Menyoal Ungkap Ketidakbenaran SPT, Saat Tidak Timbulkan Pajak Terutang
Cindy Claudya Cynthia,
Tuesday, 03 October 2023
Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi setiap wajib pajak, sebagai bagian dari sistem self assessment yang dianut Indonesia. Namun, yang perlu diingat, SPT Tahunan harus disampaikan secara benar, lengkap, dan jelas.
Ada dua opsi yang bisa dilakukan Wajib Pajak bila menyadari SPT tahunan yang disampaikan ternyata keliru atau tidak lengkap, tidak benar atau tidak jelas. Opsi pertama adalah dengan mengajukan pembetulan.
Namun jika opsi pembetulan sudah tidak bisa digunakan karena beberapa hal, maka wajib pajak bisa mengajukan pengungkapan ketidakbenaran.
Batas Waktu Pembetulan SPT
Ada beberapa hal yang menyebabkan wajib pajak tidak bisa melakukan pembetulan. Pertama karena melewati batas waktu yang ditentukan. Kedua karena sudah terlanjur dilakukan pemeriksaan.
Lalu, bagaimana jika DJP terlanjur melakukan pemeriksaan sebelum pembetulan dilakukan? Maka, kesempatan untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan bagi wajib pajak tertutup. Hal ini sebagaimana tertuang di dalam Undang-undang (UU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Baca Juga: Putusan Mutual Agreement Jadi Dasar Pembetulan SPT Tahunan
Sebetulnya, secara regulasi, pembetulan SPT bisa dilakukan selama Wajib Pajak belum diperiksa. Namun untuk pembetulan SPT Tahunan yang menyatakan rugi atau lebih bayar, terdapat batas waktu maksimal dua tahun sebelum daluwarsa pajak atau tiga tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak.
Masalahnya, untuk SPT yang menunjukkan posisi Lebih Bayar atau restitusi, DJP harus mengeluarkan ketetapan dalam jangka waktu 12 bulan selah SPT dilapor, sehingga Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) akan lebih cepat disampaikan ke Wajib Pajak.
Opsi Pengungkapan Ketidakbenaran
Ketika DJP sudah terlanjur memeriksa, Wajib Pajak sebetulnya punya opsi lain untuk ‘memperbaiki’ SPT yang telah disampaikan, selain dengan prosedur pembetulan SPT. Mekanisme terakhir yang tersedia adalah dengan melakukan pengungkapan ketidakbenaran.
Baca Juga: Selalu Kurang Bayar, Bagaimana Cara Agar SPT Nihil?
Pengungkapan ketidakbenaran merupakan proses pembetulan secara sukarela atas SPT yang dianggap tidak benar, ketika proses pemeriksaan berlangsung.
Perlu dicatat, pengungkapan ketidakbenaran tidak serta merta memberhentikan proses pemeriksaan. Sebab, proses pemeriksaan tetap akan dilanjutkan, meskipun Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran.
Sebagai informasi, wajib pajak dapat melakukan pengungkapan ketidakbenaran sepanjang belum diterbitkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).
Hal tersebut untuk lebih memberikan kepastian hukum dan menghindari kemungkinan tidak dipertimbangkannya laporan pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT oleh pemeriksa pajak. Sehingga SPHP seharusnya sudah mencerminkan seluruh temuan-temuan yang dihasilkan selama pelaksanaan pemeriksaan.
Meski tidak menghentikan proses pemeriksaan, dengan mengajukan pengungkapan ketidakbenaran wajib pajak berkesempatan untuk menjelaskan mengenai isi SPT tahunan yang diyakini. Harapannya, hasil pemeriksaan yang dilakukan sesuai dengan isi pengungkapan ketidakbenaran.
Persoalan Regulasi
Persoalannya, seringkali DJP beranggapan setiap pengungkapan ketidakbenaran itu harus menyebabkan perubahan jumlah pajak terutang atau pajak yang masih harus dibayar, perubahan laba atau rugi fiskal, atau perubahan jumlah harta dan modal.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 8 UU KUP lama yaitu sebagai berikut:
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
- pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
- rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
- jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
- jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
Berikut ini, contoh pengungkapan ketidakbenaran yang tidak mengubah jumlah pajak terutang. Pertama, adanya kesalahan mapping angka-angka di SPT, tapi tidak mengubah nilai secara total.
Kedua, adanya lampiran SPT yang kurang disampaikan oleh Wajib Pajak, seperti laporan utang luar negeri atau daftar nominatif biaya promosi maupun biaya entertain. Ketiga, perubahan rincian transaksi afiliasi.
Padahal, meskipun tidak mengubah jumlah pajak terutang, secara regulasi hal-hal itu bisa dijadikan dasar mengajukan pengungkapan ketidakbenaran. Sebab, ketentuan Pasal 8 UU KUP hanya menyebut “dapat mengakibatkan” bukan “harus mengakibatkan”.
Sehingga, masih menjadi debatable, apakah pengungkapan ketidakbenaran harus mengakibatkan efek pajak atau tidak. Apalagi, di dalam Pasal 8 ayat (4) UU KUP terbaru, ketentuan tersebut dihapus sehingga bunyi pasalnya berubah menjadi sebagai berikut:
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan
Merujuk ketentuan tersebut, sangat jelas wajib pajak secara sukarela dapat mengajukan pengungkapan ketidakbenaran selama informasi yang disampaikan sesuai dengan keadaan sebenarnya, tanpa syarat harus ada perubahan pada nilainya.
Begitu juga pada ketentuan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2011 yang telah diubah dengan (PP) No. 50 Tahun 2022, menyebut, setiap pengungkapan ketidakbenaran yang menyebabkan kurang bayar akan mendapat sanksi.
Kemudian jika pengungkapan ketidakbenaran tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak, maka tidak perlu melampirkan Surat Setoran Pajak (SSP) atas pembayaran kekurangan pokok pajak dan sanksi.
Jadi, baik UU KUP baru maupun aturan turunannya, tidak menyatakan menyatakan secara spesifik, pengungkapan ketidakbenaran harus/tidak harus mengakibatkan perubahan jumlah pajak terutang.
Atas dasar itu, saya pikir sebaiknya ketentuan mengenai hal ini segera diperbaiki. Seyogyanya, otoritas pajak mengeluarkan aturan yang lebih spesifik lagi terkait scope-scope apa saja yang bisa diajukan pengungkapan ketidakbenaran.
Sanksi Administrasi Lebih Besar
Meski demikian, ada risiko yang harus diperhatikan oleh wajib pajak yang melakukan pengungkapan ketidakbenaran SPT Tahunan dibandingkan jika hanya melakukan pembetulan SPT Tahunan.
Sebab, ada risiko terkena sanksi administrasi yang lebih besar dibandingkan dengan pembetulan SPT tahunan, jika hasil pengungkapan ketidakbenaran menyebabkan kurang bayar, sebagaimana Pasal 8 ayat 2 UU KUP.
Contohnya, sanksi administrasi berupa bunga atas pembetulan SPT Tahunan pada bulan Agustus 2023 ditetapkan sebesar 0,93% per bulan. Sedangkan sanksi administrasi berupa bunga atas pengungkapan ketidakbenaran ditetapkan 1,35% (sesuai Keputusan Menteri Keuangan No. 38/KM.10/2023)
Namun, sebaliknya bila hasil pengungkapan ketidakbenaran menyebabkan lebih bayar atau nihil, wajib pajak tidak akan dikenai sanksi administrasi. Dengan kata lain tidak akan menimbulkan efek pajak apapun.
Prosedur Pengungkapan Ketidakbenaran
Sebagai informasi, pengungkapan ketidakbenaran dapat dilakukan dengan menyampaikan laporan secara tertulis kepada DJP.
Laporan tersebut disampaikan disertai lampiran-lampiran tertentu seperti penghitungan pajak yang kurang atau lebih bayar, sesuai keadaan sebenarnya. Kedua, menyampaikan surat setoran pajak (SSP) atas pelunasan pajak yang kurang dibayar.
Ketiga SSP atas pelunasan sanksi administrasi berupa bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, berdasarkan pajak yang kurang bayar.
Terlepas dari berbagai risiko yang akan dihadapi, baik pembetulan SPT maupun pengungkapan ketidakbenaran merupakan opsi yang bijak untuk diambil wajib pajak, demi memastikan SPT yang disampaikan telah sesuai.
Saya menyarankan menempuh kedua opsi tersebut dibanding membiarkan SPT Tahunan yang diketahui keliru menjadi temuan DJP hingga berujung pada diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak. Sebab, hal ini membuktikan bahwa wajib pajak memiliki itikad baik untuk menjalankan kewajiban perpajakannya dengan baik. (ASP)
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.