Setahun Berlaku, Implementasi Ketentuan Natura Masih Catatkan Persoalan
Dwi Novianti Suharsih,
Tuesday, 02 July 2024
Sejak dirilis setahun yang lalu, implementasi ketentuan teknis pajak atas natura dan kenikmatan, sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66 Tahun 2023, masih menimbulkan persoalan bagi Wajib Pajak.
Secara umum, PMK Nomor 66/2023 menegaskan bahwa imbalan yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan terkait dengan pekerjaan atau jasa, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja.
Kemudian, di sisi penerima atau pekerja, natura atau kenikmatan tersebut dapat ditetapkan sebagai objek pajak penghasilan (PPh). Selain itu, beleid ini juga memperjelas definisi natura. Dalam PMK Nomor 66/2023 diartikan sebagai imbalan dalam bentuk barang selain uang yang kepemilikannya dialihkan dari pemberi (perusahaan) kepada penerima (karyawan).
Baca Juga: Berlaku 1 Juli 2023, Ketentuan Pajak Natura Akhirnya Dirilis
Sementara definisi kenikmatan pada dalam beleid ini tetap sama dengan ketentuan sebelumnya yang ada di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 yaitu, sebagai imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas/pelayanan yang bersumber dari aktiva pemberi atau pihak ketiga.
Praktik dan Persoalan
Beberapa persoalan yang kerap diungkapkan atas implementasi PMK 66/2023, yaitu pertama, waktu rilisnya dianggap kurang ideal. Karena memiliki jarak cukup panjang dengan aturan induknya. Sehingga, beleid ini menimbulkan ketidakpastian bagi Wajib Pajak.
Kedua, beberapa ketentuan pada PMK 66/2023 dianggap masih belum jelas. Sehingga, timbul grey area yang rentan menimbulkan sengketa atau dispute antara Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Ketiga, yang menjadi catatan adalah pengaturan pada aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang belum terakomodir. Keempat, Wajib Pajak juga mempersoalkan DJP yang hingga kini juga belum merilis daftar nominatif atas natura atau kenikmatan yang diberikan kepada karyawan.
Jeda Rilis dan Beban Administrasi
Sejatinya, PMK 66/2023 merupakan beleid turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 dan Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Hanya saja, ada jeda waktu yang cukup panjang antara waktu rilis dan berlaku PMK 66/2023 dengan PP 55 Tahun 2022 dan UU HPP terlampau panjang. UU HPP sudah berlaku sejak 29 Oktober 2021, kemudian PP 55 Tahun 2022 yang diundangkan pada 20 Desember 2022 sudah berlaku mulai 1 Januari 2022. Setelah itu, baru terbit PMK 66/2023 yang berlaku sejak 1 Juli 2023.
Baca Juga: 11 Natura dengan Jenis dan Batasan Natura Tertentu Bebas Pajak, Ini Rinciannya!
Namun, persoalannya bukan hanya soal jarak rilis yang terpaut waktu jauh, tetapi juga soal substansi yang diaturnya. Berdasarkan PP 55/2022 Wajib Pajak sudah dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 untuk natura tahun pajak 2022, namun pada PMK 66/2023 penyerahan natura atau kenikmatan pada tahun 2022 dikecualikan dari objek pajak.
Sehingga, bila ada perusahaan ada yang terlanjur memungut menyetor PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 29 pada tahun 2022, harus mengembalikannya kepada penerima natura atau kenikmatan. Meskipun tidak memengaruhi secara finansial, proses pengembalian ini menimbulkan beban administrasi.
Kendala Kredit Pajak Masukan
Implikasi dari ketentuan pajak atas natura atau kenikmatan tidak hanya terkait pengenaan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 29, tetapi juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Seperti diketahui, natura atau kenikmatan yang diberikan pemberi kerja bisa berupa barang maupun jasa.
Sementara, bila barang atau jasa yang diberikan tersebut merupakan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP), maka akan termasuk sebagai objek PPN, sebagaimana yang diatur di dalam UU tentang PPN. Masalahnya, meskipun yang diserahkan adalah BKP maupun JKP, perusahaan tidak bisa mengkreditkan pajak masukan atas natura tersebut.
Pasalnya, dalam ketentuan terkait PPN, pajak masukan tidak dapat dikreditkan, salah satunya karena penyerahan tersebut tidak terkait dengan bisnis yang dijalankan oleh Wajib Pajak. Misalnya pemberian fasilitas kendaraan atau rumah kepada karyawan.
Penyampaian Daftar Nominatif
Perusahaan yang memberikan imbalan natura atau kenikmatan kepada karyawannya wajib melampirkan daftar nominatif kepada DJP bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Kewajiban tersebut tertuang di dalam PMK 66/2023 yang baru berlaku mulai 1 Juli 2023.
Terkait hal ini ada dua persoalan yang kerap timbul. Pertama, pada praktiknya DJP sudah meminta daftar nominatif pemberian natura atau kenikmatan ketika melakukan pemeriksaan PPh Badan tahun pajak 2022.
Padahal, sebetulnya pemberian natura atau kenikmatan untuk tahun pajak 2022 tersebut dikecualikan sebagai objek PPh. Hal ini menunjukkan ada perbedaan pemahaman terhadap regulasi oleh sebagian fiskus.
Baca Juga: Aturan Teknis Mengenai Pajak Natura Akhirnya Dirilis
Kedua, hingga kini DJP belum mengatur secara spesifik bentuk atau format daftar nominatif yang harus digunakan. Memang, dalam beberapa kesempatan sosialisasi, otoritas pajak menyebut, bahwa Wajib Pajak dapat menggunakan format biaya promosi yang diatur di dalam PMK Nomor 02 Tahun 2020, sebagai acuan.
Tetapi, Wajib Pajak perlu mendapat kepastian mengenai format yang spesifik untuk daftar nominatif, hal ini penting untuk menghindari kesalahan.
Ketiga, selain persoalan format Wajib Pajak juga belum ada panduan yang jelas tentang cara pengisiannya. Apakah bisa mengacu pada pencatatan dalam pembukuan Perusahaan atau berdasarkan pelaporan SPT PPh Pasal 21.
Demi Kepastian Hukum
Dalam setiap kebijakan, penting bagi semua pihak untuk bisa memahaminya dengan tepat. Agar tidak menimbulkan interpretasi yang keliru, maka diperlukan penyusunan regulasi yang komprehensif dan detil.
Karenanya, beberapa catatan yang disampaikan di atas seyogyanya bisa menjadi perhatian pemerintah, terutama otoritas pajak untuk segera melengkapi aturan mengenai natura atau kenikmatan ini.
Apalagi, regulasi ini sudah berjalan cukup lama. Sudah saatnya bagi semua pihak untuk mengevaluasi efektifitasnya, bukan hanya untuk kepentingan Wajib Pajak tetapi juga kepentingan pemerintah. (ASP)
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.