Penegasan Secondary Adjustment Harga Transfer Sebagai Dividen
Zulhanief Matsani,
Monday, 13 February 2023
Pemerintah menegaskan koreksi lanjutan atau secondary adjustment atas selisih harga transfer perusahaan afiliasi dengan harga wajarnya (arm’s length price), sebagai bentuk pembagian laba atau dividen tidak langsung. Sehingga harus dikenai Pajak Penghasilan (PPh) sesuai ketentuan yang berlaku.
Penegasan itu tertuang di dalam Pasal 36 ayat (6) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Beleid ini merupakan turunan dari Pasal 18 ayat (3) Undang-undang (UU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang belum secara rinci menjelaskan definisi dari dividen.
Di dalam aturan yang terbit pada tahun 2021 itu, pemerintah hanya menjelaskan mengenai kewenangan Direktur Jenderal Pajak (DJP) dalam menentukan besarnya arm’s length price suatu transaksi afiliasi, menggunakan berbagai metode yang berlaku. Sehingga, dapat dipastikan bahwa utang yang timbul dari transaksi afiliasi adalah modal yang terselubung atau bukan.
Sebagai informasi, secondary adjustment merupakan koreksi lanjutan dari koreksi primer (primary adjustment) terhadap transaksi afiliasi atau penetapan harga transfer (tranfer pricing) antar-grup usaha. Ketentuan mengenai hal ini juga tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor. 22/PMK. 03/2020.
Baca Juga: Secondary Adjustment, Ketidakpastian Baru, dan Potensi Pajak Ganda
Risiko Pajak Ganda
Perlu dicatat, ketentuan mengenai secondary adjustment ini merupakan upaya pemerintah dalam mencegah penggerusan basis pajak atau base erosion and profit shifting (BEPS).
Namun, dalam praktiknya kebijakan ini menimbulkan sejumlah kehawatiran bagi wajib pajak. Pertama, keberadaan secondary adjustment dihawatirkan akan bermasalah apabila koreksi primernya tidak meyakinkan.
Kedua, wajib pajak juga dihadapkan pada risiko terkena double taxation, apabila koreksi harga transfer dianggap sebagai dividen dan dipotong PPh, sementara lawan transaksinya tidak bisa dikreditkan. Risiko ini bisa saja terjadi tidak hanya pada transaksi linta negara atau yurisdiksi, tetapi juga untuk koreksi harga transfer di dalam negeri.
Ketiga, keberadaan secondary adjustment juga memungkinkan terjadinya koreksi harga transfer berlebihan, ketika nilai koreksi badan besar maka koreksi sekundernya dapat lebih besar, ditambah jika ada penalty.
Afiliasi VS Kepemilikan
Persoalan lain yang masih menjadi catatan dari ketentuan mengenai secondary adjustment ini adalah terkait relevansi penetapan dividen atas transaksi hubungan istimewa yang timbul bukan karena hubungan kepemilikan.
Apalagi, di dalam Pasal 35 ayat (2) PP Nomor 55 Tahun 2022, definisi hubungan istimewa tidak hanya terjadi pada transaksi afiliasi yang timbul karena kepemilikan, penguasaan atau hubungan darah.
Sementara itu, transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa juga meliputi transaksi yang dilakukan antar pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Tetapi, pihak afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi tersebut, menentukan lawan transaksi dan harga transaksi.
Jadi, tentu tidak lazim apabila transaksi afiliasi dinyatakan dividen, padahal tidak terikat hubungan kepemilikan atau bahkan dilakukan dengan pihak independen.
Padahal, pembagian dividen atau laba baik secara langsung maupun tidak langsung seyogyanya hanya dapat dilakukan jika terdapat hubungan kepemilikan secara signifikan.
Panduan OECD
Organisation for Economic Co-operation and Development di dalam Transfer Pricing Guidelines (OECD TPG) 2022, sebetulnya memberikan tiga alternatif kepada otoritas pajak di dunia dalam menetapkan bantuk secondary adjsument harga transfer.
Selain bisa menggunakan pendekatan dividen atau constructive dividends, seperti yang dipilih Indonesia, OECD juga menawarkan alternatif lain yaitu pendekatan kontribusi ekuitas atau constructive equity contribution serta bisa memakai pendekatan utang atau construstive loans.
Penearapan secondary adjustment ini memang sudah lazim di berbagai negara. Meski demkian belum semua negara menaglikasikannya. Data OECD menyebut, dari 74 negara yang didata, 51% diantaranya atau sebanyak 38 negara belum menerapkan secondary adjustment.
Sementara, jumlah negara yang menerbitkan regulasi domestic terkait secondary adjustment kurang dari separuhnya atau hanya sebanyak 36 negara, termasuk Indonesia. Sayangnya, tidak diketahui pendekatan secondary adjustment apa yang berlaku di negara-negara tersebut.
Opsi Untuk Indonesia
Dengan sejumlah risiko dan kehawatiran wajib pajak, makas penting bagi pemerintah untuk mereview kembali penggunaan pendekatan secondary adjustment tunggal, yaitu dividen. Usulan tiga pendekatan OECD bisa menjadi opsi untuk dipertimbangkan.
Kita semua pasti sepakat, bahwa celah penghindaran pajak harus ditutup rapat. Tetapi, wajib pajak juga berhak mendapatkan kepastian dan rasa nyaman dalam menjalankan semua kebijakan yang berlaku. (ASP)