Aturan Diperbaharui, CFC Rules Hanya Sasar Passive Income
MUC Tax Research Institute
|
Wednesday, 03 July 2019
Pemerintah membatasi basis penetapan perolehan dividen (deemed dividend) bagi Wajib Pajak Dalam Negeri pemilik saham pengendali perusahaan luar negeri non-listed. Apabila sebelumnya ketentuan yang dikenal dengan Controlled Foreign Company (CFC) Rules ini menyasar semua jenis penghasilan, baik active income dan passive income, terhitung mulai tahun pajak 2019 justru hanya fokus pada passive income.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 93/PMK.03/2019 yang mengubah aturan sebelumnya, PMK No. 107/PMK.03/2017, tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan dasar Penghitungannya oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri, selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek.
Melalui PMK No. 93/PMK.03/2019, pemerintah mengubah terminologi “laba sebelum pajak” yang selama ini menjadi dasar penetapan deemed dividend menjadi “jumlah neto setelah pajak”. Perubahan terminologi ini diikuti dengan penjabaran lebih rinci jenis penghasilan tertentu Badan Usaha Luar Negeri (BULN) nonbursa yang dikendalikan oleh Wajib Pajak Dalam negeri (WPDN). Jenis passive income yang menjadi target CFC Rules meliputi dividen, bunga, sewa, royalti dan keuntungan atas penjualan atau pengalihan harta yang diterima oleh BULN Nonbursa.
Adapun penghasilan BULN dari sewa yang bisa jadi dasar deemed dividend adalah terkait dengan penggunaan tanah atau bangunan dan sewa yang diterima atas transaksi dengan pihak yang terafiliasi dengan BULN terkendali.
Namun, untuk dividen yang diterima dari BULN Nonbursa terkendali dan bunga yang berasal dari BULN Nonbursa milik WPDN dengan izin usaha bank, dikecualikan dari ketentuan deemed dividend ini.
Pengendali Langsung
Sebagaimana yang diuraikan dalam aturan sebelumnya, WPDN akan dianggap sebagai pengendali langsung jika memiliki paling sedikit 50% saham dari modal yang disetor BULN nonbursa, baik kepemilikan saham tunggal maupun bersama-sama dengan WPDN lainnya. Jumlah saham yang disetor adalah nilai saham yang diterbitkan BULN nonbursa atau jumlah nilai saham yang mempunyai hak suara.
Batas kepemilikan 50% atau lebih saham juga berlaku jika dikuasai secara kolektif oleh lebih dari satu WPDN. Dengan demikian, sekalipun masing-masing WPDN kepemilikan sahamnya kurang dari 50%, tetapi jika digabung memenuhi batas minimal 50% penyertaan modal BULN nonbursa maka tetap dianggap sebagai pengendali langsung.
Pengendali Tidak Langsung
Sementara itu, Wajib Pajak dalam negeri dianggap sebagai pengendali tidak langsung jika pada tingkat penyertaan modal selanjutnya, BULN nonbursa yang 50% atau lebih sahamnya dikuasai, memiliki 50% atau lebih saham di BULN nonbursa lainnya.
Kondisi ini juga berlaku secara kolektif, di mana sekelompok Wajib Pajak dalam negeri menguasai 50% atau lebih saham BULN nonbursa dan BULN nonbursa tersebut secara kolektif menguasai 50% atau lebih saham entitas asing non-listed lainnya.
Kendati istilah “laba sebelum pajak” berganti menjadi “jumlah neto sebelum pajak”, perubahan terminologi ini tidak mempengaruhi nilai akhir penghitungan dasar penetapan dividen.
Dengan perubahan termonilogi tersebut, maka formula penghitungan deemed dividen menjadi seperti ini:
Deemed Dividen = % Penyertaan Modal Wajib Pajak x Jumlah neto setelah Pajak BULN |
Namun, jika pengendalian dilakukan melalui beberapa lapisan kepemilikan saham maka formula penghitungan deemed didviden-nya sebagai berikut:
Deemed Dividen = (% Penyertaan Modal Wajib Pajak x Jumlah Neto Setelah Pajak BULN A) + (% Penyertaan Modal BULN A x Jumlah Neto Setelah Pajak BULN B) + dst… |
Mengenai waktu penetapan deemed dividen tidak mengalami perubahan, yaitu dilakukan pada akhir bulan keempat sejak batas akhir pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) BULN nonbursa di yurisdiksi tempatnya beroperasi. Namun, jika yurisdiksi tempat BULN nonbursa berada tidak mewajibkan pelaporan SPT maka Pemerintah Indonesia tetap dapat menetapkan deemed dividend pada akhir bulan ketujuh dan itu dilaporkan dalam SPT. Dengan demikian, penetapan deemed dividend tergantung dari kebijakan pelaporan SPT di masing-masing negara tempat BULN nonbursa beroperasi.
Syarat Kredit Pajak
CFC Rules baru ini masih tetap memperketat syarat pengakuan kredit pajak atas dividen yang diterima WPDN dari perusahaan luar negeri non-listed. Wajib Pajak dalam negeri dapat mengkreditkan PPh yang telah dibayar atau dipotong atas dividen yang diterimanya dari BULN nonbursa pada tahun pajak saat dibayar atau dipotongnya PPh tersebut. Pengkreditan pajak bisa dilakukan untuk:
- Dividen yang diterima tidak melebihi deemed dividend yang dapat diperhitungkan;
- Dividen yang diterima melebihi deemed dividend yang dapat diperhitungkan; dan
- Dividen yang diterima bersumber dari dua atau lebih negara/yuridiksi.
Pengkreditan pajak dilakukan dengan memperhatikan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), serta dengan memperhitungkan perkalian antara PPh terutang atas penghasilan kena pajak dengan perbandingan antara dividen yang diterima dengan deemed dividend. Sementara atas dividen yang diterima dari BULN non-bursa yang lebih dari satu negara, kredit pajak dilakukan berdasarkan masing-masing negara/yuridiksi.
Wajib Pajak yang mengkreditkan PPh atas dividen tersebut wajib melaporkannya kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pelaporan tersebut harus disertai dengan melampirkan:
- Laporan keuangan;
- Fotocopy SPT PPh, dalam hal terdapat kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh;
- Perhitungan atau rincian laba setelah pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir;
- Bukti pembayaran PPh atau bukti pemotongan PPh atas dividen yang diterima dari BULN nonbursa terkendali langsung.
PMK No. 93/PMK.03/2019 yang merupakan revisi dari PMK No.107/PMK.03/2017 merupakan implementasi lanjutan dari Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action 3 yang direkomendasikan oleh Organization for Economic Co-operation & Development (OECD), yakni Strengthening CFC Rules.
Unduh: TaxBlitz #13_ Aturan Diperbaharui, CFC Rules Hanya Sasar Passive Income