Penyusunan Formula Kebijakan Pajak Dinilai Diskriminatif
Wednesday, 09 June 2021
JAKARTA. Rencana pemerintah untuk merombak kembali kebijakan pajak melalui revisi Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan dinilai diskriminasi.
Pasalnya, formula kebijakan yang disusun terlalu banyak memberi kemudahan kepada masyarakat kelas atas. Sebaliknya, beberapa rencana kebijakan malah membebani masyarakat kelompok bawah.
Mengutip Bisnis Indonesia, edisi Rabu (9/6), diskriminasi tampak pada langkah pemerintah yang memangkas tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 25% menjadi 22% mulai tahun 2020 dan akan kembali lebih rendah menjadi 20% pada tahun 2022.
Baca Juga: Revisi UU Pajak: Tax Amnesty, Pajak Minimum Korporasi, dan PPN Naik
Kebutuhan Pokok Dikenai PPN
Sementara itu, pemerintah malah berencana menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan menyasar barang-barang kebutuhan pokok, dengan menghapusnya dari barang yang tidak dikenai PPN.
Mengutip cnbcindonesia.com, beberapa barang kebutuhan pokok yang akan dikenai PPN tersebut diantaranya:
- beras dan gabah
- jagung
- sagu
- kedelai
- garam konsumsi
- daging
- telur
- susu
- buah-buahan
- sayur-sayuran
- ubi-ubian
- bumbu-bumbuan
- gula konsumsi
Baca Juga: Dibedakan, Berikut Tarif PPN Kebutuhan Pokok, Produk UMKM dan Barang Mewah
Direncanakan Sejak 2016
Bisnis Indonesia juga menyebut formula kebijakan tersebut merupakan hasil negosiasi antara pemerintah dengan pelaku usaha, ketika menyusun program tax amnesty pada tahun 2016.
Selain itu, penyusunan RUU KUP tersebut juga dinilai sudah memperhitungkan kebijakan pajak global, yang mendorong optimalisasi PPN dibandingkan PPh.
Sumber Penerimaan Terbatas.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto menilai, langkah pemerintah tersebut dilakukan karena sumber penerimaan yang terbatas. Sementara pemerintah dibebani target penerimaan yang tinggi untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). (asp)