Pemerintah Atur Mekanisme Pemungutan PPN Transaksi Antar BUMN
Wednesday, 03 February 2021
Pemerintah tegaskan, kewajiban memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta PPN dan PPnBM dalam transaksi antar perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan kewenangan pihak yang menyerahkan barang.
Selain mempertegas, jumlah anak usaha BUMN yang ditunjuk memungut PPN serta PPN dan PPnBM juga bertambah dari 23 perusahaan menjadi 28 perusahaan.
Penegasan dilakukan, untuk menghindari ambiguitas yang timbul karena adanya kewajiban setiap BUMN dan anak usahanya, memungut PPN dari setiap transaksi yang dilakukan.
Sejatinya, kewajiban memungut PPN memang dibebankan kepada pihak yang menyerahkan barang maupun jasa kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Kepastian mekanisme pemungutan PPN oleh perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh pemerintah ini, tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 8/PMK.03/2021, yang berlaku mulai 1 Februari 2021.
Baca Juga: Pahami Aspek Pajak Pertambahan Nilai Atas Skema Penyerahan Barang Ex-Work
Dalam pertimbangannya, aturan ini dikeluarkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pemungutan, penyetoran dan melaporkan PPN oleh setiap perusahaan plat merah.
Sebetulnya, prosedur pemungutan, penyetoran hingga melaporkan PPN oleh BUMN dan BUMN sudah diatur dalam dua beleid terpisah, yaitu PMK Nomor 136/PMK.03/2012 yang khusus untuk perusahaan BUMN dan PMK Nomor 37/PMK.03/2015 untuk perusahaan tertentu yang sahamnya dimiliki BUMN.
Dengan adanya atutran terbaru, kedua aturan di atas otomatis dicabut dan substansi yang diatur di dalamnya diatur ulang dalam PMK Nomor 8/PMK.03/2021.
Ruang Lingkup
Secara substansi, PMK Nomor 8/PMK.03/2021 mengatur beberapa hal seperti, kriteria perusahaan BUMN dan anak usaha BUMN tertentu yang ditunjuk memungut, menyetor dan melaporkan PPN barang dan jasa.
Secara definisi, yang dimaksud dengan perusahaan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian sahamnya dimiliki negara melalui penyertaan langsung. Sedangkan pengertian anak usaha BUMN tertentu meliputi perusahaan yang lebih dari 25% sahamnya dimiliki oleh BUMN.
Baca Juga: Meluruskan Sanksi PPN Ekspor Untuk Indonesia Maju
Besaran PPN yang wajib dipungut oleh BUMN dan anak usahanya sebesar 10% dari nilai dasar pengenaan pajak. Sementara besaran PPN dan PPnBM disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.
Atas pemungutan tersebut, lawan transaksi perusahaan BUMN atau anak usaha, wajib membuat faktur pajak.
Setelah memungut, perusahaan BUMN maupun anak usahanya harus menyetor PPN atau PPN dan PPnBM dengan Surat Setoran Pajak, paling lambat 15 hari pada bulan berikutnya. Kemudian melaporkan melalui Surat Pemberitahuan Masa PPN atau PPN dan PPnBM.
Tidak semua transaksi penyerahan barang dan jasa dikenai PPN maupun PPN dan PPnBM. Beberapa transaksi dikecualikan dari pemungutan, diantaranya:
- Pembayaran dengan nilai transaksi maksimal Rp 10 juta
- Pembayaran atas penyerahan barang maupun jasa yang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan.
- Pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero)
- Pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi
- Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan
- Pembayaran lainnya, yang menurut aturan tidak dikenai PPN maupun PPN dan PPnBM.
Tambah Daftar Anak Usaha
Selain itu, pemerintah juga telah menetapkan 28 anak usaha BUMN yang ditunjuk memungut PPN atau PPN dan PPnBM, melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 30/KMK.03/2021.
Jumlah perusahaan yang ditetapkan tersebut lebih banyak dari sebelumnya yang hanya sebanyak 25 perusahaan.
Beberapa anak usaha BUMN yang baru ditetapkan diantaranya PT Waskita Karya Realty, PT PP Properti Tbk, PT Wijaya Karya Realty Tbk, PT HK Realtindo dan PT adhi Commuter Properti.
Bukan hanya menambah, mekanisme penetapan perusahaan tertentu yang dimiliki BUMN sebagai pemungut PPN juga diubah. Sebelumnya, penetapan dilakukan melalui PMK, sedangkan kini bisa melalui penerbitan KMK. (asp)