PMK 172/2023 Perjelas Kewajiban BUT Terkait Transaksi Afiliasi
By: Muhammad Arrasyid
|
Thursday, 01 February 2024
Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 Tahun 2023 (PMK 172/2023) memberikan pedoman lebih jelas, bagi Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang melakukan transaksi dengan pihak afiliasi atau pihak yang memiliki hubungan istimewa.
Pasalnya, ketentuan mengenai penerapan Prinsip Kewajiban dan Kelaziman Usaha, sudah pernah dibahas pada PMK Nomor 22/PMK.03/2020. Pada PMK 172/2023, yang berlaku sejak 29 Desember 2023, ketentuan tersebut kemudian dibahas kembali untuk menegaskan kewajiban BUT dalam menerapkan PKKU.
Adapun beleid tersebut secara umum mengatur tentang penerapan Prinsip Kewajiban dan Kelaziman Usaha (PKKU) dalam transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Baca Juga: Konsolidasikan Regulasi Terkait Transfer Pricing, Simak Uraian PMK 172/2023 Berikut
BUT Sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri
Merujuk Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 BUT didefinisikan sebagai badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selain itu, berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 36 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlakuan perpajakan BUT sebagai subjek pajak, dipersamakan dengan subjek pajak badan. Oleh karenanya, BUT wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.
Pada dasarnya, Pembentukan BUT harus didasari oleh perjanjian yang disepakati Indonesia dengan negara mitra. Kesepakatan tersebut biasa disebut sebagai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau yang dikenal sebagai tax treaty. Namun, apabila tidak terdapat P3B antara Indonesia dengan suatu negara, maka ketentuan mengenai pembentukan BUT mengacu kepada peraturan perpajakan Indonesia.
Baca Juga: Ketentuan Biaya Pengurang Penghasilan Bruto yang Wajib Dipahami Perusahaan BUT
BUT dan WP DN
Dalam PMK 172/2023, apabila wajib pajak dalam negeri melakukan transaksi dengan pihak yang dipengaruhi hubungan istimewa, dan pihak tersebut memenuhi ketentuan terkait terbentuknya BUT di Indonesia, maka wajib pajak tersebut juga ditetapkan sebagai BUT. Dalam hal ini, entitas BUT dan wajib pajak dalam negeri tersebut tidak diperkenankan untuk digabung. Hal ini karena BUT merupakan separate entity yang memiliki kewajiban perpajakannya sendiri. Ketentuan ini dijelaskan pada Pasal 15 ayat (1) PMK 172/2023 sebagai berikut:
“Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penentuan bentuk usaha tetap, Wajib Pajak dalam negeri tersebut juga ditetapkan sebagai bentuk usaha tetap.”
Kemudian, atas transaksi yang dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dan terkait dengan kegiatan yang dilakukan oleh BUT tersebut wajib dilaporkan oleh BUT, untuk menghitung kewajiban perpajakannya.
Kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, seperti Pasal 5 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Hal tersebut sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) sebagai berikut:
(2) Bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan seluruh data dan/ atau informasi terkait transaksi yang dilakukan oleh Pihak Afiliasi di luar negeri yang terkait dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap.
(3) Penyampaian seluruh data dan/ atau informasi terkait transaksi yang dilakukan oleh Pihak Afiliasi di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
Implikasinya, jika BUT tidak menyampaikan data atau informasi tersebut, maka nilai transaksinya akan ditentukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) yang dilakukan oleh otoritas pajak Indonesia. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 15 ayat (5) PMK 172/2023 sebagai berikut:
Dalam hal bentuk usaha tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), nilai transaksi ditentukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
Relevansi Aturan
Namun, terlepas dari itu, secara garis besar, terbitnya PMK 172/2023 memberikan kepastian hukum kepada BUT terkait kewajiban yang perlu dipenuhi apabila terdapat transaksi afiliasi yang dilakukan dengan pihak afiliasi.
Sebagai informasi, selain mengatur terkait transaksi BUT, PMK 172 Tahun 2023 juga mengatur hal-hal lainnya terkait PKKU. Beberapa diantaranya seperti kualifikasi terkait dengan pembatalan secondary adjustment dan penerapan Profit Split Method (PSM), batas waktu penyampaian laporan dokumentasi penentuan harga transfer atau transfer pricing documentation (TP Doc), pendekatan Ex-Ante dalam penyusunan Dokumen Lokal (Local File) dan Dokumen Induk (Master File) dan lainnya. (ASP)