Pahami Ragam Imbalan Pembeli dan Konsekuensi Pajaknya!
Meydawati,
Wednesday, 08 May 2019
Dalam transaksi bisnis atau jual-beli, penjual kerap memberikan berbagai macam imbalan kepada pembeli sebagai stimulus. Istilah imbalan yang diberikan juga sangat variatif, mulai dari discount, fixed rebate, bonus, komisi dan lain sebagainya. Pembeli—yang berfungsi sebagai distributor—juga kerap menerbitkan tagihan kepada penjual dengan istilah yang tidak kalah beragam, seperti tagihan instore advertisement, promotional contribution, atau istilah lainnya yang secara substansi memiliki kemiripan antara satu dengan yang lainnya.
Pemberian beragam imbalan tersebut memiliki implikasi pajak yang beragam pula, sehingga kerap menjadi objek sengketa antara Wajib Pajak dengan fiskus. Hal ini biasanya terkait dengan perbedaan perlakuan atas imbalan, apakah sebagai komisi atau hadiah, yang masing-masing pendekatan pajaknya beda-beda.
Karenanya, Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mempertegas ketentuan perpajakan atas imbalan terkait transaksi jual-beli patut diapresiasi. Setidaknya, terbitnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2018 lebih memberikan kepastian bagi Wajib Pajak dan fiskus, yang sebelumnya lebih sering bersengketa karena ketidakjelasan status imbalan dan implikasi pajaknya. Khususnya atas pemberian imbalan oleh pembeli yang dalam hal ini berfungsi sebagai distributor (bukan konsumen akhir), ataupun yang terkait dengan pembelian imbalan dengan kondisi tertentu. SE-24/PJ/2018 terbit dan berlaku efektif pada 29 November 2018.
Kondisi tertentu yang dimaksud dalam SE-24/PJ/2018 antara lain pencapaian syarat tertentu, penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu, serta penerimaan kompensasi sehubungan dengan transaksi jual beli.
Syarat Tertentu
Adapun yang dimaksud dengan pencapaian syarat tertentu dalam SE-24/PJ/2018 ini contohnya seperti pembelian dan/atau penjualan oleh pembeli mencapai jumlah tertentu, serta pelunasan oleh pembeli sesuai jangka waktu tertentu. Imbalan yang diberikan dapat berupa uang, barang atau pengurang kewajiban, yang dalam bisnis ritel biasa diistilahkan sebagai Fixed Rebate, Conditional Rebate, Trade Discount, dan lain-lain.
SE-24/PJ/2018 menegaskan, atas imbalan-imbalan yang disebutkan di atas termasuk dalam kategori “hadiah”. Apabila penerima imbalannya Wajib Pajak badan, maka atas hadiah tersebut menjadi objek PPh Pasal 23 dengan tarif 15%. Sedangkan jika penerimanya Wajib Pajak orang pribadi, maka hadiah tersebut menjadi objek PPh Pasal 21 dengan tarif progresif.
Kabar baik lainnya, imbalan atau “hadiah” tersebut tidak menjadi objek PPN jika diberikan dalam bentuk uang. Sebelumnya, pemeriksa pajak cenderung menganggap imbalan dalam bentuk uang sebagai objek PPN sehingga kerap menimbulkan dispute dengan Wajib Pajak. Karenanya, penegasan ini sudah sepatutnya dilakukan DJP karena tidak ada aktivitas jasa yang dilakukan dan tidak ada pemberian dalam bentuk Barang.
Selain itu, SE-24/PJ/2018 juga mengkategorikan jenis imbalan lain dengan istilah imbalan jasa manajemen. Dapat disebut sebagai imbalan jasa manajemen hanya jika terdapat perikatan kontrak kerjasama yang mencantumkan: (i) aktivitas jasa; (ii) pengakuan penghasilan atas jasa; dan (iii) penagihan atas penyerahan jasa.
Apabila ketiga persyaratan penyerahan jasa di atas terpenuhi seluruhnya, pembeli yang sudah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib menerbitkan Faktur Pajak untuk memungut PPN sebesar 10% atas jasa yang diberikan kepada penjual. Istilah yang sering dipakai untuk imbalan jasa antara lain: advertisement support, promotional contribution, Festival Contribution, Instore Promotion, dan lain-lain.
Namun, Penyebutan istilah jasa manajemen dalam SE-24/PJ/2018 cukup menimbulkan kebingungan bagi Wajib Pajak karena tidak mengacu pada definisi jasa manajemen sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-35/PJ/2010. Jasa manajemen dalam SE-35/PJ/2010 mendefinisikan jasa manajemen sebagai pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen. Faktanya, imbalan yang dimaksud dalam SE-24/PJ/2018 semata-semata hanya untuk mempromosikan produk yang dijual suatu perusahaan. Dalam hal ini, penerima imbalan hanya bertindak sebagai perantara dalam memasarkan produk ke konsumen. Untungnya, baik Jasa manajemen ataupun jasa perantara, tarif PPh-nya (Pasal 23) sama-sama 2% sehingga tidak menimbulkan potensi dispute antara otoritas dengan Wajib Pajak.
Imbalan-imbalan yang terkait dengan pencapaian syarat tertentu di atas juga ditegaskan bukan merupakan potongan harga (discount). Sehingga, penjual tidak seharusnya mencantumkan penghargaan yang diberikan sebagai potongan harga dalam faktur penjualan (commercial invoice) maupun Faktur Pajak yang mengurangi harga jual atau penggantian dalam menghitung Dasar Pengenaan PPN.
Sayangnya, pemahaman ini justru berpotensi tumpang tindih dengan konsep diskon yang selama ini sering diaplikasikan oleh penjual kepada pembeli. Penjual kerap memberikan diskon kepada pembeli untuk pembelian selanjutnya jika pembeli melakukan pembelian dalam jumlah besar. Apabila diskon ini dianggap sebagai pengurang kewajiban yang dikategorikan sebagai penghargaan, maka timbul kewajiban withholding tax dengan tarif 15% sebagai pajak penghasilan dibayar dimuka bagi pihak pembeli. Ini juga bisa menjadi beban untuk cash flow pembeli atau beban bagi penjual jika witholding tax ditanggung oleh penjual. Selain itu, diskon yang tercantum dalam Faktur Pajak bisa berpotensi dikoreksi oleh fiskus bila dianggap sebagai imbalan atau penghargaan atas terpenuhinya suatu kondisi tertentu.
Penyediaan Ruang atau Peralatan Tertentu
Berdasarkan perikatan dengan pembeli, penjual dapat meminta pembeli untuk menyediakan fasilitas ruang dan/atau peralatan tertentu untuk kepentingan penjual, yang dapat berupa lantai untuk menempatkan barang dan rak pemajangan barang penjualan, termasuk rak, rak gantungan, dan/atau etalase untuk menaruh barang yang dipamerkan dalam rangka mendukung kegiatan pemasaran produk dari penjual. Ditegaskan dalam SE-24/PJ/2018 bahwa imbalan atas penyediaan fasilitas ini dapat dikategorikan sebagai penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, atau penghasilan dari persewaan harta.
Secara umum, atas persewaan tanah dan/atau bangunan akan dikenakan PPh final sebesar 10$ (Pasal 4 ayat (2)). Sedangkan atas persewaan harta dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2%, khususnya jika penerima imbalan jasa Wajib Pajak Dalam Negeri.
Di sisi lain, pembeli yang sudah menyandang status PKP, harus menerbitkan Faktur Pajak guna memungut PPN sebesar 10% atas jasa yang sudah diberikan kepada penjual. Penjual juga berkewajiban untuk memungut PPN sebesar 10% apabila imbalan berwujud barang yang diserahkan di dalam negeri (dalam Daerah Pabean). Istilah yang sering dipakai dalam transaksi ini antara lain Space Rent, atau Display Rental.
Kompensasi Sehubungan dengan Transaksi Jual Beli
Dalam kondisi yang berbeda, penjual dapat memberikan kompensasi berupa uang, barang, atau pengurang kewajiban kepada pembeli yang berstatus distributor. Tujuannya adalah untuk menanggung risiko atas terjadinya fluktuasi harga, keterlambatan pengiriman barang, atau program penjualan tertentu atas perintah penjual, yang dapat menimbulkan kerugian bagi pembeli yang berstatus distributor.
Misalnya, atas perintah penjual distributor memberikan fasilitas cicilan bunga 0% kepada konsumen akhir. Dalam kasus ini, secara keseluruhan tidak terjadi kerugian pada pembeli yang berstatus distributor. Pembeli hanya terpaksa membayarkan beban bunga terlebih dahulu kepada lembaga pemberi pinjaman, untuk kemudian mendapatkan penggantian dari penjual. Penggantian inilah yang dimaksud dengan pemberian kompensasi tersebut.
Terkait hal ini, SE-24/PJ/2018 menegaskan tidak ada pemotongan PPh yang perlu dilakukan oleh penjual, apapun pemicu dari pemberian kompensasi tersebut. Sebab, transaksi yang terjadi tidak termasuk sebagai objek pemotongan PPh Pasal 21 atau Pasal 23.
Selain itu juga ditegaskan bahwa imbalan jenis ini bukan merupakan objek PPN. kecuali jika kompensasinya berbentuk barang, pihak penjual berkewajiban untuk memungut PPN sebesar 10%. Khususnya jika penjual sudah menjadi PKP dan penjual maupun pembeli berada di dalam negeri. Istilah yang dipakai untuk transaksi ini antara lain Rafaksi dan Gross Margin Support.
Sosialisasi
Sebelum SE-24/PJ/2018 terbit, ketentuan perpajakan atas pemberian berbagai macam imbalan untuk pembeli belum diatur secara spesifik dalam perundang-undangan perpajakan. Dalam praktik sebelumnya, fiskus kerap menganggap semua imbalan yang diterima oleh pembeli merupakan obyek PPN. Dengan adanya SE-24/PJ/2018, secara tegas dan jelas dijabarkan jenis imbalan tertentu yang bukan menjadi obyek PPN.
Namun, DJP perlu melakukan sosialisasi SE-24/PJ/2018 secara intensif menggunakan bahasa yang mudah dicerna guna memberikan pemahaman yang seragam antara Wajib Pajak dengan fiskus. Hal ini penting, terutama bagi Wajib Pajak untuk menyusun strategi pemasaran ataupun membuat kesepakatan baru dengan pihak lawan transaksi sehingga ketentuan dalam SE-24/PJ/2018 tidak menjadi tambahan beban bagi para pelaku bisnis.
Oleh karena itu, implementasi SE-24/PJ/2018 seharusnya tidak diberlakukan secara surut. Selain itu, perencanaan pajak juga diperlukan, khususnya terkait PPh Badan bagi Wajib Pajak Pembeli yang menerima imbalan, mengingat tarif withholding tax-nya 15% sehingga potensi pajak dibayar dimukanya cukup besar dan bisa menyebabkan PPh Badan Lebih Bayar di akhir tahun.
Seperti peraturan-peraturan lain pada umumnya, SE-24/PJ/2018 juga seharusnya berlaku sejak ditetapkan supaya para Wajib Pajak terkait mempunyai cukup waktu untuk melakukan penyesuaian lebih lanjut atas strategi-strategi pemasarannya. (AGS)
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.