Rugi Fiskal Tiga Tahun, DJP Bisa Koreksi Harga Transfer
Dewi Mita Rozali
|
Monday, 13 February 2023
Kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam melakukan benchmarking, dalam konteks menghitung kembali nilai pajak terutang, diubah.
Sebelumnya, di dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), kewenangan itu hanya berlaku atas perusahaan yang telah melakukan penjualan secara komersial selama lima tahun.
Namun, di dalam Pasal 32 ayat (2) huruf f Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, kewenangan itu juga berlaku atas perusahaan yang membukukan kerugian fiskal selama tiga tahun berturut-turut.
Kemudian dalam Pasal 41 beleid yang sama, dalam melakukan benchmarking, DJP akan membandingkan kinerja keuangan dalam usaha sejenis. Perbandingan dilakukan untuk menentukan pajak yang seharusnya terutang oleh WP.
Terkait hal tersebut, ada dua hal yang wajib diperhatikan oleh DJP sebagai pembuat kebijakan dan korporasi yang telah melakukan penjualan komersial selama lima tahun dan mencatatkan kerugian fiskal selama tiga tahun berturut-turut. Pertama, karakteristik industri perusahaan. Kedua, kinerja keuangan perusahaan.
Karakteristik Industri
Setiap industri memiliki karakter yang bisa saja berbeda dengan industri lainnya. Oleh karenanya, WP maupun fiskus yang melakukan benchmarking harus memahami karakteristik dari perusahaan yang tengah dianalisis.
Sebab bisa saja, kerugian yang dialami suatu perusahaan terjadi karena strategi bisnis yang harus dilakukan. Bukan terjadi karena adanya transaksi afiliasi. Misalnya, kerugian yang dialami oleh perusahaan rintisan atau startup.
Bagi perusahaan-perusahaan rintisan, periode lima tahun bukanlah waktu untuk mendulang profit, tetapi dijadikan momentum untuk mendorong pertumbuhan bisnis, menggunakan dana investasi dari venture capital.
Selama periode itu, perusahaan rela untuk merugi dan mengalokasikan sebagian besar modalnya untuk investasi supaya dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Terkait hal ini kita bisa berkaca pada contoh perusahaan teknologi asal Amerika Serikat, Amazon. Perusahaan yang didirikan Jeff Bezos itu, mengalami kerugian di lima tahun pertama berdiri karena harus fokus pada investasi sistem IT serta memperluas bisnisnya.
Contoh lainnya adalah perusahaan rintisan berstatus Unicorn asal tanah air, Gojek Tokopedia (GOTO) yang masih merugi sejak awal berdiri pada tahun 2015. Catatan minus itu terjadi karena perusahaan fokus pada kegiatan investasi.
Faktanya, sepanjang tahun 2021 saja GOTO menggelontorkan dana sebesar Rp 92 triliun untuk memperluas bisnisnya melalui Merger dan Akuisisi meski masih rugi.
Dengan demikian, bagi Wajib Pajak yang masih mengalami kerugian setelah 5 tahun beroperasi secara komersial perlu mempersiapkan data dan kajian. Hal ini akan berguna jika perusahaan harus membuktikan bahwa kerugian yang dialami bukanlah karena faktor transaksi afiliasi.
Kinerja Keuangan
Benchmarking atas kinerja keuangan biasanya direprestasikan dengan kondisi laba usaha sebuah perusahaan. Sementara dalam praktiknya, perbandingan laba dapat dilakukan dengan metode penentuan harga transfer Transactional Net Margin Method (TNMM).
Adapun, TNMM merupakan merupakan metode transfer pricing yang membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya, penjualan, aktiva, atau lainnya atas transaksi antara terafiliasi, dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
Menurut The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), sebagaimana tertuang di dalam OECD Transfer Pricing (TP) Guidelines 2022 paragraf 2.77, dalam menilai kinerja laba perusahaan dengan metode Transfer Pricing TNMM, ada beberapa faktor yang memengaruhi kinerja laba suatu perusahaan, seperti:
- Ancaman pendatang baru
- Tingkat kompetitif perusahaan
- Efisiensi manajemen dan strategi individu
- Ancaman produk pengganti
- Struktur biaya yang bervariasi
- Perbedaan biaya modal, dan
- Tingkat siklus bisnis perusahaan.
Masalahnya, faktor-faktor yang memengaruhi laba setiap perusahaan diatas, tidak sama. Sehingga, tidak semua transaksi afiliasi bisa dianalisis menggunakan TNMM karena dalam beberapa kasus metode ini tidak cukup andal jika dibandingkan dengan metode lainnya.
Misalnya, jika perusahaan memiliki struktur modal besar yang bisa memproduksi barang dengan kapasitas yang besar pula dan sudah mempunyai merek yang kuat di pasar, tidak akan sebanding dengan perusahaan yang struktur modalnya kecil dan sulit meningkatkan kapasitas produksi.
Aturan di Negara lain
Berbeda dengan aturan di Indonesia, ketentuan transfer pricing di Singapura dibuat lebih rinci karena mencakup kategori perusahaan yang mempunyai risiko harga transfer yang tinggi.
Dikutip dalam Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) Nomor 7.5, otoritas pajak Singapura akan melakukan audit transfer pricing kepada wajib pajak berdasarkan indikator risiko. Seperti, jumlah transaksi afiliasi antar-negara yang signifikan, kinerja bisnis perusahaan dari waktu ke waktu, hingga adanya kemungkinan pengecilan laba kena pajak melalui penetapan harga transfer yang tidak sesuai.
Jika ada perusahaan yang mengalami kerugian berulang, IRAS akan mengelompokkannya terlebih dahulu sebagai perusahaan yang berisiko. Jadi, perusahaan tidak akan langsung diaudit atau dilakukan koreksi transfer pricing.
Ada beberapa indikator tambahan lain yang akan digunakan IRAS, untuk menilai apakah perusahaan perlu dilakukan audit atau tidak.
Sejalan dengan IRAS, The Australian Tax Office (ATO) atau otoritas pajak Australia juga akan mengelompokkan perusahaan berdasarkan risiko transfer pricing. Adapun perusahaan yang mempunyai risiko transfer pricing tinggi menurut ATO adalah yang memenuhi tiga indikator.
Pertama, cross border transaction dengan pihak afiliasi dalam jumlah yang signifikan. Kedua, perusahaan yang membayar pajak lebih kecil dibandingkan standard industry. Ketiga, perusahaan yang baru melakukan restrukturisasi bisnis yang memengaruhi cross border transaction.
Perlu Penegasan
Sebenarnya, perbandingan kinerja suatu perusahaan dengan perusahaan lain dalam industri sejenis bisa dijadikan screening awal oleh DJP, dalam menemukan indikasi praktik penghindaran pajak. Sementara untuk pembuktiannya, diperlukan kriteria dan penilaian lain.
Selain itu dalam aturan pelaksanaannya, perlu ditegaskan bahwa perusahaan dengan transaksi afiliasi domestik yang tidak memanfaatkan kerugian Pajak Penghasilan (PPh) Badan, PPh Final dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikeluarkan dari ketentuan ini. Sebab, transaksi afiliasi yang dilakukan hanya antar pihak afiliasi di dalam Negeri yang mempunyai tarif pajak yang sama. Hanya wilayah pemeriksaannya saja yang berbeda.
Karena itu, menarik untuk kita tunggu seperti apa peraturan teknis benchmarking yang akan dikeluarkan oleh pemerintah ini nantinya. (ASP)