Menimbang Rasionalitas Pemangkasan Pajak Korporasi di Tengah Pandemi
Syifa Kamila Akbar,
Tuesday, 07 April 2020
Pemerintah akhirnya memangkas tarif pajak korporasi. Tarif pajak penghasilan (PPh) badan usaha diturunkan secara bertahap dari 25% menjadi 22% pada tahun 2020-2021 dan menjadi 20% mulai tahun 2022. Bahkan, ada diskon tambahan 3% lebih murah dari tarif tersebut bagi entitas usaha yang melepas minimal 40% sahamnya ke publik.
Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020, pemerintah mempercepat satu tahun lebih awal dari rencana semula. Entah karena tidak sabar menghadapi proses panjang nan kontroversi pembahasan Omnibus Law di parlemen atau memang sudah tidak kuat menerima gempuran “duta pengusaha” di Istana Merdeka, yang selalu menghamba pada modal. Satu yang pasti, copy-paste satu klausul di Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan ini menjadi pelepas dahaga bagi pelaku bisnis di tengah kering-keronta dunia usaha akibat wabah corona (Covid-19).
Race to the Bottom
Penurunan tarif PPh badan ini menarik untuk dibahas di tengah menguatnya kompetisi perpajakan di dunia. Belakangan ini, banyak negara seolah berlomba-lomba menurunkan tarif pajaknya (race to the bottom). Ini semua tentang daya saing sebenarnya. Adalah keterbatasan sumber daya dan kapasitas produksi di dalam negeri yang—mau tidak mau—memaksa setiap negara bersiasat untuk bisa merebut sebanyak-banyaknya modal asing. Selain faktor pendanaan pembangunan dan ekonomi, investasi langsung dibutuhkan setiap negara untuk meraup keuntungan lain, seperti transfer teknologi, penciptaan lapangan kerja dan SDM terampil, bahan baku industri, dan yang utama tentu saja modal. Indonesia adalah salah satu negara yang ikut bersaing dalam percaturan ekonomi-politik global tersebut.
Pertanyaannya kemudian, apakah tarif pajak murah merupakan satu-satunya alasan investor untuk menanamkan modal di Indonesia? Bagaimana konsekuensi yang mungkin timbul terhadap penerimaan negara, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang?
Baca Juga: Indonesia Pangkas Tarif PPh Badan dan Resmi Terapkan Pajak Digital
Menurut hemat penulis, tanpa harus dipangkas sekalipun pajak korporasi Indonesia masih rasional di angka 25% dan cukup kompetitif di kawasan ASEAN. Besaran tarif PPh Badan Indonesia sama dengan Myanmar (25%) dan bahkan lebih baik dari Filipina (30%). Hanya saja memang tarif pajak korporasi Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia (24%), Laos (24%), Thailand (20%), Kamboja (20%), Brunei Darusalam (18,5%), Vietnam (20%), dan Singapura (17%).
Demikian pula jika dibandingkan dengan negara-negara G20, tarif PPh korporasi Indonesia sama dengan China (25%) dan hanya lebih tinggi dari Inggris (19%), Turki dan Rusia (20%), serta tarif rata-rata Uni Eropa (22,5%) dan Korea Selatan (24,2%). Tarif PPh badan Indonesia tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat (38,9%), Prancis (44,4%), dan terlebih India (48%).
Kalaupun pajak murah bisa merayu pemodal, kurang royal apalagi Indonesia dalam memberikan insentif fiskal. Mulai keringanan pajak (tax allowance) hingga tax holiday sudah disediakan pemerintah untuk mendorong penanaman modal. Mau dipangkas setipis apa lagi tarif PPh Indonesia?
Apakah harus latah mengikuti Vietnam yang berani memberikan diskon pajak secara besar-besaran. Normalnya, tarif PPh Badan di Vietnam hanya 20%, lebih rendah dari Indonesia. Namun, investor bisa mendapatkan potongan tarif lagi lewat kebijakan relaksasi khusus menjadi 17% jika beroperasi di daerah tertinggal atau bahkan 10% jika investor yang bersedia membuka usaha di daerah yang sangat-sangat tertinggal.
Baca juga: Corona, Oil War, dan Peliknya Ekonomi Kita
Coba lihat juga Thailand. Demi menarik investor datang, Negeri Gajah Putih memangkas tarif pajak korporasi menjadi 23% pada tahun 2012 dari sebelumnya 30%. Dampaknya, tax ratio-nya langsung turun menjadi 16,5% dari 17,6% pada tahun 2011. Itu merupakan risiko jangka pendek yang harus juga dipertimbangkan Indonesia, yang sejatinya sedang dipecut habis-habisan untuk bisa meningkatkan rasio pajak nasional.
Bukan Hanya Tarif
Bicara soal perebutan modal, daya saing ekonomi memang menjadi kunci utama sebuah negara untuk bisa menjadi pemenang. Tarif pajak murah mungkin bisa menjadi salah satu amunisi. Namun, itu bukanlah satu-satunya variable yang dijadikan pertimbangan pemodal dalam berinvestasi. Investasi bukanlah judi. Pertaruhannya bukan sekedar modal. Banyak hal yang diperhitungkan investor sebelum menentukan lahan garapan yang cocok untuk bisa ditanami modal secara berkesinambungan.
Berdasarkan hasil survey World Bank terhadap 754 responden perusahaan internasional tentang faktor investor dalam memilih lokasi penanaman modal—dalam laporannya yang berjudul Global Investment Competitiveness Report 2017/2018—menunjukkan bahwa 19% responden menyatakan tarif pajak rendah sangat penting dan 39% menyebut penting. Investor asing pasti akan mempertimbangkan besarnya Effective Marginal Tax Rate (EMTR) serta insentif pajak yang ditawarkan oleh suatu negara. Namun, pajak murah bukan yang utama. Faktor yang paling menjadi perhatian investor justru stabilitas politik dan keamanan, serta kepastian hukum dan perundangan. Lagi-lagi alur birokrasi yang terlalu panjang menjadi catatan.
Penulis menilai alangkah lebih baik jika pemerintah memperbaiki sistem perpajakan Indonesia terlebih dahulu. Sebab, dari 11.436 kasus sengketa pajak yang berakhir di Pengadilan Pajak pada tahun 2018 sebanyak 7.813 kasus di antaranya merupakan perkara yang menyeret DJP. Jumlah sengketa pajak naik 40,6% dibandingkan posisi 2017 yang sebanyak 5.553 kasus. Ini menunjukan bahwa sistem perpajakan di Indonesia belum memberikan kenyamanan bagi investor karena selalu dihantui sengketa dengan fiskus. Selain itu, kepatuhan dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan (Compliance Cost) pada akhirnya menjadi unsur yang harus diperhatikan bagi para pelaku usaha. Pembenahan sistem perpajakan di Indonesia khusunya dalam tatanan hukum pajak jauh lebih utama dibandingkan penurunan tarif PPh Badan.
Baca juga: Lawan Corona, Indonesia Siapkan Protokol Krisis Ekonomi & Keuangan
Akhirnya, penurunan tarif PPh Badan tidak akan berhasil menstimulus investasi asing ketika proses administrasi pemenuhan kewajiban perpajakan dan penyelesaian sengketa pajak masih menjadi isu permasalahan. Terlepas dari itu semua, apakah etis memaksakan kepentingan investasi di tengah pandemi? Penulis pikir, investor pasti akan berpikir dua atau tiga kali sebelum melakukan investasi di negeri ini, setidaknya di tengah ancaman resesi ekonomi.
*) Tulisan ini merupakan Juara II MUC Consulting Writing Contest 2019, yang telah melalui proses editing dan updating data.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.