OECD Telaah Praktik Rezim Pajak Presumtif di Dunia
Friday, 24 February 2023
JAKARTA. The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis kertas kerja desain rezim pajak dugaan atau presumptive tax regime yang berlaku di berbagai negara.
Seperti namanya, rezim pajak dugaan atau presumptive merupakan pemungutan pajak yang dilakukan atas dasar dugaan agar mendekati pendapatan kena pajak bersih.
Hal ini dilakukan karena yurisdiksi sulit menetapkan besaran penghasilan kena pajak secara akurat karena sejumlah faktor, msialnya karena wajib pajak tidak membuat pembukuan atau bila sebagian transaksi dilakukan dengan pembayaran tunai yang sulit terlacak.
Baca Juga: Rasio Pajak Rata-rata Negara OECD Naik Jadi 34,1% Pasca Pandemi
Di samping beberapa kelebihannya, OECD mencatat ada beberapa kekurangan dari rezim pajak presumptif ini. Pertama, menghalangi pertumbuhan bisnis karena wajib pajak merasa diuntungkan dengan rezim pajak ini sehingga menjaga usahanya agar tetap berada di dalam ambang batas.
Kedua, mendorong perilaku penghindaran pajak karena wajib pajak akan berusaha agar omzet usahanya masuk ke dalam kriteria rezim pajak presumptif. Ketiga, menimbulkan ketidakadilan karena wajib pajak dengan keuntungan berbeda akan mendapatkan perlakuan pajak yang sama.
Dengan menggunakan rezim pajak presumtif, pengenaan pajak akan lebih sederhana dan beban administrasi perpajakan yang harus ditanggung oleh wajib pajak dan fiskus juga bisa dipangkas. Sehingga, kepatuhan wajib pajak bisa ditingkatkan.
Baca Juga: Mengenal Substance Over Form, Prinsip Akuntansi Pencegah Penghindaran Pajak
Menurut OECD, salah satu contoh implementasi rezim pajak presumtif berlaku untuk kegiatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) pelaku usaha tidak berbadan hukum atau kegiatan usaha lainnya yang sulit dikenakan pajak.
Dalam praktiknya, desain rezim pajak dugaan ini tidak sama antara satu yurisdiksi dengan yurisdiksi lain. Perbedaan-perbedaan itu meliputi; wajib pajak yang disasar, kriteria kelayakan, basis pajak dan lain-lain. Menurut OECD, perbedaan-perbedaan ini memperumit komparabilitas lintas negara dan sulit membuat kesimpulan yang solid.
Karena itu, OECD menilai perlu dibuat kertas kerja agar karakteristik dari masing-masing rezim bisa disusun secara sistematis dan bisa diketahui rezim pajak presumptive yang optimal.
Secara umum kerangka kerja rezim pajak presumtif yang disusun OECD ini berfokus pada beberapa area desain dan administrasi, seperti kelompok sasaran, kriteria kelayakan, jenis rezim, kewajiban pajak, pajak ditanggung, administrasi rezim, instrumen pendukung bukan pajak dan interaksi dengan sistem pajak standar. (ASP)