Dualisme Pembebanan Natura yang Rawan Timbulkan Sengketa
Rischo Genio Septianto,
Tuesday, 06 August 2024
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dualisme diartikan sebagai suatu kondisi yang memperlihatkan adanya dua sisi yang saling bertentangan. Dalam berbagai konteks, dualisme terjadi ketika ada dua pihak yang saling bersengketa, termasuk perselisihan antara fiskus dengan Wajib Pajak.
Salah satu objek perselisihan pajak yang sering terjadi adalah terkait perlakuan pajak, atas pemberian natura atau kenikmatan, oleh perusahaan atau Wajib Pajak Badan kepada pegawainya. Terutama dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 dan kemudian diperinci ke dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66 Tahun 2023.
Menurut beleid tersebut, natura diartikan sebagai imbalan dalam bentuk barang selain uang yang kepemilikannya dialihkan dari pemberi (perusahaan) kepada penerima (karyawan). Sedangkan kenikmatan didefinisikan sebagai imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas/pelayanan yang bersumber dari aktiva pemberi atau pihak ketiga.
Dalam beleid itu, pemberian natura atau kenikmatan ditetapkan sebagai objek Pajak Penghasilan bagi penerimanya. Kecuali, natura yang ditetapkan bukan objek PPh, seperti penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai, serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Baca Juga: 11 Natura dengan Jenis dan Batasan Natura Tertentu Bebas Pajak, Ini Rinciannya!
Sedangkan bagi pemberi kerja, natura dan kenikmatan dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto atau deductible expense, selama memenuhi kriteria sebagai kegiatan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M).
Hal itu sebagaimana tertuang di dalam Pasal 23 ayat (2) PP No. 55 Tahun 2022 maupun Pasal 2 ayat (1) PMK No. 66 Tahun 2023 yang menyatakan:
“Biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan penghasilan kena pajak oleh pemberi kerja atau pemberi imbalan atau penggantian dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sepanjang merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.”
Kontruksi kalimat mengenai pembebanan natura atau kenikmatan dalam dua beleid tersebut berbeda dengan Pasal 6 ayat (1) huruf n Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang menyatakan:
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk: biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan.”
Berbedanya redaksional yang dirumuskan di antara beleid terbaru dan UU PPh tersebut, telah menimbulkan dualisme kelompok natura atau kenikmatan. Pertama, biaya natura atau kenikmatan yang terkait dengan kegiatan 3M. Kedua, natura yang tidak terkait dengan kegiatan 3M.
Baca Juga: Berlaku 1 Juli 2023, Ketentuan Pajak Natura Akhirnya Dirilis
Tutup Celah Penghindaran Pajak
Dengan adanya perubahan ketentuan natura pada PP No. 55 Tahun 2022 dan PMK No. 55 Tahun 2023 diharapkan celah penghindaran pajak bisa dipersempit. Sebab, jika berdasarkan aturan lama, ada ruang pengalihan beban pajak pegawai yang menerima natura atau kenikmatan, menjadi beban pajak pemberi kerja.
Hal ini dilakukan karena tarif pajak atas natura jika dibebankan kepada perusahaan lebih rendah, dibandingkan dengan tarif pajak atas natura jika dianggap sebagai objek PPh penerimanya. Nah, dengan adanya PP No. 55/2022 dan PMK No. 66/2023, setiap natura dianggap sebagai penghasilan yang wajib dipotong PPh, selain yang dikecualikan.
Menurut data OECD, praktik penghindaran pajak atau tax planing seperti itu, lazim dilakukan oleh high level management seperti direktur atau komisaris atau individu dari kelompok berpenghasilan tinggi yang menerima natura atau kenikmatan. Meskipun, dalam praktiknya tidak menutup kemungkinan skema ini dilakukan juga oleh karyawan level menengah staff.
Dengan tertutupnya celah penghindaran pajak itu, pemerintah berharap bisa mendapatkan sumber tambahan penerimaan negara.
Baca Juga: Setahun Berlaku, Implementasi Ketentuan Natura Masih Catatkan Persoalan
Menentang Prinsip Kecocokan
Meski secara makro bisa memberikan dampak yang positif. Tetapi, perubahan ketentuan natura ini menimbulkan persoalan. Terutama, dengan adanya dualisme natura yang terkait 3M dan natura yang tidak terkait 3M, maka prinsip kecocokan atau matching principle yang selama ini berlaku dalam praktik pajak menjadi tidak relevan.
Dalam prinsip kecocokan pajak sebagaimana yang diungkapkan Drinkwater & Edwards (2014) berlaku hukum; “suatu biaya dapat dikategorikan sebagai deductible expense bagi pihak yang pemberi, apabila di pihak penerima dianggapnya sebagai revenue atau objek Pajak Penghasilan atau taxable”.
Sementara dengan adanya aturan baru, setiap natura atau kenikmatan yang dianggap sebagai revenue dan objek PPh bagi penerimanya (taxable) belum tentu bisa dibebankan sebagai biaya yang mengurangi penghasilan bagi pemberinya (deductible), tergantung apakah memenuhi aspek 3M atau tidak.
Dengan demikian, ketika di satu sisi pemberian natura ditetapkan sebagai objek pajak (taxable) dan di sisi lain ternyata tidak dapat dibebankan sebagai biaya oleh pemberinya (non-deductible), maka berisiko timbulnya pemajakan berganda atau double tax.
Ketidakpastian Hukum
Adanya perbedaan prinsip perlakuan natura atau kenikmatan antara UU PPh dengan dua aturan turunannya, yaitu PP No. 55/2022 dan PMK No. 66/2023 menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Wajib Pajak.
Meskipun jika kita lihat berdasarkan hierarki perundang-undangan, bisa kita pastikan jika terjadi perbedaan interpretasi bisa merujuk pada ketentuan yang levelnya lebih tinggi, yaitu UU. Karena jika ada perbedaan norma atau pengaturan antara PP maupun PMK dengan UU yang mengatur hal yang sama, maka yang harus diambil sebagai acuan adalah ketentuan UU.
Namun demikian, Wajib Pajak tetap membutuhkan kepastian. Karenanya, penting bagi pemangku kebijakan untuk memberikan kepastian agar tidak ada kekhawatiran dan kebingungan, regulasi mana yang harus diikuti. (ASP)
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.