Gempuran Barang Impor Merugikan, Industri Nasional Jangan Diam!
Mawla Robbi,
Thursday, 18 June 2020
Pasca Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) didirikan pada tahun 1995, seperangkat instrumen hukum yang sarat akan liberalisasi perdagangan menjadi kiblat bagi perdagangan barang dan jasa. Liberalisasi perdagangan tersebut kemudian dijabarkan sebagai prinsip Most Favoured Nations (MFN), National Treatment, timbal-balik, keterikatan dan keberlaksanaan komitmen, transparansi, serta nilai-nilai keamanan. Prinsip-prinsip tersebut dalam implementasinya, mewajibkan seluruh negara anggota WTO untuk melonggarkan regulasi domestik dengan meminimalkan pengenaan tarif, pajak, pembatasan kuota, subsidi serta pembatasan-pembatasan lain yang bersifat hambatan terhadap arus perdagangan barang dan jasa.
Sebagai anggota (original member), Indonesia pun tidak luput dari kewajiban untuk menyesuaikan regulasi domestik sesuai ketentuan WTO. Sejak Indonesia meratifikasi perjanjian WTO (Marrakesh Agreement) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, Indonesia secara sadar menerima segala konsekuensi sebagai anggota WTO. Salah satu dan terutama adalah harus merelakan dan memberikan “lampu hijau” atas masuknya barang-barang impor ke dalam negeri dengan tarif bea masuk seminimal mungkin. Sekalipun kebijakan tersebut membuat pelaku industri nasional merana di negeri sendiri, terutama bagi mereka yang tidak siap bersaing.
Kesulitan yang dihadapi pemain lokal itu baru yang terkait dengan relaksasi impor, belum memperhitungkan tabiat sejumlah importer yang sejak awal menjual barang dengan harga yang tidak wajar (unfair trade)? Sebagai contoh, tidak sedikit pemasok barang impor yang memanipulasi harga (predatory pricing) dengan menjual barang di Indonesia lebih rendah (dumping) dari harga jual seharusnya, atau bahkan harga jual di negara asalnya. Tidak sedikit produsen asing yang memanfaatkan subsidi harga dari negara asalnya sebelum mengekspor ke Indonesia.
Prilaku dagang semacam itu sudah pasti menyebabkan pelaku industri nasional mengalami kerugian material (material injury). Gambaran sederhananya seperti ini: konsumen sangat mungkin beralih ke produk impor yang telah didumping dan disubsidi karena harganya lebih murah ketimbang membeli produk serupa buatan anak negeri dengan harga normal yang menjadi lebih mahal. Itu prilaku wajar dari konsumen yang pasti akan memilih barang dengan kualitas sama atau bahkan lebih baik dengan harga yang lebih murah. Alhasil, produsen domestik akan kehilangan pangsa pasar yang pada akhirnya merugi.
Bagaimana jika industri domestik mengalami kerugian yang serius (serious injury) meskipun produsen dari negara eksportir tidak melakukan kecurangan? Sekalipun tidak ada indikasi kecurangan di pasar, tapi kalau kelonggaran impor diberlakukan pemerintah hasilnya akan sama saja pasar domestik kebanjiran barang impor. Tidak hanya kalah bersaing, industri dalam negeri akan terus mengalami kerugian yang berujung pada kebangkrutan jika serbuan barang impor—yang tidak sedikit telah disubsidi dan didumping—tidak ditanggulangi otoritas. Konsumen mungkin senang-senang saja karena imported inflation rendah, tapi buat produsen lokal sangat keberatan dan menuntut keberpihakan Negara dalam hal ini.
Atas situasi-situasi itulah instrumen WTO mengatur suatu konsep pemulihan perdagangan (trade remedies) yang memberikan perlindungan sekaligus kesempatan untuk industri negara anggota yang dirugikan akibat dari tindakan dumping, subsidi ilegal, dan lonjakan impor. Indonesia mengadopsi konsep tersebut melalui Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Anti-Dumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan (PP 34/2011). Beleid tersebut memberikan kesempatan bagi badan usaha domestik untuk mengajukan permohonan investigasi atas kerugian yang diduga akibat praktik dumping, subsidi ilegal, atau lonjakan impor. Selanjutnya pemerintah melalui Komisi Anti Dumping Indonesia (KADI) atau Komisi Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) melakukan investigasi atas dugaan tersebut.
Namun, ikhtiar tersebut tidak mudah untuk dilakukan. Strategi tempur untuk menghadapi gempuran barang impor ini memiliki banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Sebagai contoh, untuk mengajukan permohonan investigasi, pemohon harus mewakili minimal 50% dari total kapasitas produksi nasional atas produk barang yang dimohonkan. Syarat ini mudah dipenuhi jika pemohon memiliki kapasitas produksi mayoritas. Jika tidak, harus mengajak badan usaha lain—yang notabene kompetitor—hingga mencapai syarat minimal permohonan. Selanjutnya, para pemohon harus membuktikan kepada otoritas berwenang bahwa industrinya mengalami kerugian dengan menghitung harga normal atas barang yang dimohonkan dan margin subsidi atau dumping dari barang tersebut. Penghitungannya tidak mudah karena pemohon harus mengirimkan kuisioner untuk mengumpulkan data produksi dan harga dari industri negara eksportir.
Apabila kerugian industri domestik diduga akibat lonjakan impor, badan usaha dapat mengajukan permohonan investigasi kepada KPPI terhadap suatu barang untuk dilakukan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard). Untuk tindakan safeguard, pemohon tidak memiliki kewajiban untuk menghitung harga normal dari barang yang dimohonkan karena yang perlu dibuktikan dalam tindakan safeguard adalah adanya lonjakan impor (increased import), kerugian serius (serious injury), hubungan sebab-akibat antara lonjakan impor dengan kerugian serius (causal link), serta adanya perkembangan yang tidak terduga (unforeseen development). Apabila semua aspek tersebut terbukti, KPPI dapat merekomendasikan ke Menteri yang mengurusi barang yang dimohonkan untuk dikenakan tindakan safeguard untuk kemudian diteruskan sebagai rekomendasi ke Menteri Keuangan guna mengenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atau pembatasan kuota (quantitative restriction). Baik BMTP maupun pembatasan kuota pada dasarnya dilakukan dengan menarik, menunda, atau memodifikasi komitmen Indonesia kepada WTO atas barang yang dikenakan tindakan safeguard secara progresif sehingga dapat memulihkan kembali industri domestik yang mengalami kerugian serius.
Sayangnya, tindakan anti-dumping, anti-subsidi dan safeguard bukan kebijakan populer di Indonesia. Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat sejak Indonesia bergabung dengan WTO pada tahun 1995, kasus pemulihan perdagangan yang ditangani oleh Kemendag didominasi oleh kasus anti-dumping, disusul subsidi dan terakhir safeguard, yang mana Indonesia lebih banyak sebagai pihak termohon yang sering dituding melakukan dumping atau subsidi ilegal. Kasus populer yang belakangan sedang diperiksa oleh WTO adalah kelapa sawit asal Indonesia yang dituding oleh Uni Eropa telah diberikan subsidi ilegal dan didumping. Selain itu kertas A4 asal Indonesia juga dituduhkan hal serupa oleh Komite Antidumping Australia.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Dalam praktiknya selain penghitungan margin dumping atau subsidi yang tidak mudah, pembuktian bahwa produsen negara eksportir melakukan tindakan curang pun sulit. Pemohon harus mengumpulkan semua data yang diperlukan termasuk laporan keuangan dan model bisnis dari industri negara eksportir untuk kemudian dianalisis seberapa jauh semua tindakan yang diambil oleh produsen negara eksportir mempengaruhi harga. Kalaupun otoritas berwenang mengabulkan permohonan pemohon kemudian ditetapkan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD), Bea Imbalan atau Bea Masuk Tindakan Pengamanan, ada risiko besar menanti yaitu tantangan dari negara anggota WTO lain yang diperkarakan.
Dalam sistem penyelesaian sengketa di WTO, Negara anggota yang bersengketa harus melakukan konsultasi terlebih dahulu. Jika tidak menemukan kesepakatan maka dapat dimohonkan kepada Dispute Settlement Body (DSB) untuk dibentuk majelis panel guna memeriksa dan memutus sengketa. Apabila keputusan panel tidak diterima oleh para pihak yang bersengketa maka dapat dimohonkan untuk perkara tersebut diperiksa untuk diputus oleh Appellate Body. Di panel dan Appellate Body, pihak yang menerapkan tindakan trade remedies ditantang untuk membuktikan bahwa tindakan yang diambilnya sudah sesuai dengan ketentuan yang belaku di WTO.
Dalam tahap ini, regulasi domestik tidak lagi menjadi acuan dalam memutus sengketa dagang. Bahkan regulasi tersebut akan diuji, apakah konsisten atau tidak dengan instrumen hukum WTO? Selain itu, pada tahap ini pemohon tidak lagi tampil mewakili industri domestik tetapi langsung diambilalih pemerintah dalam penanganan kasus di DSB.
Kasus trade remedies terbaru yang melibatkan Indonesia yang telah diputus oleh DSB adalah kasus tindakan safeguard oleh pemerintah Indonesia atas produk galvalume berdasarkan PMK No. 137 Tahun 2014 (PMK 137/2014) yang telah diputus oleh DSB pada tahun 2018. Dalam kasus ini, Indonesia melalui PMK 137/2014 memberlakukan BMTP atas produk galvalume kepada semua negara kecuali 120 negara yang dikecualikan berdasarkan prinsip Special & Differential Treatment (S&D). Namun Indonesia tidak cermat atas tindakan safeguard tersebut. Pengenaan BMTP atas produk galvalume dianggap tidak sah oleh DSB karena Indonesia tidak memiliki komitmen apapun atas produk galvalume.
Sebenarnya Indonesia bebas menaikkan tarif MFN untuk galvalume karena tidak terikat komitmen selain komitmen yang berasal dari perjanjian bilateral atau perjanjian regional. Oleh karenanya, baik panel maupun Appellate Body satu suara untuk memberikan keputusan kepada Indonesia atas tindakan safeguard-nya, bahwa tindakan tersebut bukan merupakan tindakan safeguard dan Indonesia harus mencabut PMK 137/2014 dengan mengembalikan kebijakan atas produk galvalume ke keadaan semula sebelum tindakan safeguard diambil.
Memang tidak mudah dalam menerapkan trade remedies yang konsisten dengan ketentuan berdasarkan instrumen hukum WTO. Perlu dicatat berperkara di WTO tidaklah mudah dan murah. Untuk satu perkara saja butuh waktu sekitar dua tahun untuk selesai dan diputus di tingkat panel. Jika diperpanjang prosesnya di Appellate Body, rata-rata perlu waktu tambahan sekitar satu hingga dua tahun. Dalam kurun waktu tersebut industri domestik dapat memulihkan segala kerugian yang dialami sehingga setelahnya dapat kembali siap untuk bersaing dengan barang impor. Sebagai contoh dalam kasus safeguard produk galvalume yang dilakukan Indonesia, pengenaan BMTP progresif diberikan dalam kurun waktu tiga tahun. Oleh karenanya, meskipun putusan akhir menyatakan bahwa Indonesia harus mencabut PMK 137/2014, namun secara faktual tindakan safeguard tersebut sudah selesai dilakukan.
Meskipun berisiko—seperti pemerintah harus mengembalikan bea tindakan jika tuduhan dumping dan lainnya tidak terbukti--namun BMAD atau BMTP merupakan tindakan yang dilakukan pemerintah sebagai bentuk dukungan terhadap pelaku usaha dalam negeri. Berdasarkan instrumen hukum WTO, negara eksportir dapat meminta kompensasi jika BMAD dan BMTP yang terlanjur diterapkan tidak sesuai dengan hasil investigasi BSD menyangkal tuduhan dumping atau subsidi illegal. Akan tetapi hal tersebut sangat kecil kemungkinannya karena berdasarkan regulasi, penentuan kompensasi dilakukan melalui negosiasi antar-negara yang bersengketa dan DSB tidak memutus secara spesifik mengenai berapa besaran kompensasi yang harus diberikan.
Oleh karena itu, jika badan usaha di Indonesia dapat membuktikan bahwa industrinya sedang mengalami kerugian akibat dari persaingan dengan barang impor dan memenuhi unsur dumping, subsidi ilegal atau tindakan safeguard, jangan lupa bahwa ada mekanisme trade remedies yang bisa digunakan sebagai senjata pamungkas dalam melawan gempuran barang impor.
*) Tulisan ini merupakan bagian dari MUC Consulting Writing Contest 2019, yang telah melalui proses editing.
World Trade Organization, Understanding WTO, World Trade Organization Information and External Relations Division, Fifth Edition, Geneva, 2015, hlm. 63.Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.