Omnibus Law Cipta Kerja Relaksasi Ketentuan Pajak Penghasilan
Tuesday, 06 October 2020
JAKARTA. Undang-Undang Cipta Kerja, yang pembahasan dan pengesahannya menuai kontroversi dan ditentang publik, turut merelaksasi sejumlah klausul dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh). Relaksasi antara lain mencakup perubahan sistem pemajakan menjadi berbasiskan teritorial, pengurangan objek pajak, dan penambahan kriteria dividen yang dikecualikan dari pengenaan pajak.
Territorial System
Dengan terbitnya UU Cipta Kerja, sistem perpajakan Indonesia berubah dari yang sebelumnya menyasar semua penghasilan wajib pajak tanpa memperhatikan sumbernya—dari dalam maupun luar negeri (worldwide income)—menjadi hanya memajaki penghasilan yang diperoleh di Indonesia (territorial income). Hal ini terkait dengan perubahan Pasal 2 ayat (3) dan (4) UU PPh yang menjadi dasar penentuan subyek pajak orang pribadi.
Intinya, Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari dalam 12 bulan, dapat menjadi subyek pajak luar negeri (SPLN). Dengan demikian, penghasilan yang diperolehnya dapat dipajaki oleh otoritas terkait di Negara tempatnya tinggal.
Sebaliknya, Warga Negara Asing (WNA) yang bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan akan tercatat sebagai subyek pajak dalam negeri (SPDN). Artinya, WNA tersebut wajib membayar pajak atas penghasilan yang diterimanya selama di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ketentuan ini kemudian dipertegas di Pasal 4 UU PPh ayat tambahan (1a-1c), yang menegaskan bahwa WNA yang memiliki keahlian tertentu dan telah menjadi SPDN dikenai pajak hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia. Namun, ketentuan ini hanya diperuntukan bagi WNA yang memiliki keahlian tertentu dan berlaku selama 4 (empat) tahun sejak ditetapkan sebagai subjek pajak dalam negeri.
Adapun penghasilan WNA yang menjadi objek PPh adalah yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan di luar Indonesia. Namun, ketentuan ini tidak berlaku bagi WNA yang memanfaatkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Baca juga: Ini Ketentuan Umum Perpajakan yang Dirombak Omnibus Law
Bukan Objek PPh
Berkaitan dengan objek pajak penghasilan, Melalui UU Cipta Kerja pemerintah menghapus dan menambah jenis penghasilan yang dikecualikan dari pengenaan PPh, yakni dengan mengubah dan menambahkan sejumlah klausul di Pasal 4 UU PPh. Kriteria penghasilan yang dikecualikan dari pengenaan PPh bertambah menjadi 16 item dari sebelumnya 13 item. Berikut adalah tambahan daftar penghasilan yang bukan objek PPh:
- bagian laba atau sisa hasil usaha (SHU) koperasi;
- dana setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji dan pengembangan keuangan haji di instrumen keuangan tertentu;
- Sisa lebih yang diterima lembaga sosial dan keagamaan yang digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana sosial dan keagamaan maksimal empat tahun sejak diterima.
Ketiga jenis penghasilan di atas menggenapi daftar penghasilan yang dikecualikan dari PPh sebelumnya:
- bantuan atau sumbangan, termasuk zakat;
- hibah;
- warisan;
- harta termasuk setoran tunai pengganti saham atau penyertaan modal yang diterima badan;
- imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang dinikmati dalam bentuk natura dan kenikmatan;
- klaim asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dan asuransi beasiswa;
- dividen atau penghasilan lain yang ditetapkan;
- iuran dana pensiun;
- penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun;
- penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura;
- beasiswa;
- sisa lebih yang diterima badan atau lembaga nirlaba pendidikan, penelitian dan pengembangan; dan
- bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh BPJS.
Dividen Bebas Pajak
Masih berkaitan dengan objek pajak, terutama menyangkut pembebasan PPh atas dividen. UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf f, yakni mengenai pembebasan PPh atas dividen yang berasal dari dalam maupun luar negeri, serta penghasilan lain dari luar negeri.
Sebelumnya, dividen yang dibebaskan dari PPh meliputi:
- dividen yang berasal dari cadangan laba ditahan;
- dividen yang diterima PT, BUMN atau BUMD yang memiliki saham paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetorkan; dan
- dividen dari modal yang merupakan dana pensiun.
Dengan terbitnya UU Cipta Kerja, kriteria dividen yang dikecualikan sebagai objek pajak diperluas menjadi seperti berikut:
- dividen dalam negeri yang diterima orang pribadi sepanjang diinvestasikan kembali di Indonesia dalam jangka waktu tertentu;
- dividen dalam negeri yang diterima badan usaha dalam negeri;
- dividen dari perusahaan di luar negeri sepanjang diinvestasikan kembali minimal 30% di Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Jika investasi kurang dari 30% maka selisih laba tersebut akan dikenakan pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
- dividen dari BUT di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sepanjang diinvestasikan Indonesia sebelum terbit surat ketetapan pajak
- penghasilan luar negeri non-BUT yang diinvestasikan di Indonesia dikecualikan dari pengenaan PPh sepanjang berasal dari usaha aktif dan bukan dari perusahaan yang dimiliki di luar negeri.
Pajak atas dividen dan penghasilan lain dari usaha aktif non-BUT yang telah dibayarkan di luar negeri tidak dapat dikreditkan atau direstusi. Pelanggaran terhadap ketentuan re-investasi di Indonesia secara otomatis mengugurkan pembebasan PPh dan pajak yang sudah terlanjur dibayarkan di luar negari dapat dikreditkan.
Fleksibilitas Tarif PPh Pasal 26
Omnibus Law Cipta Kerja juga memberikan diskresi bagi pemerintah untuk menyesuaikan tarif PPh atas transaksi pembayaran gaji, bunga, dividen, royalti dan sejenisnya kepada Wajib Pajak Luar Negeri, tanpa harus mengubah UU PPh. Selama ini, ketentuan itu diatur di Pasal 26 UU PPh , yang mematok tarif PPh sebesar 20% (bersifat final) atas jumlah bruto dari pendapatan-pendapatan tersebut.
Baca juga: Giliran Aturan PPN Ditabrak Omnibus Law Cipta Kerja
Diskresi penyesuaian tarif diamanatkan UU Cipta Kerja dengan menambahkan ayat (1b) di pasal 26 UU PPh, yang menekankan bahwa tarif PPh final 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, dapat diturunkan dengan Peraturan Pemerintah.
Adapun UU PPh pasal 26 tersebut mengatur tentang pengenaan PPh atas penghasilan yang diperoleh atas:
- Dividen
- Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan jaminan penembalian utang
- Royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan penggunaan harta
- Imbalan atas jasa, pekerjaan dan kegiatan lain
- Hadiah, premi swap dan transaksi lindung nilai
- Keuntungan atas pembebasan utang.
*Catatan:
Artikel ini telah mengalami perubahan karena menyesuaikan dengan draft Undang-Undang Cipta Kerja terbaru (812 halaman) yang dirilis Badan Legislasi DPR. Semua kebijakan baru yang tertulis di atas masih mungkin berubah dengan mempertimbangkan potensi uji materi UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi.
Draft Sementara Undang-Undang Cipta Kerja