Opinion

Perseroan Bubar, Bagaimana Nasib Kreditur dan Pemegang Saham?

Mawla Robbi, Thursday, 26 May 2022

Perseroan Bubar, Bagaimana Nasib Kreditur dan Pemegang Saham?
Ilustrasi kreditur dan pemegang saham perlu memahami prosedur likuidasi atau pembubaran perseroan (Photo: Andrea Piacquadio/Pexels)

Dalam kondisi operasional usaha terhenti atau tidak produktif, pembubaran atau likuidasi Perseroan menjadi solusi akhir yang terkadang tak terhindarkan. Untuk itu, penting bagi kreditur dan pemegang saham memahami prosedur likuidasi Perseroan untuk melindung kepentingan masing-masing.

***

Pada Maret 2022, Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyuntik mati tiga perusahaan pelat merah karena kondisinya yang “hidup segan mati tak mau”. Ketiga BUMN yang dipaksa bubar karena lama tak beroperasi tersebut adalah PT Kertas Kraft Aceh, PT Iglas, dan PT Industri Sandang Nusantara. Keputusan diambil melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang menandakan dimulainya proses likuidasi aset ketiga Perseroan tersebut.

Menteri BUMN Erick Tohir mengatakan aksi korporasi ini merupakan bentuk konsolidasi perusahaan negara. Ke depan, dia menargetkan pembubaran empat perusahaan lain, dari saat ini total 41 BUMN akan menjadi tinggal 37 BUMN.

Lantas, bagaimana proses pembubaran perseroan dan bagaimana nasib para krediturnya?

Pembubaran Perseroan

Mekanisme dan prosedur pembubaran perseroan sejatinya diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tepatnya di Pasal 142 dan Pasal 146. Beleid tersebut mengatur sebab-sebab terjadinya pembubaran, antara lain karena keputusan RUPS, habis jangka waktu pendirian, izin usaha dicabut, penetapan pengadilan, atau atas permohonan pihak yang berkepentingan. Akibat dari pembubaran adalah perseroan harus melakukan likuidasi atas semua asetnya untuk dibagikan kepada para kreditur.

Teknis dan prosedur pembubaran dan likuidasi aset BUMN diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara. Tahapannya dimulai dengan dengan pembubaran, dilanjutkan dengan pengumuman melalui surat kabar dan berita negara Republik Indonesia, pemberitahuan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, likuidasi aset-aset perseroan, pembayaran utang ke para kreditur, penutupan, dan diakhiri dengan penghapusan status badan hukum perseroan.

Ada dua jenis badan hukum BUMN, yakni Perum dan Persero, yang masing-masing memiliki mekanisme pembubaran. Pembubaran perseroan untuk bidang usaha tertentu diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Seperti pembubaran bank gagal oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004.

Kepentingan Para Pihak

Dalam UU No. 40 Tahun 2007 ditekankan bahwa proses pembubaran wajib memperhatikan kepentingan para pihak, terutama kreditur perseroan. Konteks kreditur dalam pembubaran mencakup seluruh pihak yang memiliki piutang terhadap perseroan, yang timbul berdasarkan suatu sebab hukum yang sah.

Pada umumnya para kreditur perseroan berikut jumlah piutang yang dimilikinya tercatat di laporan keuangan perseroan. Namun, tidak semua perseroan memiliki kedudukan atau prioritas yang sama dalam hal pembagian harta hasil likuidasi.

Ada payung hukum lain yang biasanya juga jadi pedoman, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kedua UU ini menetapkan 3 jenis kreditur: (1) kreditur preferen, (2) kreditur separatis, dan (3) kreditur konkuren.

Kreditur preferen adalah kreditur yang diutamakan sehingga piutangnya terlebih dahulu harus dibayarkan sebelum yang piutang lain. Contohnya, utang pajak, tagihan BPJS, biaya sewa, biaya perbaikan aset, dan upah tenaga kerja.

Sedangkan kreditur separatis adalah kreditur yang memiliki hak istimewa berupa jaminan aset dari perseroan. Pada umumnya kreditur separatis dikecualikan dari daftar kewajiban pembayaran aset likuidasi karena yang bersangkutan dapat menjual aset jaminan perusahaan untuk melunasi piutangnya.

Selanjutnya, kreditur konkuren adalah kreditur yang umumnya tidak memiliki hak istimewa berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun tidak memiliki jaminan atas piutangnya.

Apabila seluruh piutang kreditur telah dibayarkan dan terdapat sisa harta likuidasi maka wajib dibayarkan kepada pemegang saham perseroan secara prorata. Berdasarkan pembagian jenis kreditur tersebut, kepentingan para kreditur dan hak-hak pemegang saham terakomodasi dan memiliki kepastian hukum yang jelas.

Namun, jika diperkirakan aset hasil likuidasi tidak cukup untuk melunasi seluruh utang perseroan maka likuidator wajib mengajukan permohonan pailit ke pengadilan niaga. Akan tetapi permohonan pailit tersebut tidak perlu dilakukan jika para kreditur menyetujui proses likuidasi dilakukan.

Dalam beberapa kasus, harta likuidasi hanya cukup untuk membayarkan kreditur preferen dan kreditur separatis. Dalam kondisi demikian, berlaku prinsip Pari Passu Prorata Parte yang artinya para kreditur konkuren akan mendapatkan pembayaran piutangnya secara prorata dari jumlah sisa harta likuidasi dibagi persentase porsi dari total seluruh piutang kreditur konkuren. Oleh karenanya, para kreditur konkuren tetap akan mendapatkan sebagian dari haknya sesuai porsinya.

Kewenangan Pengurus dan Likuidator

Proses pembubaran/likuidasi dan kepailitan perseroan masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda, terutama berkaitan dengan kewenangan pengurus saat maupun setelah aksi korporasi dilakukan.

UU Perseroan Terbatas secara tegas melarang pengurus perseroan melakukan perbuatan hukum yang tidak berhubungan dengan likuidasi. Berbeda halnya dengan kurator dalam proses pailit, pengurus perseroan dalam hal ini dewan komisaris tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai pengawas likuidator. Selain itu, pemegang saham sebagai pemilik perseroan tetap memiliki kewenangan menggelar RUPS sehubungan dengan proses likuidasi, termasuk mengangkat dan mengganti likuidator.

Terdapat 3 cara penunjukan likuidator:

  • RUPS tidak melakukan penunjukan likuidator sehingga direksi perseroan secara otomatis menjadi likuidator,

  • RUPS menunjuk langsung likuidator, atau

  • likuidator ditunjuk oleh pengadilan dalam hal ketetapan pembubaran dilakukan oleh pengadilan.

Untuk penunjukan nomor 1 dan 2, pemegang saham secara aktif dapat menominasikan dan menunjuk orang yang dipercaya sebagai likuidator.

UU No.40 Tahun 2007 juga melarang direktur dan/atau komisaris yang pernah menjabat di perseroan yang pailit untuk menjabat kembali sebagai direktur dan/atau komisaris di perseroan lainnya selama 5 tahun setelah keluar putusan pailit oleh pengadilan niaga. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi direktur dan/atau komisaris yang menjabat di perusahaan yang dilikuidasi.

Selain mengakomodasi kepentingan para kreditur, proses likuidasi juga melindungi kepentingan pemegang saham dan pengurus perseroan. Oleh karenanya, likuidasi dapat menjadi opsi yang paling baik dalam melindungi kepentingan stakeholders perseroan.

*Penulis Mawla Robbi, Senior Associate MUC Attorney at Law

**Artikel telah terbit di Kumparan.com (24 Mei 2022)

Kumparan.com

Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.