Penyesuaian Pengaturan Di Bidang Pajak Penghasilan
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2022
TENTANG
PENYESUAIAN PENGATURAN DI BIDANG PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYESUAIAN PENGATURAN DI BIDANG PAJAK PENGHASILAN.
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
BAB II
OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Bagian Kesatu
Objek Pajak Penghasilan
Pasal 2
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Bagian Kedua
Kriteria Keahlian Tertentu serta Pengenaan Pajak Penghasilan
bagi Warga Negara Asing
Pasal 3
(1) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, warga negara asing yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dengan ketentuan:
|
(2) | Termasuk dalam pengertian penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penghasilan yang diterima atau diperoleh warga negara asing sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan di luar Indonesia. |
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap warga negara asing yang memanfaatkan persetujuan penghindaran pajak berganda antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda tempat warga negara asing memperoleh penghasilan dari luar Indonesia. |
(1) | Warga negara asing yang memiliki keahlian tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a meliputi tenaga kerja asing yang menduduki pos jabatan tertentu dan peneliti asing. | ||||||||||
(2) | Warga negara asing yang memiliki keahlian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipekerjakan oleh pemberi kerja harus memenuhi persyaratan mengenai:
| ||||||||||
(3) | Kriteria keahlian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
Ketentuan mengenai tata cara pengenaan Pajak Penghasilan bagi warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB III
PENGECUALIAN DARI OBJEK
PAJAK PENGHASILAN
Bagian Kesatu
Hibah, Bantuan, atau Sumbangan
Pasal 6
(1) | Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan merupakan objek Pajak Penghasilan bagi pihak pemberi. |
(2) | Dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang:
|
(3) | Ketentuan mengenai:
|
(4) | Ketentuan mengenai tata cara penilaian dan penghitungan atas keuntungan karena pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Harta hibahan dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sepanjang:
| ||||||||||||||||
(2) | Harta hibahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk uang atau barang. | ||||||||||||||||
(3) | Ketentuan mengenai tata cara penilaian dan penghitungan atas harta hibahan yang berbentuk barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Bagian Kedua
Bantuan atau Santunan yang Dibayarkan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada
Wajib Pajak Tertentu
Pasal 8
(1) | Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan. |
(2) | Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
|
(3) | Ketentuan mengenai bantuan atau santunan yang dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Bagian Ketiga
Ketentuan Pengecualian Pajak Penghasilan atas
Dividen atau Penghasilan Lain
Pasal 9
(1) | Penghasilan berupa:
| ||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan dengan ketentuan sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Penghasilan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan dengan ketentuan sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Pajak atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a dan huruf d berlaku ketentuan:
| ||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menginvestasikan penghasilan dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a dan huruf d berlaku ketentuan:
| ||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Ketentuan mengenai tata cara pengecualian Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a angka 1 dan huruf b dan ayat (3) harus memenuhi kriteria dan jangka waktu tertentu. |
(2) | Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk investasi yang meliputi:
|
(3) | Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan huruf 1 ditempatkan pada instrumen investasi di pasar keuangan sebagai berikut:
|
(4) | Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f sampai dengan huruf 1 ditempatkan pada instrumen investasi di luar pasar keuangan sebagai berikut:
|
(5) | Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf d dilakukan melalui mekanisme penyertaan modal ke dalam perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas. |
(6) | Sektor yang menjadi prioritas pemerintah dalam investasi sektor riil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b meliputi sektor yang ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional. |
(7) | Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c tidak termasuk properti yang mendapatkan subsidi dari pemerintah. |
(8) | Logam mulia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e merupakan emas batangan atau lantakan dengan kadar kemurnian 99,99% (sembilan puluh sembilan koma sembilan puluh sembilan persen). |
(9) | Emas batangan atau lantakan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) merupakan emas yang diproduksi di Indonesia dan mendapatkan akreditasi dan sertifikat dari Badan Standardisasi Nasional dan/atau London Bullion Market Association. |
(10) | Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dialihkan, kecuali ke dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
Jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
Bagian Keempat
Penghasilan dari Penanaman Modal dalam
Bidang-Bidang Tertentu yang Diterima oleh Dana Pensiun
Pasal 12
(1) | Penghasilan dari penanaman modal dalam bidang-bidang tertentu yang diterima atau diperoleh dana pensiun dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan. |
(2) | Dana pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) | Dana pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selain yang disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, termasuk juga dana pensiun yang telah disahkan oleh Menteri sebelum beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan dana pensiun dari Menteri kepada Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 31 Desember 2012. |
(4) | Penghasilan dari penanaman modal dalam bidang-bidang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(5) | Ketentuan mengenai tata cara pengecualian dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. |
Bagian Kelima
Beasiswa yang Memenuhi Persyaratan Tertentu
dan Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau
Lembaga Nirlaba Bidang Pendidikan, Bidang Penelitian dan
Pengembangan, Sosial, dan/atau Keagamaan
Pasal 13
(1) | Penghasilan berupa beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu baik yang diterima dari subjek pajak dan/atau bukan subjek pajak, dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan. |
(2) | Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi beasiswa yang diterima:
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebesar jumlah sisa lebih yang digunakan untuk:
|
(2) | Sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih lebih dari penghitungan seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh selain penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan/atau bukan objek Pajak Penghasilan, dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut. |
(3) | Pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk penggunaan sisa lebih yang dialokasikan dalam bentuk dana abadi yang memenuhi persyaratan tertentu. |
Ketentuan mengenai:
a. | sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); dan |
b. | penggunaan sisa lebih yang dialokasikan dalam bentuk dana abadi yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3), |
diatur dalam Peraturan Menteri.
(1) | Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sepanjang memenuhi persyaratan:
| ||||
(2) | Sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih lebih dari penghitungan seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh selain penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan/atau bukan objek Pajak Penghasilan, dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut. | ||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Bagian Keenam
Dana Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
dan/atau Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dan
Penghasilan dari Pengembangan Keuangan Haji dalam Bidang
atau Instrumen Keuangan Tertentu yang Diterima
Badan Pengelola Keuangan Haji
Pasal 17
(1) | Penerimaan Badan Pengelola Keuangan Haji meliputi:
| ||||||||||
(2) | Atas penerimaan Badan Pengelola Keuangan Haji yang berupa:
| ||||||||||
(3) | Penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa:
| ||||||||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan/atau Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu yang diterima Badan Pengelola Keuangan Haji yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. |
BAB IV
BIAYA YANG DAPAT DIKURANGKAN
DARI PENGHASILAN BRUTO
Bagian Kesatu
Biaya Promosi dan Penjualan
Pasal 18
(1) | Besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya promosi dan penjualan. |
(2) | Biaya promosi dan penjualan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan hal sebagai berikut:
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya promosi dan penjualan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Bagian Kedua
Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih
Pasal 19
(1) | Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(2) | Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berlaku untuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil dan debitur kecil lainnya. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebanan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Bagian Ketiga
Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan
Pasal 20
(1) | Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pembentukan atau pemupukan dana cadangan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. | ||||||||||||
(2) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
| ||||||||||||
(3) | Ketentuan mengenai pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. |
BAB V
PENYUSUTAN HARTA BERWUJUD DAN/ATAU
AMORTISASI HARTA TAK BERWUJUD
Pasal 21
(1) | Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Untuk menghitung penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Penyusutan atas harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali:
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Apabila bangunan permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun, penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bagian yang sama besar dengan masa manfaat:
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Wajib Pajak yang telah melakukan penyusutan atas bangunan permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (5):
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(7) | Penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu diatur tersendiri, termasuk saat dimulainya penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(8) | Dalam hal terjadi pengalihan atau penarikan harta sehubungan dengan penggantian asuransi, jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah penggantian asuransi yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada Tahun Pajak:
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(9) | Terhadap pengeluaran untuk perbaikan atas harta berwujud, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, penghitungan penyusutan diatur tersendiri. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(10) | Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
(1) | Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan sesuai kelompok harta tak berwujud, masa manfaat, dan tarif amortisasi yang dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau bagian-bagian yang menurun sebagaimana diatur dalam Pasal 11A ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. | ||||||||
(2) | Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu. | ||||||||
(3) | Apabila harta tak berwujud mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun, amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan masa manfaat:
| ||||||||
(4) | Wajib Pajak yang telah melakukan amortisasi harta tak berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
| ||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
BAB VI
PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGGANTIAN
ATAU IMBALAN DALAM BENTUK NATURA DAN/ATAU KENIKMATAN
Bagian Kesatu
Penggantian atau Imbalan dalam Bentuk Natura dan/atau
Kenikmatan Merupakan Objek Pajak Penghasilan bagi Pihak Penerima
dan Pengurang Penghasilan Bruto bagi Pihak Pemberi
Pasal 23
(1) | Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
(2) | Biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan penghasilan kena pajak oleh pemberi kerja atau pemberi imbalan atau penggantian dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sepanjang merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. |
Bagian Kedua
Penggantian atau Imbalan dalam Bentuk Natura dan/atau
Kenikmatan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan
bagi Pihak Penerima
Pasal 24
Dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan atas penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) meliputi:
Makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a meliputi:
(1) | Natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b meliputi sarana, prasarana, dan/atau fasilitas di lokasi kerja untuk Pegawai dan keluarganya berupa:
| ||||||||||||
(2) | Sarana, prasarana, dan fasilitas di lokasi kerja untuk Pegawai dan keluarganya berupa pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi pengangkutan untuk Pegawai dan keluarga dalam melaksanakan penugasan. | ||||||||||||
(3) | Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b meliputi daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut, maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral, termasuk daerah terpencil. |
(1) | Natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c meliputi natura dan/atau kenikmatan sehubungan dengan persyaratan mengenai keamanan, kesehatan, dan/atau keselamatan Pegawai yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sehubungan dengan persyaratan mengenai keamanan, kesehatan, dan/atau keselamatan Pegawai yang diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
Pengecualian dari objek Pajak Penghasilan atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e dan bahan makanan dan/atau bahan minuman bagi seluruh Pegawai dengan batasan nilai tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c mempertimbangkan:
Bagian Ketiga
Penilaian Natura dan/atau Kenikmatan
Pasal 29
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dinilai dengan ketentuan sebagai berikut:
Pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan wajib melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Ketentuan mengenai:
a. | tata cara pemberian pengecualian dari objek Pajak Penghasilan atas penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26; |
b. | batasan nilai tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c dan jenis dan/atau batasan tertentu dari natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan |
c. | tata cara penilaian dan penghitungan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, |
diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VII
INSTRUMEN PENCEGAHAN PENGHINDARAN PAJAK
Pasal 32
(1) | Menteri berwenang mencegah praktik penghindaran pajak sebagai upaya yang dilakukan Wajib Pajak untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Pencegahan praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
|
(3) | Mekanisme pencegahan praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f hanya dapat dilakukan terhadap transaksi antara pihak yang dipengaruhi hubungan istimewa. |
(4) | Dalam hal terdapat praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dicegah menggunakan mekanisme yang diatur pada ayat (2) , Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan berpedoman pada prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya. |
(1) | Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh:
| ||||||||||||
(2) | Hubungan istimewa karena kepemilikan atau penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dianggap ada dalam hal:
| ||||||||||||
(3) | Hubungan istimewa karena penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dianggap ada dalam hal:
| ||||||||||||
(4) | Hubungan istimewa karena hubungan keluarga sedarah atau semenda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dianggap ada dalam hal terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. |
(1) | Menteri berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a dengan ketentuan sebagai berikut:
|
(2) | Penentuan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan bagi badan usaha di luar negeri untuk Tahun Pajak yang bersangkutan. |
(3) | Dalam hal badan usaha di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, saat diperolehnya dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan pada akhir bulan ketujuh setelah Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak yang dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. |
(2) | Transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak dalam hal Wajib Pajak:
|
(2) | Penentuan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menentukan Harga Transfer sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak. |
(3) | Penentuan Harga Transfer sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan:
|
(4) | Metode lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d seperti:
|
(5) | Penggunaan metode sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dipilih berdasarkan ketepatan dan keandalan masing-masing metode untuk transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. |
(6) | Selisih antara nilai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa yang tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dengan nilai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa yang sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bentuk pembagian laba secara tidak langsung kepada entitas afiliasi sehingga diperlakukan sebagai dividen yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b, Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
(1) | Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut dalam hal Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga. |
(2) | Saham atau aktiva perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(3) | Pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pihak atau badan yang tidak mempunyai substansi usaha dan yang dibentuk oleh Wajib Pajak dalam negeri yang bertujuan untuk membeli saham atau aktiva Wajib Pajak dalam negeri lainnya. |
(1) | Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf d dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia. |
(2) | Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. |
(1) | Penentuan kembali besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf e dilakukan dengan memperhatikan tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kembali besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Penghitungan kembali pajak yang seharusnya terutang berdasarkan pembandingan kinerja keuangan dengan Wajib Pajak dalam kegiatan usaha yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf f dilakukan terhadap Wajib Pajak yang telah melakukan penjualan secara komersial selama 5 (lima) tahun dan melaporkan kerugian fiskal selama 3 (tiga) tahun berturut-turut. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pembandingan kinerja keuangan dengan Wajib Pajak dalam kegiatan usaha yang sejenis dalam rangka penghitungan pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Pembatasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf g dilakukan oleh Menteri menggunakan:
|
(2) | Ketentuan mengenai penentuan dan tata cara penerapan penggunaan metode untuk pembatasan jumlah biaya pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Pembayaran yang dilakukan oleh Waj ib Paj ak dalam negeri kepada Wajib Pajak luar negeri tidak dapat dibebankan sebagai biaya yang mengurangi penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf h dalam hal pembayaran tersebut:
| ||||
(2) | Ketentuan mengenai pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri kepada Wajib Pajak luar negeri yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Pelaksanaan pencegahan praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) dilakukan dengan menentukan kembali besarnya pajak yang seharusnya terutang dengan memperhatikan:
|
(2) | Pencegahan praktik penghindaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan Wajib Pajak tetap dapat melakukan upaya penyelesaian sengketa. |
(3) | Ketentuan mengenai batasan kewenangan dan prosedur pelaksanaan, kegiatan Wajib Pajak yang masuk dalam cakupan penghindaran pajak, tahapan pengujian formil dan materiil, mekanisme penjaminan kualitas, dan perlindungan hak Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan permohonan kesepakatan Harga Transfer kepada Direktur Jenderal Pajak. | ||||||||
(2) | Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perjanjian tertulis antara:
| ||||||||
(3) | Permohonan kesepakatan Harga Transfer atas transaksi afiliasi dilakukan berdasarkan:
| ||||||||
(4) | Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencakup seluruh atau sebagian transaksi afiliasi selama:
| ||||||||
(5) | Transaksi afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa transaksi afiliasi antara Wajib Pajak dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya dan/atau dengan Wajib Pajak luar negeri. | ||||||||
(6) | Pemberlakuan mundur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan pemberlakuan hasil kesepakatan dalam kesepakatan Harga Transfer untuk Tahun Pajak-Tahun Pajak sebelum periode kesepakatan Harga Transfer dalam hal atas Tahun Pajak tersebut:
| ||||||||
(7) | Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang membuat kesepakatan dengan Wajib Pajak atau bekerja sama dengan pejabat berwenang mitra persetujuan penghindaran pajak berganda untuk menentukan Harga Transfer antara Wajib Pajak dan pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang berlaku selama suatu periode tertentu. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti kesepakatan atau penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan surat keputusan tentang pemberlakuan kesepakatan Harga Transfer. |
(3) | Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk mengawasi pemberlakuan kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46 diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VIII
PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
DI BIDANG PERPAJAKAN
Pasal 48
Pemerintah berwenang membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka:
Perjanjian atau kesepakatan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 merupakan perjanjian bilateral atau multilateral yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah mengikatkan dirinya dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra mengenai perpajakan yang dapat berupa:
(1) | Ketentuan dalam persetujuan penghindaran pajak berganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a berlaku bagi orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak:
| ||||
(2) | Ketentuan mengenai tata cara penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan pertukaran informasi untuk tujuan perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian atau kesepakatan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak berwenang meminta informasi kepada Wajib Pajak atau pihak lain mengenai hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan yang akan dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Wajib Pajak atau pihak lain yang diminta informasi oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi permintaan informasi mengenai hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak atau pihak lain tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak atau pihak lain dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pertukaran informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan ketentuan dalam perjanjian atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mengatasi tantangan pemajakan akibat dari digitalisasi ekonomi dan/atau penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf f.
(1) | Dalam mengatasi tantangan pemajakan akibat dari digitalisasi ekonomi berdasarkan perjanjian atau kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, perusahaan multinasional yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam perjanjian atau kesepakatan dianggap memenuhi kewajiban pajak subjektif dan objektif sehingga dikenakan pajak di Indonesia. |
(2) | Ketentuan mengenai pemajakan akibat dari digitalisasi ekonomi berdasarkan perjanjian atau kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Dalam mengatasi tantangan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba lainnya, grup perusahaan multinasional yang tercakup dalam perjanjian atau kesepakatan, dapat dikenai pajak minimum global di Indonesia berdasarkan perjanjian atau kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52. |
(2) | Ketentuan mengenai pengenaan pajak minimum global berdasarkan perjanjian atau kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
BAB IX
BANTUAN ATAU SUMBANGAN TERMASUK ZAKAT, INFAK,
SEDEKAH, DAN SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA
WAJIB YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Pasal 55
(1) | Bantuan atau sumbangan termasuk:
| ||||
(2) | Bantuan atau sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk uang atau barang. | ||||
(3) | Ketentuan mengenai bantuan atau sumbangan, termasuk zakat, infak, sedekah, atau sumbangan keagamaan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
BAB X
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
Pasal 56
(1) | Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu. |
(2) | Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 0,5% (nol koma lima persen). |
(3) | Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
|
(4) | Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi:
|
(1) | Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) merupakan:
| ||||||||
(2) | Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
| ||||||||
(3) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak. | ||||||||
(4) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. | ||||||||
(5) | Ketentuan mengenai tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Besarnya peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang. | ||||
(2) | Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami-istri yang:
|
(1) | Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) paling lama:
|
(2) | Penghitungan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
(1) | Jumlah peredaran bruto atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) setiap bulan merupakan dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final. |
(2) | Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a, atas bagian peredaran bruto dari usaha sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan. |
(3) | Bagian peredaran bruto dari usaha tidak dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sejak Masa Pajak pertama dalam suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak. |
(4) | Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis. |
(5) | Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dikalikan dengan:
|
(1) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) yang peredaran brutonya pada Tahun Pajak berjalan telah melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), atas penghasilan dari usaha tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) sampai dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan. |
(2) | Atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) yang diterima atau diperoleh pada Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan:
|
(1) | Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (5) dilunasi dengan cara:
|
(2) | Penyetoran sendiri Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dilakukan setiap bulan. |
(3) | Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi dengan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini bertransaksi dengan pemotong atau pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan surat keterangan kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan bahwa Wajib Pajak bersangkutan dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan dan penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. |
BAB XI
PENURUNAN TARIF PAJAK PENGHASILAN BAGI
WAJIB PAJAK BADAN DALAM NEGERI YANG BERBENTUK
PERSEROAN TERBUKA
Pasal 64
Tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar:
(1) | Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64:
| ||||||||
(2) | Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
| ||||||||
(3) | Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b tidak termasuk:
| ||||||||
(4) | Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b bagi Wajib Pajak Perseroan Terbuka meliputi pemegang saham pengendali dan/atau pemegang saham utama sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan di bidang pasar modal. | ||||||||
(5) | Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak terpenuhi, Pajak Penghasilan terutang dihitung dengan menggunakan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64. |
Dalam hal tertentu, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) huruf a dapat dikecualikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan daftar Wajib Pajak Perseroan Terbuka yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3) huruf a kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pajak.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara penyampaian:
a. | laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf d; dan |
b. | daftar Wajib Pajak Perseroan Terbuka yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, |
diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 69
(1) | Penghitungan jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final bagi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas yang terdaftar:
|
(2) | Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas yang terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan tidak lagi memenuhi syarat untuk menjalankan kewajiban perpajakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. |
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 70
Ketentuan mengenai pembelian kembali saham yang diperjualbelikan di bursa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) berlaku sebagai berikut:
a. | Wajib Pajak dalam negeri:
| ||||||||
b. | persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 3 meliputi:
| ||||||||
c. | pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1 dan angka 2 tidak termasuk:
| ||||||||
d. | dalam hal terdapat kebijakan pemerintah pusat atau lembaga yang menyelenggarakan fungsi pengawasan di bidang pasar modal untuk mengatasi kondisi pasar yang berfluktuasi secara signifikan, Wajib Pajak Perseroan Terbuka yang membeli kembali sahamnya sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 1 berdasarkan kebijakan pemerintah pusat atau lembaga dimaksud, dianggap tetap memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1 dan angka 2; | ||||||||
e. | kebijakan pemerintah pusat atau lembaga yang mempunyai fungsi pengawasan di pasar modal sebagaimana dimaksud dalam huruf d ditetapkan dalam bentuk surat penunjukan atau surat persetujuan; | ||||||||
f. | pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam huruf d dilakukan paling lambat tanggal 30 September 2020; | ||||||||
g. | saham yang dibeli kembali sebagaimana dimaksud dalam huruf d hanya boleh dikuasai Wajib Pajak sampai dengan tanggal 30 September 2022; | ||||||||
h. | dalam hal setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf g, kepemilikan saham tidak memenuhi ketentuan dalam huruf a, Wajib Pajak dalam negeri berbentuk Perseroan Terbuka sebagaimana dimaksud dalam huruf d tidak dapat memperoleh tarif sebesar 3% (tiga persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64; | ||||||||
i. | anggapan tetap memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf d hanya berlaku untuk Tahun Pajak 2021 dan Tahun Pajak 2022; dan | ||||||||
j. | Wajib Pajak harus melampirkan laporan hasil pelaksanaan pembelian kembali saham yang diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf d sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang bersangkutan. |
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
(1) | Ketentuan mengenai perlakuan perpajakan atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 29 berlaku sebagai berikut:
| ||||||||
(2) | Ketentuan mengenai pemotongan Pajak Penghasilan bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dan pelaporan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan bagi penerima penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan berlaku sebagai berikut:
|
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2022 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2022
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PRATIKNO