Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada awal tahun 2020 menetapkan peraturan baru terkait tata cara pelaksanaan kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA). Salah satu ketentuan terbaru yang popular belakangan ini adalah terkait dengan koreksi sekunder (secondary adjustment) terkait penetapan harga transfer antarpihak terafiliasi.
Secondary adjustment merupakan koreksi lanjutan dari koreksi primer (primary adjustment) terhadap transaksi afiliasi atau penetapan harga transfer (transfer pricing) antar-grup usaha.
Ketentuan mengenai secondary adjustment di Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor. 22/PMK.03/2020. Beleid ini kemudian menjadi acuan atau landasan yuridis bagi para fungsional pemeriksa pajak di lapangan, dengan menganggap pemeriksaan primer transaksi afiliasi sebagai dividen yang seharusnya dikenai pajak penghasilan (PPh).
Praktik pemeriksaan lanjutan ini justru dianggap menciptakan kondisi ketidakpastian baru bagi para pelaku usaha. Pasalnya, primary adjustment—yang timbul akibat perbedaan perspektif antara PMK Nomor 213/PMK.03/2016 dengan Peraturan Dirjen Pajak (PER) Nomor 22/PJ/2013—sampai saat ini masih sering menimbulkan sengketa antara wajib pajak (WP) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yang penangannya berlarut hingga ke proses banding atau Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.
Salah satu contohnya adalah perbedaan penerapan prinsip saat pemilihan data dan informasi perusahaan pembanding dalam analisis transfer pricing. Sesuai ketentuan terbaru (PMK Nomor 213/PMK.03/2016), WP menerapkan prinsip ex-ante untuk menguji kewajaran transaksi afiliasi. Dalam hal ini, WP menggunakan data atau informasi pembanding sebelum atau saat transaksi transfer pricing dilakukan.
Sebaliknya, fiskus dalam menelaah dokumentasi transfer pricing masih memegang prinsip ex-post atau menggunakan data atau informasi pembanding setelah transaksi afiliasi. Pedomannya adalah regulasi lawas: Surat Direktorat Jenderal Pajak Nomor S-153/PJ.04/2010; Surat Edaran Dirjen Pajak (SE) Nomor. 50/PJ/2013; dan PER Nomor. 22/PJ/2013.
Perbedaan perspektif semacam itu saja sampai saat ini belum menemukan solusi atau kesepakatan antara WP dan DJP. Sekarang, WP justru dihadapkan pada ketidakpastian baru berupa secondary adjustment, menyusul terbitnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang merevisi banyak klausul dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Pada Penjelasan Pasal 18 ayat (3) UU PPh secara tegas menyatakan bahwa selisih nilai transaksi afiliasi dengan nilai wajar (arm’s length price) berdasarkan penilaian fiskus, juga dianggap sebagai dividen yang dikenai PPh (constructive dividend) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Namun, hingga tulisan ini diterbitkan, belum ada petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci mengatur mengenai mekanisme teknis dari ketentuan tersebut, termasuk mekanisme penyesuaian lanjutan (corresponding adjustment) pada transaksi afiliasi domestik.
Koreksi Transfer Pricing
Berdasarkan PER-22/PJ/2013 dan PMK-240/PMK.03/2014, terdapat tiga jenis koreksi transfer pricing: (1) koreksi primer, (2) koreksi sekunder, dan (3) penyesuaian lanjutan.
Cakupan koreksi primer (primary adjustment) adalah selisih antara harga atau laba transaksi afiliasi dengan harga atau laba wajar.
Sedangkan, koreksi sekunder (secondary adjustment) merupakan koreksi tambahan yang dapat terjadi akibat adanya koreksi primer pada transaksi afiliasi atau koreksi atas kewajiban objek pajak lainnya. Misalnya, Pemeriksa Pajak melakukan koreksi positif atas suatu transaksi afiliasi WP. Akibat koreksi positif tersebut, terdapat kelebihan pembayaran kepada pihak afiliasi. Untuk itu, atas kelebihan pembayaran tersebut, Pemeriksa Pajak dapat melakukan koreksi sekunder berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Selanjutnya, atas koreksi primer dan koreksi sekunder dapat dilakukan penyesuaian lanjutan (corresponding adjustment) atas penghasilan kena pajak WP suatu negara atau yurisdiksi oleh Otoritas Pajak terkait. Penyesuaian lanjutan ini merupakan akibat dari koreksi transfer pricing yang dilakukan oleh Otoritas Pajak negara atau yurisdiksi lainnya (primary adjustment). Alhasil, alokasi penghasilan pada kedua negara atau yurisdiksi tersebut konsisten, dengan tujuan untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda (double taxation). Dalam prakteknya, corresponding adjustment seharusnya dapat dikenakan pula dalam transaksi domestik.
Double Taxation
UU PPh menegaskan bahwa pemotongan PPh Pasal 26 (withholding tax) bersifat final, termasuk atas dividen dalam konteks secondary adjustment. Dengan demikian, withholding tax atas dividen tersebut tidak dapat dikreditkan di negara lawan transaksi dan akan menimbulkan terjadinya pajak berganda (double taxation).
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) juga sudah mengingatkan terjadinya potensi pajak berganda dalam penerapan secondary adjustment. Dalam OECD Transfer Pricing Guidelines 2022, potensi double taxation dapat dihindari jika kredit pajak yang sesuai (corresponding credit) atau beberapa bentuk keringanan lainnya, diberikan oleh negara lawan transaksi atas liabilitas pajak tambahan yang mungkin muncul akibat secondary adjustment. Apabila Otoritas Pajak tertentu tetap melakukan secondary adjustment berbentuk dividen konstruktif maka setiap pemotongan pajak bisa jadi tidak dapat ditarik kembali karena mungkin dianggap tidak ada penerimaan—jika didasarkan atas undang-undang domestik yurisdiksi lain.
Selain itu, berdasarkan ketentuan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh, dapat diketahui bahwa yang dimaksud pengertian dari dividen, baik secara nyata maupun terselubung adalah bagian yang diatribusikan hanya kepada pemegang saham. Artinya, secondary adjustment tidak dapat dilakukan oleh fiskus jika primary adjustment dapat diidentifikasi sebagai transaksi afiliasi atau bukan transaksaksi dengan para pemegang saham (direct shareholders).
Benchmark Global
Di Amerika Serikat (AS), secondary adjustment dapat dilakukan melalui dua opsi atau yang dikenal sebagai conforming adjustment. Pertama, melalui prosedur domestik sesuai Rev. Proc. 99-32 yang memungkinkan WP memilih untuk memindahkan dana yang telah dikeluarkan/diterima terkait transaksi afiliasi (commercial purpose). Alasannya adalah untuk keselerasan dengan posisi pajaknya (tax purpose) dengan mekanisme repatriasi tunai elektif (elective cash repatriation mechanism), sehingga upaya secondary adjustment tidak perlu ditempuh.
Opsi kedua adalah melalui mekanisme penyesuaian sekunder inferensial (inferential secondary adjustments mechanism), dengan menganggap atas selisih nilai transaksi afiliasi terhadap nilai wajar transaksi tersebut telah terjadi satu atau lebih transaksi sekunder.
Lain halnya di Belanda, undang-undangnya mewajibkan WP melakukan secondary adjustment guna mengenali dampak dari transaksi sekunder yang dilakukan. Transaksi sekunder semacam itu sifatnya wajib. Mengacu kepada undang-undang terkait, opsi seperti penyesuaian neraca berjalan (current account), dividen kena pajak (constructive dividend), dan suntikan modal (constructive capital injection) sangat mungkin dilakukan. Namun, undang-undang mengecualikan penerapan secondary adjustment berupa dividen kena pajak (constructive dividend) jika: (1) negara lain tidak mengakui transaksi sekunder yang dilakukan oleh WP dan, sebagai akibatnya, WP tidak melakukan koreksi sehubungan dengan pemotongan pajak yang dibayarkan atas dividen di negara Belanda; dan (2) tidak terdapat penyalahgunaan hukum dalam penghindaran pemotongan pajak yang terutang atas dividen.
Kasus BMC Software Inc v. Commissioner of Internal Revenue bisa menjadi contoh penerapan praktis dan implikasinya atas ketentuan secondary adjustment terkait penetapan harga transfer di AS. Kesimpulan kasus tersebut adalah WP dapat menyangkal sangkaan Otoritas Pajak dan dapat membuktikan bahwa terhadap transaksi afiliasi utama telah memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
*Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan kmencerminkan sikap institusi di mana penulis bekerja.
**Artikel telah terbit di Kumparan, 30 Agustus 2022