Opinion

Pendekatan-Pendekatan Untuk Menguji Kewajaran Transaksi Afiliasi

Muhammad Ilham dan Arif Azmi | Wednesday, 10 January 2024

Pendekatan-Pendekatan Untuk Menguji Kewajaran Transaksi Afiliasi

Transfer pricing merupakan salah satu isu aspek perpajakan internasional karena berpotensi menjadi sarana penghindaran pajak. Negara-negara di dunia mencoba merumuskan berbagai pendekatan untuk mengukur apakah pajak yang dibayarkan suatu perusahaan multinasional atau Multinational Enterprise (MNE) sudah tepat. 

Di saat yang sama, peraturan yang dibuat juga harus menghindari risiko pajak berganda. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha atau Arm’s Length Principle (ALP) selama ini dikenal sebagai prinsip dasar dalam menganalisis transaksi antar pihak istimewa. Namun, ada beberapa pihak yang menganggap ALP terlalu rumit, sehingga dibentuk pendekatan baru yakni Global Formulary Apportionment (GFA).

Pengertian dan asal-usul ALP

ALP adalah suatu paradigma dalam transfer pricing yang digunakan oleh otoritas pajak untuk menentukan jumlah pajak yang seharusnya dibayarkan suatu MNE. ALP bekerja dengan cara mereplikasikan transaksi dalam pasar bebas dalam transaksi antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa . Paradigma ini lahir dari usaha untuk menghindari pajak berganda akibat konflik antara peraturan pajak satu negara dengan negara lainnya. 

Asal mula ALP berada pada awal abad ke-20, saat Liga Bangsa-Bangsa menugaskan empat ekonom untuk membuat suatu prinsip perpajakan internasional yang dapat menghindari pajak berganda dan mengalokasikan keuntungan MNE secara adil. 

Mereka kemudian menyimpulkan bahwa keuntungan suatu MNE untuk perpajakan sebaiknya dialokasikan berdasarkan penambahan nilai; lokasi yang memiliki kontribusi terbesar terhadap penciptaan nilai dalam proses bisnis suatu MNE berhak atas keuntungan perpajakan lebih dibandingkan dengan lokasi lainnya . 

Prinsip ini kemudian memunculkan dua hal lain yang menjadi pilar penting transfer pricing, yakni separate entity approach serta kekuatan otoritas pajak untuk melakukan koreksi atas pendapatan suatu entitas. 

Separate entity approach adalah pendekatan yang dimana semua entitas dibawah suatu MNE diperlakukan seolah-olah perusahaan-perusahaan tanpa hubungan istimewa apapun. Kekuatan otoritas pajak untuk melakukan koreksi tertuang pada pasal 9 OECD Model Tax Convention. 

Ketentuan tersebut menyatakan bahwa suatu perusahaan dalam sebuah MNE seharusnya membayar pajak atas pendapatan yang akan didapat, jika perusahaan tersebut melakukan aktivitas yang sama di luar pengaruh MNE. 

Pasal tersebut juga menyatakan bahwa otoritas pajak memiliki kuasa untuk menentukan pandangannya melalui koreksi atas laba yang seharusnya diterima perusahaan tersebut . 

Penerapan ALP di Indonesia

Di Indonesia, kekuatan otoritas pajak untuk melakukan koreksi atas laba perusahaan tertuang dalam Pasal 18 ayat (3) UU PPh, dimana disebutkan:

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa...

Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (3) dijelaskan bahwa penerapan ALP di Indonesia diperkenalkan sebagai prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Prinsip ini mengatur praktik bisnis yang sehat sebagaimana berlaku di antara pihak-pihak yang tidak memiliki dan/atau dipengaruhi hubungan istimewa. 

Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pada penjelasan UU PPh telah sejalan dengan Separate entity approach. Sehingga, secara kedudukan hukum di Indonesia telah menerapkan kedua pilar penting transfer pricing yang telah dijelaskan sebelumnya.  

Lantas apa yang disebut dengan hubungan istimewa? Pasal 18 ayat 4 UU PPh memuat jenis hubungan antar perusahaan dan individu-individu pada suatu perusahaan dan perusahaan lainnya yang dapat dikategorikan sebagai perusahaan afiliasi. 

Jenis hubungan yang pertama adalah penyertaan modal atau kepemilikan. Suatu perusahaan dengan yang lainnya dikatakan terafiliasi, ketika ada penyertaan modal paling rendah 25%.  Jenis hubungan afiliasi selanjutnya adalah penguasaan, yaitu jika dua atau lebih perusahaan berada dalam kendali orang yang sama. 

Jenis hubungan afiliasi terakhir adalah hubungan keluarga. Suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya akan memiliki hubungan afiliasi jika perusahaan-perusahaan tersebut berada dibawah penguasaan orang yang memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda. Hubungan sedarah atau semenda yang dimaksud adalah hubungan dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Prinsip Kesebandingan

Pada praktiknya, laba wajar yang didapat oleh suatu perusahaan dalam MNE dihitung atas dasar kesebandingan. Ide dasarnya adalah perusahaan-perusahaan yang melakukan aktivitas yang sama dalam kondisi ekonomi serupa akan mendapat perlakuan pajak yang serupa . Karenanya, aktivitas perusahaan afiliasi dibandingkan dengan perusahaan atau transaksi serupa untuk menentukan nilai wajarnya.

Lantas, bagaimana memutuskan apakah suatu perusahaan atau transaksi layak dijadikan pembanding? Terdapat dalam 5 faktor kesebandingan yang tertuang dalam bab 1 OECD Transfer Pricing Guidelines. Kelima faktor tersebut yaitu analisis fungsi, aset, dan risiko (FAR), kondisi ekonomi, strategi bisnis, karakteristik produk dan jasa, serta ketentuan kontrak. 

Di Indonesia,  kelima faktor ini tertuang dalam PER 43/2010 sebagaimana diubah dalam PER 32/2011 sebagai faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan analisis transfer pricing.

Analisis FAR adalah penerapan konsep alokasi hak perpajakan berdasarkan penambahan nilai. Perusahaan yang menjalankan fungsi atau kegiatan lebih kompleks dan menambah nilai, menggunakan aset lebih banyak, dan menanggung risiko lebih banyak akan memperoleh alokasi keuntungan lebih besar dari perusahaan-perusahaan anggota MNE lainnya. 

OECD merekomendasikan untuk membandingkan fungsi utama atau fungsi yang signifikan secara ekonomi antara pihak-pihak dalam transaksi yang sedang diteliti, dengan pihak-pihak independen yang melakukan transaksi serupa .

Faktor kondisi ekonomi diperhitungkan untuk mengakomodir perusahaan yang terpapar risiko sistematis dari suatu negara atau wilayah. Perusahaan-perusahaan yang labanya terpengaruh akibat melakukan strategi tertentu seperti menetapkan harga rendah untuk penetrasi pasar terakomodir oleh faktor strategi bisnis. Kedua faktor ini memberikan fasilitas agar perusahaan yang memperoleh hasil finansial yang berbeda dari pembanding-pembandingnya tidak semerta merta disangka memainkan harga transfer.

Karakteristik produk dan jasa yang menjadi obyek transaksi dibandingkan dengan produk atau jasa yang sebanding dalam pasar bebas. Tujuannya, untuk memperkuat kesimpulan atas wajar atau tidaknya harga yang dibayarkan. 

Sebagai contoh, hal yang dapat dibandingkan untuk transaksi melibatkan barang berwujud adalah karakteristik fisik serta kualitas produk. Untuk barang tidak berwujud, jenis dan lingkup jasa untuk transaksi jasa dapat dibandingkan, serta jangka waktu dan keuntungan dapat digunakan untuk transaksi melibatkan hak paten .

Ketentuan kontrak menyorot aktivitas apa saja yang menjadi bagian dari transaksi dan substansi dari transaksi yang dilakukan untuk menjustifikasi harga yang dibayarkan. Suatu kontrak menetapkan peran masing-masing perusahaan dalam kegiatan bisnis, dan makin besar peran suatu perusahaan semakin besar pula keuntungan yang berhak didapatkannya.

Kelima faktor ini akan digunakan untuk mencari sekelompok perusahaan-perusahaan pembanding yang data keuangannya akan digunakan untuk menentukan kewajaran transaksi yang sedang dianalisis. Jika ternyata perusahaan pembanding yang ditemukan kurang sesuai dengan transaksi yang sedang diteliti, maka penyesuaian harus dilakukan untuk meningkatkan kesebandingan.

GFA Sebagai Alternatif

Meskipun banyak diadaptasi oleh negara-negara dan otoritas pajak di dunia, tetapi  prinsip ALP bukan berarti tanpa kelemahan. Beberapa pihak berpendapat bahwa, melihat dua atau lebih perusahaan yang memiliki hubungan afiliasi sebagai entitas yang terpisah bukanlah hal yang mudah ketika menghadapi situasi tertentu. 

Sebuah grup perusahaan multi-nasional seringkali memiliki keterkaitan yang saling menguntungkan satu entitas dengan entitas lainnya. Hal ini sulit dijelaskan jika memaksakan penggunaan paradigma entitas yang terpisah. Pemikiran-pemikiran tersebut  memicu pengembangan teori dan pendekatan yang menjadi alternatif dari ALP.

Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan pada United Nations Transfer Pricing Manual (UN TP Manual) 2021, GFA merupakan pendekatan lain yang mungkin dapat diterapkan selain ALP. 

Pada pendekatan GFA, laba perusahaan multinasional yang diperoleh seluruh entitas, akan dialokasikan pada seluruh entitas afiliasi berdasarkan beberapa faktor. Faktor-faktor yang biasanya digunakan yaitu, jumlah aset, karyawan, volume penjualan, atau faktor lainnya yang merupakan faktor penting dalam perolehan laba sebuah perusahaan multinasional.

Penjelasan ini menunjukkan bahwa, GFA melihat sebuah grup usaha sebagai satu kesatuan yang dalam pembagian labanya menggunakan perhitungan tertentu. GFA diterapkan dengan cara menggunakan suatu rumus yang melibatkan faktor perolehan laba  untuk mengalokasikan keuntungan MNE kepada negara-negara di mana MNE tersebut beroperasi.

Alternatif Tidak Realistis

Penggunaan GFA sebagai pendekatan untuk mencapai suatu kewajaran memiliki kelebihan dari sisi implementasi yang lebih sederhana, di mana hal itu akan menghasilkan biaya kepatuhan yang lebih rendah di sisi Wajib Pajak. 

Namun demikian, OECD TP guidelines secara tegas menganggap bahwa GFA bukanlah merupakan alternatif yang realistis dari pendekatan ALP. Para anggota OECD tidak menerima GFA sebagai alternatif dari ALP dikarenakan dampak negatif yang mungkin terjadi, salah satunya risiki timbulnya double taxation. 

Dijelaskan lebih lanjut bahwa, GFA membutuhkan suatu koordinasi substansial yang dilakukan secara internasional untuk membentuk sebuah konsensus.

Beberapa negara menerapkan pendekatan ini seperti di Amerika Serikat dan beberapa negara yang berbentuk negara federal untuk menentukan pajak terutang yang harus dibayarkan pada tingkat negara bagian. 
GFA di Indonesia

Indonesia tidak secara eksplisit menerapkan pendekatan GFA pada sistem perpajakan, khususnya di ranah transfer pricing. Namun demikian, pendekatan GFA secara tidak langsung sudah digunakan dalam analisis transfer pricing hari ini. 

Metode pembagian laba (profit-split method), yang menjadi salah satu dari metode transfer pricing yang diakui OECD, menggunakan faktor tertentu untuk mengalokasikan laba sisa yang diperoleh perusahaan multinasional. Penentuan laba dengan menggunakan faktor tertentu itulah yang sejalan dengan pendekatan GFA.

Hambatan Konsensus

Pada paragraf sebelumnya OECD menyebutkan tentang salah satu kesulitan yang dihadapi pada penerapan pendekatan GFA, yaitu konsensus internasional untuk menyepakati formula pembagian laba sebuah perusahaan multinasional.  

Pada saat artikel ini ditulis, negara-negara OECD beserta negara lain yang tergabung dalam inclusive framework sedang merumuskan kebijakan pajak internasional yang dikenal sebagai “Pillar One”, dimana pendekatan GFA digunakan sebagai pendekatan utama.  

Indonesia merupakan salah satu negara yang tergabung dalam inclusive framework tersebut, sehingga pendekatan GFA mungkin akan diterapkan pada peraturan formal di Indonesia dalam beberapa waktu ke depan. 

Pendekatan yang ditawarkan oleh ALP dan GFA memiliki sudut pandang yang berbeda. ALP menekankan pada konsep entitas yang terpisah, sedangkan GFA melihat sebuah grup usaha sebagai suatu entitas yang saling terkait.  

Walaupun memiliki sudut pandang yang bertolak belakang, dua paradigma tersebut sama-sama diterapkan untuk menutupi kekurangan satu pendekatan dengan pendekatan yang lainnya.  

Akhirnya, realitaslah menjadi pembeda keduanya. Secara realitas, ALP lebih memungkinkan untuk digunakan, dibandingkan GFA yang tampak sederhana secara teoritis namun sulit diaplikasikan. (ASP) 



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.