Dilema Etika di Balik Penundaan Cukai Minuman Manis
Ismalia Febriyanti*
|
Tuesday, 05 December 2023
Indonesia menjadi salah satu negara yang tingkat konsumsi gula tinggi. Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA), Indonesia menempati posisi keenam dengan tingkat konsumsi gula sebesar 7,8 juta metrik ton.
Salah satu produk mengandung gula yang banyak dikonsumsi adalah Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). MBDK merupakan produk minuman yang diberi gula tambahan atau pemanis buatan yang dikemas dalam kaleng atau botol.
Varian rasa yang beragam serta desain kemasan yang praktis, membuat produk seperti ini cepat popular di masyarakat. Karena, sangat erat dengan gaya hidup masyarakat modern yang menuntut serba praktis dan instan.
Meskipun praktis dan nyaman untuk dikonsumsi, MBDK dapat memicu dampak yang serius terhadap kesehatan. Gula tambahan atau pemanis buatan yang terkandung dalam MBDK dapat menyebabkan terjadinya obesitas. Selain itu, kebiasaan mengonsumsi MBDK juga dapat menyebabkan melonjaknya kadar glukosa dalam darah yang dapat meningkatkan risiko terkena Diabetes Melitus Tipe 2.
Risiko Kesehatan
Menurut data dari International Diabetes Federation (IDF), Indonesia ada di posisi kelima jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia dengan jumlah mencapai 19,47 juta kasus. Tingginya kasus diabetes tersebut tidak hanya mengancam kesehatan, tetapi juga membawa pengaruh terhadap pengeluaran negara dalam hal pembiayaan pengobatan diabetes, khususnya pada BPJS Kesehatan.
Guna menekan laju diabetes di Indonesia, pemerintah pun telah menyusun rencana untuk mengenakan cukai pada minuman manis. Fungsi kebijakan cukai disini sebagai regulerend, yaitu untuk mengatur dan mengendalikan konsumsi masyarakat atas MBDK.
Cara kerja cukai ini adalah dengan menetapkan tarif sekian persen atas MBDK yang diproduksi di dalam negeri mau pun yang diimpor dari luar negeri. Skema tarif yang dirancang adalah tarif tunggal atau single tariff berdasarkan kandungan gula atau Rp/liter dengan besaran yang diusulkan sebesar Rp650 per liter.
Baca Juga: Pemerintah Tetapkan Tiga Kategori Minuman Berpemanis Kena Cukai
Menekan Konsumsi Lewat Cukai
Pengenaan cukai diharapkan bisa menambah ongkos produksi, sehingga berdampak pada kenaikan harga jual. Sehingga, dengan harga jual yang tinggi ini, masyarakat diharapkan akan berpikir ulang untuk mengonsumsinya dan beralih menggunakan air minum yang lebih menyehatkan.
Dengan demikian, risiko masyarakat terkena obesitas dan diabetes semakin kecil. DI sisi lain, pemerintah, pengenaan cukai dapat menambah penerimaan negara dan memangkas anggaran kesehatan.
Mekanisme penerapan cukai MBDK ini telah dikaji oleh Kementerian Keuangan bersama dengan Kementerian Kesehatan sejak 2019. Penerapannya pun dirancang untuk dijalankan di tahun 2023.
Kendala Ekonomi
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 130 Tahun 2022 tentang Rincian Penerimaan Perpajakan RAPBN 2023, tercantum cukai MBDK dengan total sebesar Rp3,08 triliun. Namun, pada bulan Juli 2023 lalu, pemerintah memutuskan untuk menunda penerapan cukai MBDK dan diundur ke tahun 2024.
Lantas, apa sebenarnya alasan pemerintah tidak menyegerakan penerapan cukai MBDK? Bukankah Indonesia sudah darurat obesitas dan diabetes?
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menegaskan bahwa pihaknya masih mempertimbangkan banyak hal untuk merumuskan kebijakan cukai MBDK ini. Salah satu pertimbangannya adalah kondisi ekonomi dalam negeri yang masih dalam masa pemulihan.
Selanjutnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, turut membeberkan hal-hal yang menjadi alasan penundaan kebijakan cukai MBDK. Askolani mengatakan bahwa masih diperlukannya pembahasan lebih lanjut oleh Kemenkeu dengan DPR, penyesuaian dengan kondisi aktual pemulihan ekonomi nasional dan global yang terdampak Covid-19, dan diperlukannya regulasi yang matang dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Askolani pun berjanji bahwa cukai MBDK akan segera diterapkan pada tahun 2024.
Baca Juga: Cukai Plastik dan Minuman Berpemanis Batal Berlaku Tahun Ini, Berikut Alasannya
Alasan Tidak Relevan
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), angkat suara perihal penundaan penerapan cukai MBDK ini. Menurut CISDI, penundaan ini dapat memperbesar risiko kesehatan yang mengancam masyarakat.
Salah satu alasan penundaan cukai MBDK, yaitu kondisi ekonomi yang belum pulih karena terdampak pandemi Covid-19 dinilai tidak relevan. Sebab, cukai MBDK hanya akan dipungut atas minuman berpemanis, bukan atas kebutuhan pokok masyarakat. Sehingga, cukai MBDK ini tidak akan menyulitkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.
Lebih lanjut, Project Lead Food Policy CISDI, Calista Sagalita, menyebutkan justru kondisi ekonomi negara lebih berkorelasi dengan kondisi kesehatan. Pasalnya, di tahun 2019, jumlah beban biaya kesehatan (BPJS) yang dikeluarkan pemerintah akibat penyakit terkait konsumsi gula mencapai angka yang fantastis, sebesar Rp108 triliun. Hal ini seharusnya mendorong penerapan cukai MBDK untuk segera diterapkan mengingat negara butuh pemasukan akibat kondisi ekonomi yang sedang anjlok.
Belajar Dari Negara Lain
Di beberapa negara, seperti Chili, Hungaria, Thailand, Inggris, Meksiko, hingga Arab Saudi, penerapan cukai MBDK terbukti membawa dampak positif pada penurunan konsumsi MBDK sebesar 8-10%.
Di Meksiko, sejak Januari 2014, cukai MBDK diperkenalkan dengan tarif 10% atau satu peso per liter. Dampak yang ditimbulkan adalah penurunan penjualan MBDK dengan rata-rata 6-8%, dan penjualan minuman yang tidak terkena cukai meningkat 4-6%. Selama tahun pertamanya, cukai MBDK di Meksiko mampu menghasilkan sekitar USD 1,2 miliar.
Selain Meksiko, di Inggris diberlakukan retribusi industri minuman ringan sejak tahun 2018. Minuman ringan dengan kandungan gula per liter yang lebih sedikit akan dikenakan tarif cukai yang lebih rendah, dan minuman tanpa gula tambahan dikecualikan dari pengenaan cukai.
Hasilnya membuktikan bahwa volume minuman berpemanis yang mengandung lebih dari 5 gram gula per 100 ml mengalami penurunan sebesar 50%. Akibat penerapan cukai MBDK ini, pendapatan di Inggris diperkirakan mencapai USD 308 juta per tahun.
Fakta bahwa cukai MBDK menjadi suatu hal yang krusial tidak dapat dihindari. Penundaan penerapan cukai ini mungkin memberikan ruang berpikir bagi pemerintah. Namun, perlu diingat bahwa kondisi kesehatan masyarakat Indonesia berada di fase yang cukup mengkhawatirkan mengingat tingginya angka obesitas dan diabetes di Indonesia.
Dengan melihat negara-negara yang sukses mencapai tujuannya dalam pelaksanaan kebijakan cukai MBDK, seharusnya ini menjadi dorongan bagi pemerintah Indonesia untuk tidak lagi menunda-nunda pelaksanaan cukai MBDK, melainkan segera memantapkan dan memberlakukannya. (ASP).
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.