Smart Contract, Antara Efisiensi Transaksi dan Tantangan Pemajakan
Daffa Abyan
|
Tuesday, 20 February 2024
Seiring popularitasnya yang menanjak, sistem blockchain dengan berbagai teknologi turunannya juga menghadapi berbagai resistensi, misalnya penggunaan smart contract yang dianggap menggerus potensi pajak.
Smart contract merupakan perjanjian atau kontrak yang dibuat antara pihak-pihak berbasis sistem blockchain. Bentuknya, berupa kode program komputer yang terbuat secara otomatis.
Artinya, bila suatu transaksi yang berbasis blockchain tersebut telah memenuhi syarat dan ketentuannya, invoice akan terbuat secara otomatis, bersamaan dengan pembayaran yang menggunakan mata uang kripto.
Kontrak pintar ini memang menawarkan beberapa keunggulan dibanding kontrak konvensional seperti, kecepatan, keamanan, fleksibilitas syarat dan ketentuan transaksi, simplifikasi, dan efisiensi biaya.
Selain itu, smart contract juga bersifat transparan. Karena setiap transaksi yang terjadi dapat diverifikasi oleh semua pihak yang terlibat. Hal itu terjadi, karena sifat dari sistem blockchain yang terdesentralisasi.
Dengan semua keunggulan tersebut, pembuatan kontrak dengan smart contract tidak perlu lagi melalui pihak ketiga, seperti pengacara atau notaris. Karenanya, banyak pihak mulai tertarik memanfaatkan teknologi ini, khususnya sektor privat.
Merujuk data Global Smart Contracts Market Research Report yang dirilis pada tahun 2022, nilai pasar smart contract di dunia telah mencapai US$ 397,8 miliar pada tahun 2022. Angka itu diprediksi akan terus meningkat dan mencapai US$ 1.460,3 miliar pada tahun 2029.
Baca Juga: Penyelenggara Kripto Wajib Gunakan e-SPT Versi Terbaru, Ini Ketentuannya
Celah Penghindaran Pajak
Karena hanya melibatkan pihak-pihak yang bertransaksi tanpa melalui otoritas manapun. Termasuk lembaga keuangan maupun institusi hukum. Maka, keberadaan smart contract mendapat resistensi dari pemerintah dan karena dikhawatirkan menjadi modus penghindaran pajak.
Smart contract bersifat peer to peer yang hanya diketahui kedua pihak tanpa adanya intervensi pemerintah. Artinya, tidak ada celah untuk mengenakan pajak atas transaksinya, baik pajak penghasilan ataupun pajak pertambahan nilai ketika sistem smart contract telah berjalan.
Sehingga, pemungutan pajak melalui pihak ketiga tidak dapat dilakukan, karena sulit menentukan pihak mana yang bertanggung jawab atas suatu transaksi. Mengingat, para pihak yang terlibat bersifat anonim.
Royel, Principal, dan White (2018) mengidentifikasi, setidaknya ada tiga persoalan yang dihadapi di sisi pajak. Pertama, fluktuasi nilai pada mata uang kripto. Kedua, pemajakan pada biaya administrasi. Ketiga, pemajakan atas transaksi yang terjadi.
Sistem perpajakan yang baik seharusnya dapat mengimbangi perkembangan teknologi. Termasuk, transaksi-transaksi dengan model baru yang memberikan efek langsung terhadap investor dan konsumen.
Peran administrasi pajak dalam sistem perpajakan seharusnya memberikan kepastian pada sektor grey area dalam perpajakan serta menegakan hukum pada penghindar pajak (Savic et al, 2015).
Baca Juga: NFT Lagi Heboh, Bagaimana Kewajiban Perpajakannya?
Persoalan Akses Data
Menurut Royer dan White dalam penerlitiannya tahun 2018, setidaknya ada tiga langkah yang bisa dilakukan otoritas pajak dalam merespons keberadaan smart contract.
- Melakukan penindakan hukum pajak dengan regulasi yang ada secara satu per satu;
- Melakukan infiltrasi mekanisme pasar secara paksa sehingga peran pemerintah dapat berjalan dan mengintervensi setiap pembuatan smart contract melalui kontrak pemerintah dengan swasta; atau
- Bersaing dengan sektor swasta seperti membentuk platform tandingan, seperti Blockchain pemerintah, untuk memfasilitasi transaksi digital dengan kode sesuai ketentuan perpajakan.
Pada alternatif solusi pertama sebenarnya dapat diterapkan, ketika pemerintah Indonesia memiliki data identitas pemilik yang memanfaatkan transaksi smart contract. Dengan demikian bisa dilakukan penegakan hukum secara paksa.
Masalahnya, tidak mudah untuk bisa mengetahui pengguna smart contract karena dilindungi oleh sistem blockchain. Karenanya, upaya pengungkapannya akan membutuhkan biaya yang besar dan berpotensi meningkatkan compliance cost otoritas pajak
Upaya lainnya yang bisa lakukan pemerintah adalah dengan mengidentifikasi wajib pajak yang diduga menggunakan smart contract. Caranya, dengan meminta pihak swasta yang menggunakan perjanjian, memasukan kode pemotongan dan/atau pemungutan pajak.
Artinya, pemerintah hanya perlu mencari pihak ketiga sebagai withholder seperti sistem yang telah berlaku di Indonesia. Namun langkah ini baru dapat dilakukan ketika pemerintah telah memiliki identitas pasar. Sementara di sisi lain, pihak swasta akan menanggung biaya dalam pembuatan kode pajak tersebut.
Solusi lainnya, pemerintah dapat membentuk aplikasi smart chain dalam sistem blockchain yang dapat dimanfaatkan oleh pihak swasta. Dengan adanya sistem ini, pemerintah dapat membentuk beberapa parameter atau syarat sesuai peraturan perpajakan yang berlaku.
Dalam hal ini, smart contract dapat dimanfaatkan sebagai bentuk transparan, dapat diaudit, dan informasinya dapat diakses oleh seluruh pihak (Wijaya et al., 2019). Solusi ini memberikan jawaban atas permasalahan identitas pada sistem blockchain.
Hanya saja, hal ini akan menimbulkan dampak negatif, karena bisa memengaruhi independensi sebagai keunggulan blockchain yang terdesentralisasi, dari pemerintah.
Dengan adanya intervensi, perkembangan pasar smart contract akan terhambat. Terlebih, ketika blockchain yang dibentuk pemerintah akan memerlukan identitas sebagai pihak yang bertransaksi untuk sistem administrasi.
Oleh karena itu, dalam konteks kepentingan pajak, pembuatan aplikasi smart chain bisa menjadi upaya preventif yang bisa dilakukan DJP. Sehingga, ketika pengguna smart contract mulai jamak, otoritas pajak tidak gagap langkah. (ASP)
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.