PMK 172/2023: Secondary Adjustment Harga Transfer Dapat Dibatalkan
Tasya D. Salsabila, Tasya N. Mustofa dan Dewi Mita R.
|
Monday, 12 February 2024
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 Tahun 2023 (PMK 172/2023) yang dirilis dan berlaku sejak 29 Desember 2023, memungkin otoritas pajak untuk membatalkan penetapan secondary adjustment atau penyesuaian sekunder atas koreksi harga transfer (transfer pricing).
Ketentuan ini merupakan pembaruan yang dilakukan pemerintah. Sebab, hal ini tidak diatur di dalam beleid sebelumnya seperti Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 22 Tahun 2013 (PER 22/2013), Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 50 Tahun 2013 (SE 50/2013) dan PMK Nomor 22 Tahun 2020 (PMK 22/2020).
Pada aturan-aturan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak bisa membatalkan secondary adjustment yang sudah ditetapkan, sebagai lanjutan dari primary adjustment atau penyesuaian primer atas koreksi harga transfer.
Baca Juga: Konsolidasikan Regulasi Terkait Transfer Pricing, Simak Uraian PMK 172/2023 Berikut
Syarat Pembatalan Secondary Adjustment
Secondary adjustment dapat dibatalkan DJP apabila memenuhi dua syarat sebagaimana diatur di dalam Pasal 37 ayat (4). Pertama, Wajib Pajak harus setuju dengan primary adjustment yang dilakukan oleh Fiskus.
Kedua, Wajib Pajak melakukan pengembalian kas atau setara kas sesuai nilai primary adjustment. Sesuai pasal 37 ayat (5), penambahan dan/atau pengembalian kas atau setara kas harus dilakukan sebelum Surat Ketetapan Pajak (SKP) diterbitkan oleh DJP. Sehingga, Wajib Pajak perlu memperbaiki bookkeeping dengan membuat jurnal pembalik sesuai nilai primary adjustment yang disetujui untuk dilakukan repatriasi.
Kemudian, Wajib Pajak lawan transaksi dapat mengajukan penyesuaian sebagai respons dari adanya primary adjustment yang dilakukan Fiskus yang disebut sebagai corresponding adjustment atau penyesuaian keterkaitan.
Konsep dan Definisi
Baik primary adjustment maupun secondary adjustment merupakan terminologi yang timbul terkait dengan praktik pemeriksaan atas penetapan transfer pricing. Jadi, dalam pemeriksaan transfer pricing, Fiskus dapat melakukan koreksi atau penyesuaian atas perbedaan harga atau laba dari transaksi afiliasi dengan harga atau laba wajar.
Selisih yang timbul antara harga atau laba transaksi afiliasi, dengan harga atau laba wajar akibat penyesuaian itulah yang disebut dengan primary adjustment. Kemudian, atas primary adjustment, akan berlanjut pada koreksi lanjutan yang dapat dilakukan Fiskus sehingga menghasilkan secondary adjustment.
Primary Adjustment
Secara definisi maupun konsep, primary adjustment yang tertuang di dalam PMK 172/2023 tidak berbeda dari ketentuan-ketentuan sebelumnya.
Jadi, primary adjustment timbul atau terjadi karena adanya kewenangan otoritas pajak dalam menguji atau menetapkan kembali besaran penghasilan atau laba atas transaksi, sesuai dengan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU).
Penetapan kembali dilakukan dengan membandingkan antara penghasilan atau laba transaksi afiliasi dengan penghasilan atau laba wajar. Jika merujuk Pasal 36 ayat (5), penyesuaian akan dilakukan apabila diketahui bahwa:
a. Wajib Pajak tidak menerapkan PKKU;
b. Penerapan PKKU yang dilakukan Wajib Pajak tidak sesuai ketentuan;
c. Wajib Pajak tidak dapat membuktikan tahapan pendahuluan; atau
d. Harga transfer yang ditentukan Wajib Pajak tidak memenuhi PKKU
Penentuan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan tersebut dilakukan dengan cara menentukan harga transfer sesuai PKKU untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP) dan mempertimbangkan tahapan penerapan PKKU Wajib Pajak yang telah memenuhi ketentuan.
Baca Juga: Penegasan Secondary Adjustment Harga Transfer Sebagai Dividen
Secondary Adjustment
Selain memunculkan ruang pembatalan atas penetapannya, tidak ada perubahan yang krusial terkait secondary adjustment di dalam PMK 172/2023 ini. Secara definisi maupun konsep, secondary adjustment yang tertuang di dalam beleid baru ini masih tetap sama dengan beleid sebelumnya.
Sejalan dengan ketentuan sebelumnya, seperti PER 22/2013 dan SE 50/2013. Kemudian, diatur kembali di PMK 22/2020 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55/2022), atas selisih yang timbul akibat primary adjustment, masih diperlakukan sebagai pembagian laba secara tidak langsung kepada entitas afiliasi, sehingga diperlakukan sebagai dividen (constructice dividends) yang dikenai Pajak Penghasilan (PPh).
Selain mempertegas pengertian dari secondary adjustment, PMK 172/2023 juga menjelaskan kapan dividen yang timbul akibat secondary adjustment terutang PPh. Yaitu pada saat dibayarkannya penghasilan, disediakan untuk dibayarkannya penghasilan, atau jatuh temponya pembayaran penghasilan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
Baca Juga: Secondary Adjustment, Ketidakpastian Baru, dan Potensi Pajak Ganda
Fleksibilitas Corresponding Adjustment
Selain mengatur kembali mengenai primary adjustment dan secondary adjustment, PMK 172/2023 juga memperjelas dan mengatur kembali ketentuan terkait corresponding adjustment.
Pengaturan mengenai corresponding adjustment yang tertuang di dalam PMK 172/2023 kini menjadi lebih fleksibel dibandingkan beleid sebelumnya. Khususnya, terkait proses corresponding adjustment yang dilakukan melalui Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP).
Sebagai informasi, corresponding adjustment merupakan penyesuaian yang dilakukan atas primary adjustment melalui pemeriksaan atau atas koreksi penentuan harga transfer oleh otoritas pajak negara mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Tujuannnya, untuk menyesuaikan besaran PKP.
Penyesuaian PKP tersebut dapat diajukan Wajib Pajak Dalam Negeri yang lawan transaksinya merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri yang dilakukan koreksi atau Subjek Pajak Luar Negeri yang dilakukan koreksi oleh otoritas pajak mitra P3B.
Adapun corresponding adjustment dengan lawan transaksi yang berada di luar negeri, hanya dapat diajukan melalui MAP. Proses tersebut dapat diajukan bersamaan dengan permohonan gugatan, keberatan, banding, pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar, atau peninjauan kembali.
Dalam tahap ini, pemerintah memberikan fleksibilitas bagi Wajib Pajak untuk bisa mengajukan corresponding adjustment bersamaan dengan upaya hukum lainnya, tanpa ada keharusan memasukkan poin koreksi harga transfer ke dalam permohonan keberatan, banding, ataupun peninjauan kembali. Jadi, Wajib Pajak dapat memilih memasukkan poin koreksi harga transfer ke dalam MAP saja.
Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya, di mana Wajib Pajak harus mencantumkan poin koreksi harga transfer baik di dalam dokumen permohonan upaya hukum yang berjalan maupun permohonan MAP.
Baca Juga: Corresponding Adjustment, Anti Double Taxation yang Tak Dilirik Otoritas
Corresponding Adjustment Domestik
Selain diajukan dengan lawan transaksi di negara mitra P3B, corresponding adjustment juga bisa dilakukan dengan lawan transaksi yang berada di Indonesia (domestik). Syaratnya, apabila Wajib Pajak Dalam Negeri lawan transaksi menyetujui SKP dan tidak mengajukan upaya hukum atas SKP tersebut.
Apabila Wajib Pajak Dalam Negeri yang dilakukan koreksi telah memenuhi kedua syarat di atas, Wajib Pajak Dalam Negeri lawan transaksi dapat mengajukan corresponding adjustment dengan tiga mekanisme.
Pertama, melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), selama Wajib Pajak Dalam Negeri belum dilakukan Pemeriksaan. Namun sebelum melakukan pembetulan SPT dan penerbitan SKP, Wajib Pajak Dalam Negeri lawan transaksi harus terlebih dahulu mengirimkan pemberitahuan secara tertulis terkait informasi penentuan harga transfer kepada DJP.
Kedua, dilakukan penerbitan SKP dengan mempertimbangkan SKP primer Wajib Pajak Dalam Negeri lawan transaksi apabila Wajib Pajak Dalam Negeri sedang dilakukan Pemeriksaan. Penerbitan SKP dilakukan dalam hal terdapat pembetulan SPT disertai pemberitahuan tertulis oleh Wajib Pajak kepada DJP atau Wajib Pajak menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran SPT kepada DJP.
Ketiga, melalui mekanisme pembetulan SKP secara jabatan, dengan mempertimbangkan penentuan harga transfer oleh DJP. Hal ini dilakukan selama Wajib Pajak Dalam Negeri telah diterbitkan SKP dan tidak mengajukan upaya hukum atas materi corresponding adjustment.
Ketiga mekanisme tersebut diajukan dengan mengacu kepada ketentuan dalam Undang-Udang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Implementasi dan Tantangan
Dalam penerapannya di Indonesia, masih terdapat beberapa isu terkait dengan penyesuaian yang dapat dilakukan oleh otoritas pajak di Indonesia. Terkait primary adjustment, basis yang digunakan Fiskus sering kali berbeda dengan sudut pandang Wajib Pajak. Misalnya, penolakan atau pemilihan data pembanding yang kurang sesuai dengan karakteristik usaha Wajib Pajak. Atas primary adjustment tersebut, dilakukan secondary adjustment yang memberikan kerancuan atas definisi dari dividen menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh itu sendiri.
Dalam OECD TP Guidelines, secondary adjustment tidak hanya terbatas sebagai constructive dividens, tetapi juga dapat diperlakukan sebagai constructive equity contributions dan constructive loans. Memang, konsep constructice dividends di Indonesia tidak bertentangan dengan ketentuan OECD. Namun, jika constructive dividens ditetapkan, padahal bukan atas transaksi dengan pemegang saham, maka akan menimbulkan kerancuan atas definisi dividen itu sendiri.
Selanjutnya mengenai corresponding adjustment, hingga kini belum pernah dilakukan oleh otoritas pajak di Indonesia meskipun tercantum dalam regulasi sebelumnya. Jika persoalannya, karena selama ini hanya tertuang dalam aturan teknis, semoga dengan diaturnya dalam level peraturan yang yang lebih tinggi, Wajib Pajak memiliki dasar yang kuat untuk mengajukan corresponding adjustment kepada DJP.
Kompleksitas dalam penerapan corresponding adjustment tampaknya perlu menjadi perhatian jika ada perbedaan koreksi di antara kedua Fiskus maka akan timbul beban administrasi yang panjang. Selain itu perlu adanya ketentuan teknis lebih lanjut terkait dengan persyaratan administrasi yang dibutuhkan baik dalam pengajuan corresponding adjustment maupun pembatalan secondary adjustment. (ASP)