Koreksi Fiskal dan Implikasinya Pada Kompensasi Kerugian
Yudhayani Eka,
Tuesday, 15 August 2023
Wajib pajak yang membukukan kerugian di dalam negeri, berhak mengkopensasikan kerugian yang dialaminya, terhadap laba fiscal di tahun mendatang. Sehingga, pajak penghasilan (PPh) terutang wajib pajak bisa lebih rendah dari yang seharusnya.
Ketentuan mengenai kompensasi kerugian di atur di dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang tentang Pajak penghasilan (PPh). Beleid tersebut menyatakan kerugian yang dialami wajib pajak dapat dikompensasikan hingga lima tahun pajak ke depan, secara berturut-turut.
Proses kompensasi kerugian sebetulnya sederhana. Dimulai ketika Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh wajib pajak mencatatkan rugi, maka nilai kerugian itu dapat dikurangkan pada laba fiskal yang terjadi di tahun pajak berikutnya.
Kemudian bila nilai kerugiannya ternyata masih lebih tinggi dari laba yang terjadi, maka selisihnya atau sisa nilai kerugiannya bisa dikompensasikan ke laba fiskal tahun berikutnya lagi, maksimal hingga lima tahun pajak.
Berdasarkan SKP atau SPT
Persoalan muncul bila Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengoreksi rugi fiskal yang diklaim wajib pajak. Sehingga, nilai kerugian yang ada di SPT Tahunan akan berbeda dengan hitung-hitungan menurut DJP yang tertuang di dalam Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Misalnya, pada tahun 2021 wajib pajak mencatatkan rugi yang kemudian nilainya dikoreksi oleh DJP. Lalu, atas koreksi tersebut wajib pajak mengajukan keberatan dengan mempertahankan nilai rugi yang Ia catatkan di dalam SPT Tahunan.
Memang, wajib pajak sebetulnya berhak melakukan kompensasi atas kerugian tersebut terhadap laba fiskal tahun 2022. Namun, karena timbul sengketa atas koreksi tersebut, keputusan untuk melakukan kompensasi menjadi tidak sederhana.
Setidaknya ada tiga pilihan bagi wajib pajak yang rugi fiskalnya dikoreksi DJP. Pertama, tetap mengompensasikan kerugiannya di tahun pajak 2022 menggunakan nilai SPT Tahunan tahun 2021. Kedua, menyetujui hasil koreksi DJP dengan cara melakukan pembetulan SPT Tahunan yang menyatakan rugi fiskal.
Ketiga, menunggu proses penyelesaian sengketa dengan DJP dalam hal wajib pajak tidak setuju dengan koreksi DJP dan mengajukan upaya hukum seperti keberatan atau bahkan hingga banding.
Paling aman sebetulnya memang setuju dengan hasil koreksi DJP. Tetapi implikasinya, mungkin akan menyebabkan rugi fiskal yang sebelumnya diklaim di SPT bisa lebih kecil atau bahkan bisa berubah menjadi laba, tergantung ketetapan DJP.
Atau jika keberatan, wajib pajak bisa tetap mengompensasikan kerugian memakai angka yang ada di SPT Tahunan. Konsekuensinya, ketika putusan Pengadilan Pajak sama dengan nilai koreksi DJP, maka DJP juga akan mengoreksi nilai pajak terutang tahun 2022 yang telah dikurangi dengan kompensasi kerugian.
Namun, apabila mengambil opsi pertama yaitu dengan menggunakan kompensaisi kerugian hasil pemeriksaan dan menunggu putusan incracht, maka wajib pajak berisiko tidak bisa memanfaatkan kompensasi fiskal di tahun pajak berikutnya. Apalagi, jika proses penyelesaian sengketa berlanjut ke tahap gugatan di Pengadilan Pajak, waktu yang diperlukan tidak sebentar. Selain itu, pasca putusan incracht, wajib pajak juga harus membetulkan SPT Tahunannya.
Koreksi Saat Kompensasi Rugi Dilakukan
Persoalan lain yang sering timbul adalah ketika DJP juga melakukan pemeriksaan atas SPT tahunan pada saat wajib pajak melakukan kompensasi kerugian. Misalnya, selain mengoreksi rugi fiskal di tahun 2021 DJP juga melakukan pemeriksaan dan menerbitkan SKP atas SPT Tahunan tahun 2022.
Sehingga, saat sengketa atas koreksi tahun pajak 2021 incracht, wajib pajak kesulitan membetulkan SPT Tahun Pajak 2022. Karena secara regulasi WP hanya dapat membetulkan SPT karena adanya rugi fiskal yang berubah, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan.
Solusi yang tersedia jika kondisi itu terjadi adalah, agar tetap bisa memanfaatkan rugi fiskal, wajib pajak bisa mengajukan pembetulan SPT. Hal ini sebagaimana ketentuan yang diatur di dalam Pasal 16 ayat (1) UU Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (KUP).
Beleid itu secara lengkap menyebut, DJP dapat membetulkan SKP dan produk hukum lainnya apabila terdapat salah tulis, salah hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan perpajakan. Namun, memang biasanya DJP tidak akan menerima permohonan pembetulan tersebut, dengan alasan SPT Tahunan yang diperiksa sudah benar dan sesuai prosedur.
Persoalan Regulasi
Persoalan ini muncul karena dua hal, pertama karena regulasi yang mengatur mengenai kompensasi kerugian belum benar-benar jelas.
Secara regulasi, tidak ada ketentuan yang cukup spesifik mengatur bagaimana WP dapat memanfaatkan kompensasi kerugian hasil ketetapan pajak atau putusan banding dengan angka rugi fiskal yang berbeda.
Di sisi lain, SPT Tahunan setelah tahun pajak terjadi rugi fiskal sudah dilakukan pemeriksaan. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar sengketa seperti ini tidak berulang, pemerintah sebaiknya membuat aturan yang lebih spesifik lagi.
Kedua, persoalan yang sering terjadi adalah adanya perbedaan penafsiran antara wajib pajak dengan DJP. Terutama dalam membaca ketentuan mengenai pembetulan atas SKP sebagaimana yang diatur di Pasal 16 UU tentang KUP.
Menurut wajib pajak, SKP dapat dibetulkan karena adanya salah hitung atau kesalahan dalam penerapan aturan perpajakan. Sementara menurut DJP, perbedaan nilai kompensasi kerugian tidak termasuk dalam definisi salah hitung dan/atau kesalahan penerapan aturan perpajakan.
Padahal, di dalam Pasal 3 ayat (3) huruf g pada Peraturan Menteri Keuangan No. 11/PMK.03/2013 secara eksplisit disebutkan ruang lingkup pembetulan DKP meliputi kesalahan tulis, kesalahan hitung dan kekeliruan penerapan aturan.
Adapun kesalahan hitung yang dimaksud antara lain, kesalahan yang berasal dari penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian suatu bilangan dan/atau akibat penerbitan surat ketetapan pajak, surat tagihan pajak, surat keputusan terkait perpajakan, putusan banding atau putusan peninjauan kembali.
Jika tidak segera diselesaikan, persoalan ini akan terus berulang. Jika itu terjadi akan berdampak pada wajib pajak maupun DJP. Bagi wajib pajak, akan kehilangan kesempatan memanfaatkan fasilitas kompensasi rugi fiskal. Di samping itu, waktu dan fokus wajib pajak juga akan teralihkan untuk menyelesaikan sengketa di Pengadilan Pajak. (ASP)
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.