Opinion
Corresponding Adjustment, Anti Double Taxation yang Tak Dilirik Otoritas

Shinta Marvianti, Monday, 29 May 2023

Corresponding Adjustment,  Anti Double Taxation yang Tak Dilirik Otoritas

Hasil pengujian lanjutan atas transaksi harga transfer atau transfer pricing perusahaan afiliasi atau antar-grup usaha, berupa secondary adjustment, hampir selalu menimbulkan sengketa perpajakan. Tidak hanya itu, praktik ini juga berpotensi menimbulkan pemajakan berganda alias double taxation

Sebagai informasi, secondary adjustment merupakan pengujian lanjutan atas primary adjustment atau pengujian awal yang dilakukan otoritas pajak atas penetapan harga transfer dalam suatu transaksi afiliasi.

Ketentuan mengenai secondary adjustment selama ini ditetapkan di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor. 22/PMK.03/2020. Selain itu, belum lama ini hal tersebut juga ditegaskan Kembali di dalam Pasal 36 ayat (6) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.

Baca Juga: Penegasan Secondary Adjustment Harga Transfer Sebagai Dividen

Dalam melakukan pengujian, DJP menetapkan besaran selisih antara harga transfer dengan harga jual atau laba wajarnya dan dikategorikan sebagai constructive dividend.

Jadi, hasil akhir secondary adjustment yang mutlak menetapkan selisih antara harga transfer dengan nilai wajar atau laba wajar, sebagai pembayaran dividen tidak langsung, berpotensi merugikan WP.  

Ujungnya, WP akan mengajukan keberatan dan jika keberatan tidak dikabulkan maka sengketa akan berlanjut di pengadilan pajak.  Ada beberapa alasan mengapa WP keberatan dengan penetapan selisih harga transfer sebagai constructive dividend.

Pertama, WP merasa selisih tersebut bukan pembayaran dividen. Argumentasinya adalah, dividen secara definisi merupakan pembayaran yang diberikan kepada pemegang saham sebagai bagian dari keuntungan yang diterima perusahaan.

Baca Juga: Secondary Adjustment, Ketidakpastian Baru, dan Potensi Pajak Ganda

Jadi, akan aneh jika transaksi afiliasi dinyatakan dividen, padahal tidak terikat hubungan kepemilikan atau bahkan dilakukan dengan pihak independen. Bahkan, meskipun transaksi tersebut dilakukan terhadap pemegang saham, bukan berarti koreksi atas harga transfernya ditetapkan sebagai dividen.

Pajak Berganda

Kedua, pembayaran dividen merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 yang pengenaannya dilakukan dengan cara dipotong atau withholding tax dan bersifat final. 

Ketiga, jika suatu institusi dianggap membayar dividen, maka ada pihak lain yang seharusnya dianggap sebagai penerima dividen. 

Namun, dalam konteks secondary adjustment, pengenaan PPh Pasal 26 hanya berlaku pada perusahaan yang diperiksa. DJP, sering kali tidak melakukan koreksi yang sama terhadap lawan transaksi harga transfer. Terlebih jika perusahaan tersebut tidak berada di Indonesia atau WP Luar Negeri.

Padahal, pemotongan PPh Pasal 26 yang seharusnya bisa menjadi kredit pajak bagi lawan transaksi. Nah, karena koreksi ini tidak dilakukan kepada lawan transaksi, akan menimbulkan pemajakan berganda.

Namun perlu diingat, risiko ini pengenaan pajak berganda atau double taxation ini bisa saja terjadi tidak hanya pada transaksi lintas negara atau yurisdiksi, tetapi juga untuk koreksi harga transfer di dalam negeri.

Baca Juga: Memahami Tiga Metode Harga Transfer Baru Dalam PP 55 Tahun 2022

Bukan hanya itu, penetapan PPh Pasal 26 terutang juga bisa menimbulkan implikasi lain, yaitu pengenaan sanksi administrasi jika tidak segera dilaksanakan oleh WP. Sehingga, beban pajak yang harus ditanggung menjadi lebih besar.

Tentang Corresponding Adjustment

Untuk meminimalisir pengenaan pajak berganda tersebut, otoritas pajak sebetulnya memiliki opsi untuk menjalankan prosedur corresponding adjustment. Suatu penyesuaian atas harga transfer lanjutan, setelah secondary adjustment dengan melibatkan lawan transaksi. Sayangnya, opsi ini sering tidak dilirik otoritas pajak di Indonesia.

Secara definisi, corresponding adjustment merupakan penyesuaian penghasilan kena pajak WP suatu negara atau yurisdiksi oleh otoritas pajak negara atau yurisdiksi tersebut.  Penyesuaian itu dilakukan akibat koreksi transfer pricing yang dilakukan oleh otoritas pajak negara atau yurisdiksi lainnya (primary adjustment).

Hal ini dilakukan agar alokasi penghasilan pada kedua negara atau yurisdiksi tersebut konsisten, dengan tujuan untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda. Pertanyaannya, mengapa otoritas tidak menggunakan corresponding adjustment, sebagai tools yang bisa menghindarkan WP dari pengenaan pajak berganda?

Evaluasi Mendalam

Sebelum jauh ke sana, sebaiknya kita harus melakukan evaluasi dan analisa yang lebih mendalam terhadap prosedur penyesuaian harga transfer yang berlaku di Indonesia secara keseluruhan. Tidak hanya mengenai penggunaan corresponding adjustment.

Kita bisa mulai dari pelaksanaan primary adjustment dan secondary adjustment. Apakah kebijakan yang berlaku saat ini sudah tepat dilakukan atau tidak.

Misalnya, penetapan constructive dividend yang merupakan hasil akhir proses secondary adjustment. Di beberapa negara constructive dividend akan dilakukan hanya jika, dilakukan juga terhadap lawan transaksinya.

Sementara di beberapa negara lainnya, secondary adjustment dilakukan melalui repatriasi, dengan catatan memiliki underlying transaction. Misalnya, jika dianggap sebagai dividen, maka harus jelas pembayaran dividennya terjadi dan siapa yang menerimanya.

Sebagai kesimpulan, kita semua paham bahwa melakukan koreksi dan penyesuaian atas harga transfer merupakan hak otoritas pajak. Namun, pemerintah diharapkan lebih bijaksana untuk menelaah Kembali praktiknya di lapangan dan praktik yang berlaku umum secara global sebagai best practice.

Sehingga, koreksi yang dilakukan atas penetapan harga transfer oleh perusahaan tidak menjadi beban tambahan sehingga memberikan efek negatif bagi WP. (ASP)



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.