Yon Arsal: Lebih Cepat, Lebih Nyaman
Monday, 11 March 2019
Hingga April nanti merupakan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2018, baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan. Bagaimana tren kepatuhan penyampaian SPT Tahunan selama ini dan strategi apa yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mendorong penyampaian SPT? Berikut penjelasan Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Direktorat Jenderal Pajak Yon Arsal ketika MUC Tax Guide berkunjung ke kantornya belum lama ini:
Bagaimana tingkat kepatuhan pajak saat ini?
Pada prinsipnya kalau kita bicara kepatuhan, secara teori ada empat pilar yaitu pendaftaran, pelaporan, kepatuhan pembayaran, dan correct reporting atau melaporkan dengan benar. Jadi yang kita publikasikan selama ini terkait dengan kepatuhan pelaporan. Kalau kepatuhan pendaftaran itu kaitannya dengan ekstensifikasi.
Kepatuhan pelaporan SPT itu kita hitung, ukurannya mulai dari jumlah Wajib Pajak terdaftar, itu Wajib Pajak yang wajib SPT berapa? Karena tidak seluruh Wajib Pajak terdaftar itu wajib SPT. Ada yang status istri, kalau perusahaan ada yang status cabang, JO atau joint operation kan tidak wajib menyampaikan SPT. Ada juga bendahara, Wajib Pajak yang penghasilannya di bawah PTKP dan Wajib Pajak yang statusnya non-efektif. Nah itu kan termasuk Wajib Pajak-Wajib Pajak yang tidak wajib menyampaikan SPT.
Seberapa besar kepatuhan penyampaian SPT sejauh ini?
Kalau untuk tahun 2018 kemarin, itu dari jumlah Wajib Pajak terdaftar di awal tahun, per 1 Januari 2018 sekitar 39 juta Wajib Pajak. Itu yang wajib SPT adalah 16,5 juta. Nah kemudian target kepatuhan yang dihitung dari jumlah Wajib Pajak terdaftar wajib SPT tersebut ditetapkan targetnya 80%, yaitu kurang lebih 14 jutaan. Realisasinya 12,5 juta sehingga capaiannya adalah sekitar 71%.
Angkanya memang sedikit turun dari yang 2017, tapi kalau kita bedah lagi kenapa turun? Itu lebih disebabkan salah satunya, karena jumlah orang pribadi (OP) non-karyawan dan badan itu naik atau tumbuh. Tapi penurunan terjadi pada Wajib Pajak-Wajib Pajak karyawan.
Kenapa Wajib Pajak karyawan penyampaian SPT-nya turun?
Karena memang sejak dua tahun yang lalu ada kenaikan batas PTKP. Dengan kenaikan PTKP, Wajib Pajak-Wajib Pajak (dengan penghasilan) di bawah PTKP tidak memasukkan SPT, otomatis sebagian besar SPT yang 1770 SS ini kan terpengaruh. Ambil contoh sekarang karena PTKP OP Rp54 juta setahun, sementara yang mengisi SS itu maksimal penghasilan setahun itu Rp60 juta. SPT yang diterima selama ini sebagian besar 1770 SS, yang berada di karyawan, pensiunan dan sebagainya. Nah orang-orang ini kan pada prinsipnya dengan kenaikan PTKP otomatis tidak lagi wajib menyampaikan SPT. Itu sebenarnya yang terjadi.
Kenapa jumlah Wajib Pajak wajib SPT tidak diturunkan agar tidak jomplang dengan target?
Karena kita tidak sepenuhnya mendapat informasi sebenarnya orang ini penghasilannya berapa, kita baru tahu setelah mereka menyampaikan SPT. Misal kita adjust sekarang untuk tahun 2019, kita cek di tahun kemarin berapa yang masih menyampaikan SPT tapi (penghasilannya) di bawah PTKP, nah itu tidak lagi kita hitung karena besar kemungkinan tahun ini dia tidak akan memasukkan SPT lagi. Tapi itu kan tidak cepat prosesnya. Bisa juga kita bilang udah kamu tidak usah menyampaikan SPT, tapi siapa tahu dia ada penghasilan lainnya yang dia report sendiri secara voluntary.
Tapi tidak juga tiap tahun turun karena rata-rata jumlah Wajib Pajak tiap tahun tambah juga dan kita juga punya basis lain misalnya data, ada data-data tertentu yang kita punya yang bisa menunjukkan bahwa oh mungkin orang yang tadinya mengaku di bawah PTKP tapi ada data lain yang menunjukkan bahwa sebenarnya dia tidak di bawah PTKP karena ada penghasilan lain dan seterusnya.
Data ini yang terus kita kombinasi. Kalau setahun rata-rata kenaikan jumlah Wajib Pajak itu antara 3 juta sampai 3,5 juta tapi kan kenaikan Wajib Pajak wajib SPT-nya tidak langsung sebesar itu. Di situlah kita ada adjustment-adjustement-nya. Intinya yang lama-lama yang tidak wajib kita hilangkan, sedangkan Wajib Pajak yang baru diwajibkan tentunya menjadi faktor penambah.
Berapa target kepatuhan tahun ini?
Target kita tahun ini adalah 85%. Kenapa 85%? Itu lebih karena kita sekarang ada standar internasionalnya dalam konteks EoI (Exchange of Information). Itu kita direview standar EoI di mana standar negara-negara OECD itu adalah 85% ternyata untuk total SPT yang masuk, 95% untuk badan. Kita direview EoI ini dua tahun belakangan.
Effort untuk mencapai target tersebut seperti apa?
Kalau kita yang pasti pendekatan persuasif dilakukan. Makanya kampanye besar-besaran selalu di bulan Maret terutama untuk orang pribadi karena sebagian besar Wajib Pajak wajib SPT terdaftar itu adalah orang pribadi, jadi bagaimana merangkul orang pribadi. Dan caranya macam-macam.
Pertama, melalui kampanye terbuka. Kalau kampanye terbuka kan pendekatannya persuasif saja, kita sampaikan semua spanduk di mana-mana, iklan di tv, radio, dan media cetak.
Kedua, pendekatan melalui pemberi kerja karena sebagian besar (Wajib Pajak Orang Pribadi) kan karyawan. Pemotong itu kan ada di perusahaan. Kita kontak perusahaannya agar cepat-cepat mengeluarkan bukti potongnya biar karyawannya bisa melakukan e-filing. Kita biasanya dalam hal tertentu juga temen-temen proaktif visit ke kantor-kantor yang karyawannya susah untuk keluar, kita membantu. Kan sekarang sebenarnya sudah tidak sulit lagi mengisi SPT, cuma tidak dipungkiri juga kadang-kadang perlu ada nanya, perlu ada konsultasi, nah anggota kita itu siap di mana-mana. Jadi selain kampanye terbuka, kita bantu juga one on one ke perusahaan-perusahaan terutama yang karyawannya banyak jumlahnya. termasuk bendahara-bendahara pemerintah juga.
Ketiga, ya kita ingatkan. Bagi yang sudah pernah menyampaikan SPT tentu kita ingatkan, makanya itu kemarin ada email blast dan itu tidak sembarangan juga. Isinya juga mengingatkan. Poin yang kita sampaikan adalah anda memiliki kewajiban menyampaikan SPT. Kalau mau kami bantu, kami bantu. Dan, kalau bisa sampaikan SPT-nya sebelum tanggal 16, walaupun jatuh tempo tanggal 31.
Kenapa harus lapor lebih awal?
Kalau orang Indonesia kan cenderungnya menunggu, pasti numpuk di akhir bulan. Cuma risikonya kan kita tidak pernah tahu. Mungkin ada jaringan bermasalah. Jaringan kan mungkin tidak hanya DJP (Ditjen Pajak) saja, jaringan internet si Wajib Pajak bisa juga. Daripada menimbulkan komplain, kami menyarankan kalau mau, kita ingatkan nanti lapor duluan.
Jadi untuk menggalakkan SPT ya tadi kita lakukan pendekatannya, masif terbuka, menargetkan kepada pemberi kerja tertentu, kepada Wajib Pajak-Wajib Pajak yang tahun lalu sudah memasukkan SPT dan tahun ini seharusnya berkewajiban juga, dan juga kepada Wajib Pajak-Wajib Pajak yang kami pikir kami punya datanya dan orang ini wajib menyampaikan SPT. Intinya lebih cepat lebih nyaman.
Kalau tenggat waktu sudah terlampaui, apa yang akan dilakukan DJP?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Wajib Pajak itu tidak melaporkan SPT. Yang legal khususnya terkait perpanjangan waktu karena belum selesai audit laporan keuangan dan sebagainya. Ketika jangka waktu ini sudah terlewati, kita akan segera lakukan analisis karena kita punya daftar satu-satu namanya. Dari 16,5 juta itu ada nama, ada NPWP-nya. Nanti kita tinggal matching-kan setelah April baik OP maupun badan, siapa dari daftar ini yang sudah menyampaikan, siapa yang belum.
Nanti kita sampaikan lagi ke unit, Kanwil, KPP, bahwa tolong dicek lagi nih di daftar kalian. Misal Kanwil A sudah ditetapkan target 100 Wajib Pajak yang menyampaikan SPT, tapi kok baru ada 60. Tolong cek dong yang 40 lagi kenapa? Kan penyampaian SPT ini masih bisa sampai akhir tahun walaupun mereka kena sanksi dan itu relatively masih cukup banyak sebenarnya dan dengan data yang semakin berkualitas, kita tentu lebih confident juga mengajak Wajib Pajak untuk menyampaikan SPT.
Yang belum menyampaikan, umumnya alasannya apa?
Kadang kala begini, masalah penyampaian SPT ini, kalau kita lihat akarnya kenapa orang tidak menyampaikan SPT adalah banyak justru orang-orang yang tidak tahu kewajiban pajaknya. Makanya kita lebih menekankan persuasif, outreach itu karena banyak juga yang tidak memahami terutama karyawan bahwa (mereka pikir) kalau saya itu sudah dipotong pajak, ngapain lapor lagi, saya tidak kerja di mana-mana kok, kan gitu.
Padahal kewajiban itu tanda kutip ada dua, yaitu kewajiban pembayaran dan kewajiban pelaporan. Jadi banyak case-nya sebenarnya ditemukan banyak orang-orang yang justru tidak tahu kalau dia itu harus melaporkan SPT.
PR kita justru dalam hal ini memberikan outreach program yaitu memberikan edukasi bahwa ini lho Anda memang sudah dipotong tapi dilaporkan juga makanya kita tidak bisa men-judge kalau jumlah penyampaian SPT 70% berarti jumlah pengemplang pajak 30%, tidak bisa juga. Belum tentu juga. Mungkin di dalamnya ada, tapi tidak seluruhnya. Kaitan dalam SPT memang lebih banyak karena ketidaktahuan, makanya edukasi menjadi bagian yang sangat penting.
Nah untuk orang-orang yang rasa-rasanya dia sudah tahu tapi bilang tidak tahu ya kita ingatkan juga. Makanya email yang blast tadi itu disampaikan untuk mengingatkan sebenarnya. Nah bahwa nanti ternyata tetap tidak masukkan SPT ya kita tunggu setelah SPT jatuh tempo. Nanti kan ada proses klarifikasi lagi, kenapa tidak menyampaikan?