Opinion
Dilema Distributor Soal Pajak Imbalan Pembelian

Melly Fauziah, Tuesday, 14 November 2023

Dilema Distributor Soal Pajak Imbalan Pembelian

Dalam bisnis, khususnya yang terkait dengan perdagangan, penjualan menjadi target utama yang selalu menjadi patokan. Salah satu strategi yang lazim dilakukan oleh Perusahaan untuk mendorong pertumbuhan penjualan lewat insentif, misalnya melalui pemberian imbalan .

Pemberian imbalan biasa dilakukan oleh produsen suatu barang kepada retailer, atau toko yang menjual barang kepada konsumen akhir. Biasanya, imbalan akan diberikan bila retailer berhasil menjual produk dengan jumlah tertentu. Artinya, ada syarat tertentu yang harus dipenuhi. 

Dalam aplikasi bisnis, mekanisme ini sering juga disebut dengan menggunakan terminologi insentif, diskon, rabat atau cash back.

Dengan cara ini, kedua pihak akan sama-sama diuntungkan, baik produsen maupun retailer. Bagi produsen, pemberian ini bisa memacu retailer untuk meningkatkan penjualannya. Sementara bagi retailer, selain memperoleh keuntungan dari penjualan produk juga akan ada tambahan pendapatan dari produsen.

Baca Juga: Pahami Ragam Imbalan Pembeli dan Konsekuensi Pajaknya!

Persoalannya, bagi distributor, sebagai pihak yang berada ditengah-tengah antara produsen dan retailer, pemberian imbalan pembelian malah menimbulkan persoalan. Terutama terkait kewajiban pajak yang ditimbulkan dari transaksi tersebut. Mengapa demikian?

Objek Pajak Penghasilan

Jadi, setiap imbalan yang diterima, sehubungan dengan pencapaian syarat tertentu oleh retailer, dalam bentuk apa pun, baik uang, barang atau pengurang kewajiban, merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh). 

Hal tersebut sebagaimana diatur di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/ 2018. Beleid ini menegaskan, imbalan pembelian tersebut merupakan objek PPh Pasal 23 dengan tarif 15%. Sedangkan jika penerimanya Wajib Pajak orang pribadi, maka hadiah tersebut menjadi objek PPh Pasal 21 dengan tarif progresif.  

Karenanya, produsen sebagai pihak yang memberikan imbalan wajib melakukan pemotongan PPh 23 atau PPh 21 dan membuat bukti potong untuk diserahkan kepada pembeli atau penerima imbalan. Bukti potong itulah nantinya yang dapat dipakai penerima imbalan ketika akan mengkreditkan PPh 23 atau PPh 21 yang telah dipotong.

Baca Juga: Koreksi Fiskal dan Implikasinya Pada Kompensasi Kerugian

Sebagai informasi, aturan tersebut juga mencakup pemberian imbalan penjualan dalam bentuk jasa yang kemudian disebut sebagai imbalan jasa manajemen, jika terdapat perikatan kontrak kerjasama yang mencantumkan aktivitas jasa, pengakuan penghasilan atas jasa dan penagihan atas penyerahan jasa.

Pemotongan Lewat Distributor

Adapun definisi Penjual menurut ketentuan ini adalah pihak yang menjual produknya kepada pembeli. Termasuk di dalamnya produsen, distributor dan agen. Sedangkan definisi Pembeli adalah pihak yang membeli produk dari Penjual untuk dijual kembali termasuk distributor, agen, retailer.

Mekanisme pemotongan PPh atas imbalan pembelian tersebut dilakukan sesuai dengan alur transaksi. Sehingga, jika aliran barang dilakukan melalui distributor, sebelum disampaikan ke retailer, maka pemberian imbalan juga pasti dilakukan melalui distributor, tidak bisa langsung ke retailer.

Meski hanya menjadi perantara atau penyalur imbalan pembelian, distributor memiliki kewajiban adiministratif untuk menerima bukti potong PPh 23 atau PPh 21. Serta berkewajiban untuk memotong PPh 23 atau PPh 21 dari retailer dan menerbitkan bukti potong untuk diserahkan kepada retailer.

Hal ini dianggap menjadi beban tambahan bagi  distributor yang tidak boleh diabaikan. Meskipun, di satu sisi tidak ada keuntungan material yang diterima atas imbalan tersebut. 

Jadi, baik faktur pajak maupun bukti potong tetap harus dilakukan secara runut, tidak bisa melompat dari produsen ke retailer jika pemberiannya melalui distributor. Jika tidak dilakukan bertahap, maka akan menimbulkan ketidaksesuaian antara arus barang dengan pemberian imbalannya.

Risiko Lebih Bayar

Memang, kewajiban memiliki implikasi atau risiko bagi distributor. Diantaranya, risiko yang bisa timbul adalah lebih bayar pajak. Dengan catatan, jika kredit pajak yang diterima distributor dalam satu tahun pajak lebih besar dari PPh terutang.

Hanya saja, risiko ini belum pasti terjadi. Karena, masih mungkin terjadi jumlah PPh terutangnya masih bisa lebih besar dari pada kredit pajak. Apalagi, jika memiliki manajemen pajak yang baik, Perusahaan bisa terhindar dari risiko tersebut.

Sebagai catatan saja, bila distributor tetap mengabaikan ketentuan ini, berisiko dikenai sanksi perpajakan berupa administrasi dan pidana.

Solusi Alternatif

Meski demikian, ada beberapa solusi yang bisa diambil distributor jika ingin terhindar dari beban administrasi. Pertama, mengubah fungsi atau peran dari sebagai distributor menjadi hanya perantara antara produsen-retailer.

Sebagai distributor, pelaku usaha biasanya memiliki dua peran. Satu sebagai pembeli saat menerima barang dari produsen, kemudian sebagai penjual ketika menyerahkan barang ke retailer. Karena itu distributor biasanya mendapatkan keuntungan dari selisih harga antara pembelian dari produsen dan penjualan ke retailer.

Sementara sebagai perantara pelaku usaha hanya mendapatkan komisi yang diberikan produsen yang merupakan objek PPh 23 atas jasa perantara. 

Cara lainnya adalah dengan mengubah pemberian imbalan menjadi diskon langsung. Mengingat pemberian diskon langsung tidak termasuk imbalan sebagaimana yang diatur di dalam SE-24/PJ/ 2018 tersebut.

Dengan menggunakan skema diskon, distributor hanya cukup membuat satu faktur pajak yang di dalamnya mencantumkan diskon sebagai pengurang harga jual.

Namun demikian, skema apa pun yang dipilih sebaiknya proses bisnis yang dilakukan harus tetap mengacu pada ketentuan pajak yang berlaku. 
Karena seberapa besar apa pun, kendala administrasi dalam menjalankan kepatuhan perpajakan, jauh lebih berisiko jika menghindar dari kewajiban pajak yang diatur. 

Terlepas dari persoalan di atas, kita tidak bisa memungkiri juga, faktanya beleid ini  terbit dilatarbelakangi keresahan wajib pajak karena seringnya sengketa pajak timbul karena ketidakjelasan status imbalan dan implikasi pajaknya.

Secara umum, keberadaan SE-24/PJ/ 2018 telah menimbulkan kepastian hukum, mengingat dalam ketentuan sebelumnya tidak ada pengaturan yang jelas dan detail mengenai klausul terkait kriteria imbalan. (ASP)



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.