Pemerintah Indonesia resmi meratifikasi perubahan perjanjian kerjasama perdagangan barang antar negara-negara ASEAN, dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 84 Tahun 2020.
Sebelumnya, negara-negara ASEAN sepakat untuk menandatangani protokol pertama untuk mengubah persetujuan perdagangan barang ASEAN pada 22 Januari 2019. Didalamnya, masing-masing negara sepakat mengubah ketentuan perihal keberadaan Bukti Keterangan Asal, sebagai syarat untuk mendapatkan tarif preferensial atas barang yang diperdagangkan antar negara anggota ASEAN.
Selain mengesahkan perubahan protokol kerjasama perdagangan ASEAN, pemerintah juga mengeluarkan regulasi yang lebih teknis, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 131/PMK.04/2020. Beleid tersebut mengatur secara spesifik tentang tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor, berdasarkan persetujuan perdagangan barang ASEAN.
Baca Juga: Gempuran Barang Impor Merugikan, Industri Nasional Jangan Diam!
Sebelumnya, tata caranya mengacu pada PMK nomor 229/PMK.04/2017 yang tidak hanya menyangkut perjanjian perdagangan ASEAN, tetapi juga termasuk beberapa perjanjian perdagangan internasional lain. Beberapa perjanjian perdagangan internasional yang diatur didalamnya seperti:
- ASEAN-China Free Trade Area
- ASEAN-Korea Free Trade Area
- Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement
- ASEAN-India Free Trade Area
- ASEAN Australia-New Zealand Free Trade Area
- Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement
- ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership
Kandungan Regional Minimal 40%
Secara umum tidak banyak perbedaan antara kedua beleid tersebut. Yang membedakan adalah terkait ketentuan asal barang yang mendapat tarif preferensial yaitu tarif yang lebih rendah dari yang berlaku umum secara internasional. Ketentuan asal barang ini meliputi tiga hal pertama kriteria asal barang atau origin criteria, kriteria pengiriman atau consigment criteria, dan ketentuan prosedural.
Terkait keterangan asal barang atau origin criteria, barang yang berhak mendapat tarif preferensial diantaranya terdiri dari barang yang seluruhnya diperoleh atau diproduksi di satu negara dan barang yang tidak seluruhnya diproduksi di satu negara ASEAN.
Dalam PMK nomor 131/PMK.04/2020, suatu barang termasuk kriteria asal barang yang tidak seluruhnya diperoleh atau diproduksi di satu negara atau non-originating, asal memiliki kandungan nilai regional minimal 40% dari nilai Free on Board (FOB).
Selain itu, barang Non-Originating tersebut juga harus mengalami perubahan klasifikasi atau Change in Tariff Classification (CTC) pada empat digit pertama kode Harmonized System (HS). Syarat lainnya adalah barang tersebut harus masuk kedalam daftar Product Specific Rules (PSR) yang diatur dalam Annex 3.
Baca Juga: Solusi Alternatif Sengketa Pajak Internasional
Sementara aturan sebelumnya tidak menyebutkan batasan minimal kandungan regional yang harus dipenuhi. Begitupun terkait perubahan klasifikasi, selain mengharuskan perubahan pada empat digit pertama HS CTC, juga harus mengalami perubahan pada dua digit pertama HS Chapter in Chapter (CC) dan perubahan pada enam digit pertama HS Change in Tariff Sub Heading (CTSH).
Sebagai informasi persetujuan perdagangan barang ASEAN pertama kali disepakati pada 26 Februari 2009, seiring dibentuknya masyarakat ekonomi ASEAN. Salah satu kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian tersebut adalah terkait penurunan atau penghapusan bea impor antar negara anggota. (asp)