amanda Solihah dan Yusrizal Karunia
|
Monday, 06 February 2023
Permohonan kesepakatan harga transfer atau Advance Pricing Agreement (APA) kini bisa dilakukan secara multilateral. Hal ini tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, yang mulai berlaku sejak 12 Desember 2022.
Dengan demikian, kini ada tiga jenis permohonan APA yang berlaku di Indonesia. Setelah, sebelumnya ada dua jenis permohonan APA yang berlaku, seperti yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 22/PMK.010/2020. Pertama, permohonan APA bilateral dan kedua permohonan APA unilateral.
APA unilateral merupakan, perjanjian tertulis antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Wajib Pajak (WP). Kemudian APA bilateral merupakan perjanjian tertulis antara DJP dengan suatu otoritas pajak pemerintah negara atau yurisdiksi mitra yang terikat perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dan melibatkan wajib pajak.
Sedangkan yang dimaksud dengan APA multilateral yaitu perjanjian tertulis antara DJP dengan beberapa otoritas pajak pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B atau tax treaty yang melibatkan Wajib Pajak.
Baca Juga: Cegah Penghindaran Pajak, PP 55/2022 Adopsi Ketentuan Biaya Pinjaman Baru
APA Unilateral
Dalam menjalankan proses APA unilateral, DJP akan melakukan negosiasi dengan WP secara langsung. Kesepakatan yang dibuat kemudian akan mengikat kedua belah pihak.
Namun, kesepakatan tersebut hanya berlaku untuk transaksi afiliasi di Indonesia saja. Sementara, atas transaksi afiliasi lintas negara masih terdapat risiko terkena pemajakan berganda atau double taxation.
Risiko itu muncul jika otoritas pajak negara mitra P3B tidak setuju dengan kesepakatan unilateral atas transaksi afiliasi lintas negara tersebut.
APA Bilateral dan Multilateral
Kesepakatan APA Bilateral dan Multilateral dibuat untuk menutup celah pemajakan berganda yang masih terjadi, meskipun telah dilakukan APA unilateral. Sebab, proses negosiasi yang dilakukan dalam permohonan APA bilateral atau multilateral akan melibatkan otoritas pajak negara mitra.
Sehingga, kesepakatan yang dihasilkan akan mengikat tidak hanya antara WP dengan DJP, tetapi juga dengan otoritas pajak negara mitra.
Baca Juga: Memahami Tiga Metode Harga Transfer Baru Dalam PP 55 Tahun 2022
Ruang Lingkup APA
Merujuk PP Nomor 55 Tahun 2022 Pasal 45 ayat (4), kesepakatan APA dapat mencakup seluruh atau sebagian transaksi afiliasi dalam suatu periode.
Kesepakatan tersebut dapat dibuat, baik untuk transaksi yang belum terjadi, atau jika diperlukan dapat juga berlaku untuk tahun pajak sebelum periode APA, sepanjang tahun pajak tersebut (roll-back).
Di samping itu, permohonan APA bisa diajukan untuk transaksi afiliasi antara sesama WP dalam negeri atau antara WP dalam negeri dengan luar negeri.
Terkait roll-back, menurut PMK Nomor 22/PMK.010/2020, hanya dapat dilakukan jika transaksi memenuhi kriteria berikut:
- Secara material, fakta dan kondisi transaksi afiliasi tidak berbeda dengan fakta dan kondisi transaksi afiliasi yang telah disepakati dalam APA;
- Belum daluwarsa penetapan;
- Belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) PPh;
- Tidak sedang dilakukan penyidikan tindak pidana atau sedang menjalani pidana di bidang perpajakan.
Secara umum, kriteria penentuan harga transfer dalam permohonan APA paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
- Identitas pihak afiliasi yang dicakup dalam APA;
- Transaksi afiliasi yang dicakup dalam APA;
- Metode penentuan harga transfer yang digunakan;
- Cara penerapan metode penentuan harga transfer yang disepakati; dan
- Asumsi kritis yang mempengaruhi penentuan harga transfer.
Adapun asumsi kritis yang memengaruhi penentuan harga transfer yang dimaksud paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
- Ketentuan kontraktual tertulis dan tidak tertulis terkait transaksi afiliasi;
- Fungsi yang dilakukan masing-masing pihak yang bertransaksi, aktiva yang digunakan, dan risiko yang diasumsikan terjadi dan ditanggung oleh para pihak tersebut;
- Karakteristik transaksi dan para pihak yang melakukan transaksi afiliasi; dan
- Kondisi ekonomi yang mempengaruhi penentuan harga transfer.
Cara Mengajukan APA
APA dapat dilaksanakan dengan dua cara. Pertama, WP berinisiatif mengajukan permohonan kepada DJP.
Kedua, DJP menerbitkan surat pemberitahuan kepada DJP atas permohonan yang disampaikan WP luar negeri atau pejabat otoritas pajak di negara mitra. Cara ini biasanya terjadi pada permohonan APA bilateral atau multilateral.
Setelah permohonan APA diajukan, DJP akan membahas dan melakukan negosiasi untuk menetapkan metode transfer pricing yang akan digunakan, beserta perkiraan rentang kewajarannya.
Penetapan metode transfer pricing dilakukan dengan mempertimbangkan fakta dan asumsi kritis, agar sesuai dengan perubahan kondisi pasar.
Agar APA tetap mencerminkan kondisi yang arm’s length, penyesuaian APA harus bersifat fleksibel dan menyesuaikan dengan kondisi pasar.
Apabila kedua belah pihak sudah sepakat, DJP akan menindaklanjutinya dengan menerbitkan surat keputusan tentang pemberlakuan kesepakatan harga transfer. Kemudian, setelah proses APA selesai, DJP berwenang untuk mengawasi pemberlakuan APA tersebut.
Urgensi Keberadaan APA
Keberadaan APA sangat penting, terutama bagi perusahaan yang memiliki transaksi afiliasi. Sebab, melalui APA, WP bisa menentukan harga transfer, harga wajar dan/atau laba wajar di muka yang disepakati oleh DJP atau otoritas pajak di negara mitra P3B.
Jika merujuk The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pengertian APA yaitu pengaturan yang berisi kriteria dalam menentukan harga transfer antar pihak yang memiliki hubungan istimewa dalam periode tertentu sebelum transaksi terjadi.
Dengan begitu, WP bisa terhindar dari risiko terkena pajak berganda. Sementara di sisi fiskus, keberadaan APA bisa meminimalisir risiko sengketa pajak yang ditimbulkan perbedaan analisis atas suatu harga transfer.
Minimalisir Ketidakpastian
Selain dapat menghindarkan WP dari pengenaan pajak berganda, ada beberapa keuntungan lain yang bisa diperoleh dari pelaksanaan APA.
Pertama, APA dapat meminimalisir ketidakpastian karena kemampuannya dalam memprediksi perlakuan pajak pada transaksi internasional. Hal ini bisa membuat perusahaan lebih nyaman ketika melakukan investasi.
Kedua, WP akan mendapat kesempatan untuk berdiskusi dan bekerja sama dengan otoritas pajak. Hal itu dapat mengurangi pemeriksaan pajak yang memakan biaya dan waktu.
Namun, di samping sejumlah keuntungan yang ditawarkan, APA juga memiliki beberapa risiko yang harus diperhatikan baik oleh WP maupun DJP.
Bagi DJP, pelaksanaan APA akan menambah beban administratif, terutama karena penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tadinya dialokasikan untuk proses pemeriksaan, advisory maupun litigasi. Apalagi, tidak ada jaminan bahwa proses APA akan menghasilkan suatu kesepakatan.
Bagi WP, proses APA yang tidak menghasilkan kesepakatan bisa menimbulkan risiko lain. Yaitu, informasi yang sudah diberikan bisa digunakan oleh otoritas pajak untuk melakukan pemeriksaan. (ASP)