Publik Tunggu Aturan Teknis UU HPP
Thursday, 20 January 2022
JAKARTA. Meski sudah diundangkan pada 19 Oktober 2021, hingga saat ini belum semua ketentuan yang diatur di dalam Undang-undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), memiliki aturan pelaksanaannya.
Padahal, beberapa ketentuan yang diatur di dalam UU HPP masih bersifat umum, sehingga menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat khususnya wajib pajak.
Dari sekian banyak ketentuan yang diatur di dalam UU HPP, hanya kebijakan mengenai Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang sudah memiliki aturan pelaksanaan, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK.03/2021.
Kebingungan wajib pajak tersebut terungkap di dalam Webinar yang diselenggarakan oleh MUC Consulting bekerja sama dengan Kompas.com dalam tajuk #Bijak (Bicara Pajak) yang bertemakan Babak Baru "Perpajakan Indonesia Pasca UU HPP".
Secara umum, UU HPP tersebut mengatur ulang bberapa ketentuan pajak yang ada di dalam UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), UU Cukai serta menambahkan ketentuan baru mengenai PPS dan Pajak Karbon.
Baca Juga: Webinar #BIJAK: Babak Baru Perpajakan Indonesia Pasca UU HPP
Ketentuan Pemberian Natura
Beberapa kebijakan yang paling mendapat sorotan peserta webinar di antaranya mengenai pengenaan pajak atas natura serta pengintegrasian Nomor Induk Kependudukan sebagai pengganti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Sebelumnya, di dalam UU HPP pemerintah menetapkan natura atau kenikmatan yang diberikan perusahaan termasuk sebagai penghasilan yang dikenai pajak, kecuali untuk pemberian natura dengan jenis dan batasan tertentu.
Pemberian kenikmatan yang dikecualikan dari pengenaan pajak ini akan diatur lebih lanjut di dalam ketentuan pelaksanaan.
Hanya saja, dalam paparan yang disampaikan Dian Anggraeni Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP ketentuan mengenai natura termasuk ke dalam klaster perubahan UU Pajak Penghasilan, yang mulai berlaku pada tahun ini.
Salah satu yang dipertanyakan wajib pajak terkait hal ini adalah, apa saja bentuk natura atau kenikmatan yang termasuk ke dalam jenis dan batasan tertentu tersebut, agar perusahaan bisa menyesuaikannya dengan kebijakan yang berlaku.
Sebab, menurut wajib pajak, salah satu perselisihan atau dispute yang sering timbul antara wajib pajak dan fiskus adalah terkait klaim atas natura tersebut. "Kita tunggu saja aturan pelaksanaannya terbit, karena saya tidak bisa menjelaskan hal-hal yang memang belum ada dasar hukumnya," ujar Dian.
Simak: Perbincangan Lengkap Webinar #Bijak1 Dalam Channel Youtube MUC Consulting dan Kompas.com
Implementasi NIK Menjadi NPWP
Sementara itu terkait integrasi NIK menjadi NPWP, Dian menjelaskan tidak semua wajib pajak yang memiliki NIK akan dikenai kewajiban perpajakan, meskipun ketentuan integrasi sudah berlaku.
Menurutnya, hanya wajib pajak dengan NIK yang telah diaktivasi sebagai identitas wajib pajak yang akan berkewajiban memenuhi aturan pajak. Penegasan ini untuk meluruskan berbagai asumsi yang berkembang di publik mengenai rencana pengintegrasian ini.
Meski sudah mendapat penegasan, wajib pajak masih merasa bingung dengan pengintegrasian ini. Mengingat tidak semua wajib pajak memiliki NIK.
Sejauh ini, hanya individu yang berstatus sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) saja yang memili NIK. Sementara untuk perusahaan, atau warga negara asing tidak memiliki NIK.
Terkait hal tersebut, Dian mengatakan aturan teknisnya masih dalam pembahasan di internal pemerintah. Namun, dalam kesempatan tersebut Ia mengungkapkan untuk wajib pajak badan atau korporasi akan menggunakan NPWP 16 digit sebagai identitas perpajakannya, bukan NIK.
"Jadi, NPWP perusahaan yang saat ini berjumlah 15 digit akan diubah menjadi 16 digit dengan menambahkan angka 0 di depannya sebagai identitas wajib pajak," kata Dian.
Begitu juga dengan wajib pajak luar negeri yang tidak memiliki NIK, identitasnya akan disesuaikan. Namun demikian, untuk aturan detailnya DJP meminta wajib pajak menunggu hingga dirilis.
Dukungan Semua Pihak
Secara umum Dian menjelaskan hadirnya UU HPP bertujuan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional dan meningkatkan basis pajak Indonesia. Keberadaannya merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang tengah berjalan dan akan berlangsung dalam jangka panjang. Sebab, UU HPP merupakan fondasi untuk kondisi perpajakan yang jauh lebih baik.
Hal senada juga diungkapkan oleh Managing Partner MUC Consulting Sugianto di dalam keynote speech webinar tersebut. Menurutnya, berbagai perubahan aturan yang dilakukan pemerintah dalam dua tahun ini diharapkan dapat mendorong perbaikan iklim perpajakan di tanah air dan perlu mendapat dukungan dari semua pihak.
Untuk itu, MUC Consulting melalui webinar #Bijak kali ini berharap proses reformasi perpajakan bisa berjalan dengan baik.(asp)