Regulation Update

Simak, Perubahan Ketentuan Umum Perpajakan dalam UU HPP

Thursday, 14 October 2021

Simak, Perubahan Ketentuan Umum Perpajakan dalam UU HPP

Disahkannya, Undang-undang (UU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), telah mengubah sejumlah ketentuan di dalam UU Nomor 28 tahun 2007, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Tercatat ada 10 pasal UU KUP yang mengalami perubahan, di antaranya pasal 8, pasal 13, pasal 25, pasal 27, pasal 32, pasal 34, pasal 40, pasal 43A, pasal 44, pasal 44A, pasal 44B dan pasal 44E.

Selain itu ada delapan pasal baru yang ditambahkan UU HPP, di antaranya pasal 2 ayat (1a), pasal 14, pasal 20A, pasal 27C, pasal 32A, pasal 44C dan pasal 44D.

Secara substansi, perubahan dan penambahan pasal-pasal itu terkait dengan beberapa hal, seperti penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang menggantikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hingga perubahan besaran sanksi administrasi atas upaya hukum. Berikut rincian perubahan tersebut:

NIK Gantikan Fungsi NPWP

Fungsi NPWP sebagai identitas wajib pajak akan digantikan dengan NIK, yang selama ini tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal itu ditegaskan di dalam pasal 2 ayat (1a) UU HPP.

Hal ini dilakukan supaya sistem administrasi perpajakan dapat terintegrasi dengan sistem kependudukan yang bisa menjangkau lebih banyak masyarakat. Dengan demikian, diharapkan bisa memperluas basis pajak di Indonesia.

Namun, penggunaan NIK yang menggantikan NPWP ini tidak serta merta mewajibkan setiap orang yang memiliki KTP menjadi wajib pajak.

Sebab, kewajiban membayar pajak hanya berlaku bagi masyarakat yang memiliki pendapatannya di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yang saat ini ditetapkan sebesar Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun.

Sementara bagi pengusaha minimal harus memiliki omzet atau peredaran usaha sebesar Rp 500 juta per tahun, dengan tarif PPh bersifat final 0,5%.

Kesempatan Mengungkap Kesalahan SPT Makin Sempit

Wajib pajak masih bisa mengungkapkan ketidakbenaran Surat Pemberitahunan (SPT) tahunan yang dibuat, meskipun sedang diperiksa. Hal ini merupakan substansi Pasal 8 ayat (4) UU KUP.  

Namun di dalam UU HPP, batas waktu pengungkapannya menjadi lebih singkat. Pasalnya, dalam perubahan pasal 8 ayat (4) wajib pajak hanya bisa mengungkapkan kesalahan pembuatan SPT, sebelum DJP mengeluarkan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) yang sifatnya sementara. 

Adapun sebelumnya, pengungkapan bisa dilakukan selama surat ketetapan pajak (SKP) belum diterbitkan yang merupakan dokumen hasil pemeriksaan final.

Sanksi Administrasi Ketetapan Pajak Dipangkas

Selain harus diperiksa, wajib pajak yang mendapatkan surat ketetapan kurang bayar pajak karena terlambat menyampaikan SPT tahunan, tidak membuat pembukuan dan memiliki kelebihan PPN yang tidak boleh dikompensasikan, juga harus membayar sanksi administrasi.

Sanksi administrasi yang diberikan di antaranya berupa, bila SKP menyatakan wajib pajak tidak atau kurang bayar PPh serta tidak atau kurang potong PPN. Besaran bunga ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan berdasarkan suku bunga acuan ditambah uplift factor sebesar 20%.

Dalam aturan sebelumnya, sanksi administrasi untuk PPh kurang atau tidak bayar ditetapkan sebesar 50% dan untuk PPh kurang atau tidak dipungut sebesar 100%.

Selain, untuk wajib pajak yang memotong PPh namun tidak menyetornya serta wajib pajak yang kurang bayar PPN  akan dikenakan sanksi administrasi sebesar 75%. Besaran sanksi itu lebih rendah dari aturan sebelumnya yang sebesar 100%. 

Dasar Sanksi Sanksi UU KUP Sanksi UU HPP
PPh kurang bayar 50% bunga per bulan (Suku Bunga+20%)
PPh kurang potong 100% bunga per bulan (Suku Bunga + 20%)
PPh tidak disetor 100% 75%
PPN dan PPnBM kurang bayar 100% 75%

Mekanisme Penagihan Angsuran atau Penundaan Pajak Ditetapkan

Melalui UU HPP pemerintah menegaskan, wajib pajak yang tidak melunasi angsuran atau penundaan kurang bayar  tepat waktu akan mendapatkan surat tagihan dari DJP.  
Surat tagihan itu sama kuatnya dengan surat ketetapan pajak.  Sehingga, selain harus membayar sisa angsuran wajib pajak harus membayar sanksi administrasi berupa bunga yang nilainya ditetapkan Menteri Keuangan setiap bulan.

Ketentuan itu tertuang dalam pasal 14 ayat (1) huruf i, yang merupakan klausul tambahan di dalam UU HPP atas perubahan UU KUP.

Sanksi Administrasi atas Upaya Hukum Lebih Rendah

UU HPP masih membuka ruang kepada wajib pajak untuk melakukan upaya hukum seperti pengajuan keberatan, banding hingga peninjauan kembali. 

Namun bila permohonan keberatan dan banding tersebut ditolak sebagian atau seluruhnya, selain harus melunasi pajak terutang juga harus membayar sanksi administrasi.

Hanya saja, di dalam UU HPP besaran sanksi administrasi yang harus dibayarkan lebih rendah dari yang sebelumnya diatur. Hal itu, tertuang di dalam perubahan pasal 25 ayat (9) dan ayat (10) serta pasal 27 ayat (2a), ayat (5f) dan ayat (5g).

Besaran sanksi administrasi jika permohonan keberatan ditolak sebagian atau seluruhnya ditetapkan 30%, sebelumnya 50%. Sementara besaran sanksi administrasi bila permohonan banding yang ditolak sebesar 60%, sebelumnya 100%. 

Selain itu UU HPP juga menetapkan besaran sanksi administrasi jika permohonan peninjauan kembali yang ditolak sebesar 60% dari yang sebelumnya tidak diatur. 

Upaya Hukum Sanksi UU KUP Sanksi UU HPP
Keberatan ditolak sebagian/seluruh 50% 30%
Banding ditolak sebagian/seluruh 100% 60%
Peninjauan Kembali ditolak sebagian/seluruh Tidak diatur 60%

Syarat Kuasa Wajib Pajak Dipertegas

UU HPP juga mempertegas perihal syarat kuasa wajib pajak, melalui perubahan Pasal 32 ayat (3a). Sebelumnya, penetapan syarat dan kriteria kuasa wajib pajak dilimpahkan kepada menteri keuangan.

Namun, di dalam aturan perubahan syarat kuasa wajib pajak ditetapkan hanya boleh diberikan kepada orang yang memiliki kompetensi di bidang perpajakan, kecuali bila status kuasa wajib pajak yang ditunjuk adalah suami, istri atau keluarga sedarah hingga derajat kedua.

Pengungkapan Informasi Wajib Pajak

UU HPP juga mengubah ketentuan perihal kerahasiaan informasi wajib pajak. Dengan perubahan pasal 34 ayat (3) UU KUP, pejabat pajak, termasuk tenaga ahli boleh memberikan informasi wajib pajak selain kepada pengadilan dan badan pemeriksa keuangan (BPK).

Asalkan disetujui menteri keuangan, pejabat dan tenaga ahli pajak kini boleh membuka data wajib pajak kepada penyidik atau lembaga negara, instansi pemerintah dan badan hukum yang dibentuk UU yang terikat perjanjian kerja sama.

Sementara aturan sebelumnya tidak menyebutkan secara spesifik pihak atau instansi yang berhak menerima data wajib pajak dari pejabat atau tenaga ahli tersebut.

Menunjuk Pemotong Pajak

Menteri keuangan dapat menunjuk pihak lain untuk memungut, memotong, menyetor hingga melaporkan pajak. Hal ini tertuang di dalam pasal 32A yang merupakan klausul tambahan dalam UU KUP.

Selain pihak yang terlibat langsung di dalam transaksi, pihak yang dapat ditunjuk juga bisa sebagai perantara, seperti penyelenggara sistem elektronik.

Apabila penyelenggara elektronik yang ditunjuk tidak melaksanakan kewajibannya, maka akan ditegur untuk kemudian apabila tidak ditindaklanjuti akan mendapat sanksi berupa pemutusan akses.

Syarat Penghentian Penyidikan Diperketat

UU HPP memperketat syarat penghentian proses penyidikan pidana pajak yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan. 

Jika sebelumnya penghentian penyidikan dapat dilakukan atas dasar permintaan menteri keuangan setelah wajib pajak membayar pajak terutang plus sanksi, kini wajib pajak juga diharuskan membayar kerugian negara yang ditimbulkan dari kesalahannya plus sanksi administrasi.

Ketentuan itu tertuang di dalam perubahan pasal 44B ayat (2). Di dalam beleid itu, besaran sanksi administrasi yang harus dibayarkan berbeda tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan.

Jika pelanggaran terkait dengan kelalaian dalam penyampaian SPT Tahunan yang dampaknya merugikan negara, denda yang harus dibayar sebanyak nilai kerugian negara. Sedangkan bila terkait dengan pelanggaran yang disengaja maka sanksi administrasi yang harus dibayar tiga kali dari nilai kerugian negara. (asp)
 




Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.