Revisi Aturan AEoI, Lembaga Keuangan Makin Sulit Berkelit
Tuesday, 13 August 2024
Kementerian keuangan memperbarui ketentuan terkait mekanisme pertukaran informasi keuangan untuk tujuan perpajakan, lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47 Tahun 2024 yang berlaku efektif mulai 6 Agustus 2024. Beleid ini mengubah ketentuan sebelumnya yang tertuang di dalam PMK Nomor 70/PMK.03/2017, PMK Nomor 73/PMK.03/2017 dan PMK Nomor 19/PMK.03/2018.
Lewat aturan terbarunya, pemerintah semakin mempersempit celah penghindaran kewajiban menyampaikan informasi keuangan. Dengan cara, melarang setiap pihak untuk membuat kesepakatan atau melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menghindari kewajiban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
Baca Juga: AEoI, Momentum Reformasi Perpajakan
Hal tersebut dilakukan dengan menambahkan Bab VA tentang Anti Penghindaran, tepatnya Pasal 30A ayat (1) PMK Nomor 47 Tahun 2024. Secara eksplisit, ketentuan itu berbunyi:
Setiap orang termasuk:
- Lembaga Jasa Keuangan (LJK);
- LJK Lainnya;
- Entitas Lain;
- pimpinan dan/atau pegawai LJK;
- pimpinan dan/atau pegawai LJK Lainnya;
- pimpinan dan/atau pegawai Entitas Lain;
- Pemegang Rekening Keuangan Orang Pribadi;
- Pemegang Rekening Keuangan Entitas;
- penyedia jasa;
- perantara; dan/atau
- pihak lain,
dilarang melakukan kesepakatan dan/atau praktik dengan maksud dan tujuan untuk menghindari kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
Selain dilarang membuat kesepakatan dan menjalankan praktik penghindaran, para pihak tersebut juga dilarang membuat pernyataan palsu atau menyembunyikan kebenaran informasi dan memberikan informasi yang tidak utuh.
Baca Juga: Tak Lagi Manual, Pelaksanaan AEoI Kini Gunakan Aplikasi Khusus
Kewenangan DJP Menilai Kesepakatan
Jika DJP menemukan ada kesepakatan atau praktik-praktik tertentu untuk menghindari kewajiban penyampaian laporan keuangan, DJP akan menganggap kesepakatan atau praktik tersebut tidak berlaku atau tidak terjadi. Selain itu kewajiban untuk menyampaikan informasi keuangan juga tetap harus dipenuhi.
Dalam konteks ini, maka DJP menurut beleid ini berwenang untuk menentukan apakah suatu kesepakatan atau praktik yang dilakukan tersebut bertujuan untuk menghindari kewajiban pelaporan atau bukan.
Selanjutnya, DJP berwenang untuk memperoleh informasi keuangan, termasuk keterangan atau informasi lainnya berkaitan dengan kesepakatan dan aktivitas antara pihak-pihak terkait kesepakatan dan praktik penghindaran kewajiban pelaporan tersebut.
Pengawasan dan Penegakan Hukum
Untuk memastikan seluruh ketentuan terkait kewajiban penyampaian informasi keuangan dilaksanakan, DJP berwenang untuk melakukan pengawasan.
Kegiatan pengawasan dilakukan melalui aktivitas penelitian yang dilanjutkan dengan proses permintaan klarifikasi. Jika permintaan klarifikasi tidak dipenuhi maksimal dalam 14 hari kalender, Direktur Jenderal Pajak akan menyampaikan teguran tertulis kepada LJK, LJK Lainnya dan atau entitas lain.
Baca Juga: Sri Mulyani: Akses Informasi Keuangan Bukan Untuk Intimidasi Wajib Pajak!
Jika setelah mendapat teguran dan pelanggaran tetap terjadi, maka DJP dapat melakukan pemeriksaan. Dengan catatan terdapat indikasi pelanggaran dan/atau belum memenuhi kewajiban terkait penyampaian laporan informasi keuangan.
Kemudian, setelah proses pemeriksaan dilakukan dan terungkap tindak pidana perpajakan, maka Dirjen Pajak akan melakukan pemeriksaan bukti permulaan dan dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan.
Tentang AEoI
Kewajiban penyampaian informasi keuangan oleh LJK, LJK Lainnya, dan entitas lainnya kepada DJP, merupakan bagian dari program pertukaran informasi keuangan secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI).
Kegiatan ini dilakukan antar yurisdiksi yang terikat perjanjian dengan pemerintah Indonesia. Baik Indonesia dapat mengirimkan maupun menerima informasi keuangan secara periodik melalui sistem informasi yang disepakati.
Karenanya, pemerintah Indonesia memberikan wewenang kepada DJP untuk bisa mengakses informasi keuangan dari LJK, LJK Lainnya dan/atau entitas lain.
Informasi yang disampaikan meliputi identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga keuangan pelapor, saldo atau nilai rekening keuangan, dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Adapun, rekening yang tercakup dalam kebijakan ini yaitu:
Entitas | Jenis Rekening Keuangan | Batasan Saldo |
Lembaga Simpanan | Dipegang oleh orang pribadi | ≥ Rp 1 miliar |
Dipegang oleh entitas | Tidak ada batasan | |
Perusahaan Asuransi Tertentu | Dipegang oleh Orang Pribadi/entitas | ≥ Rp 1 miliar |
Lembaga Kustodian dan Entitas Investasi | Dipegang oleh Orang Pribadi/Entitas | Tidak ada batasan |
Untuk dapat menyampaikan laporan keuangan ke DJP, lembaga keuangan pelapor wajib mendaftarkan diri secara langsung, melalui sistem elektronik, atau melalui pos dan jasa ekspedisi. (ASP/AUD)