Opinion
Urgensi Regulasi untuk AI

Mawla Robbi, Thursday, 20 July 2023

Urgensi Regulasi untuk AI

Kecerdasan buatan alias Artificial Intelligence (AI) memang memudahkan manusia dalam membuat konten secara digital hingga mengambil keputusan. Tetapi jangan sekali-kali memercayakan sepenuhnya hasil pekerjaan kita kepada AI. Jika tidak, Nasib kita akan sama dengan seorang pengacara yang mengutip “hasil kerja” ChatGPT yang ternyata memberikan rekomendasi kasus fiktif.  

Cerita itu terjadi di Amerika Serikat (AS) ketika pengadilan federal setempat memeriksa perkara cedera personal (personal injury) sebuah perusahaan penerbangan, Avianca Airlines. 

Dari kasus itu kita bisa melihat, bahwa AI memiliki dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi, sebagai teknologi yang dapat membantu pekerjaan manusia seperti membuat konten digital, baik teks, gambar maupun video. Tetapi di sisi lain, keberadaan AI masih menuai kontroversi terutama terkait aspek hukum dan norma. 

Keajaiban AI 

Bisa dikatakan, AI adalah suatu keajaiban dunia terbaru. Betapa tidak, setiap orang bisa membuat membuat beragam jenis tulisan, mengedit gambar dan mengolah video tanpa perlu memiliki keahlian teknis tersebut. Seseorang hanya cukup mengetikan kata kunci tertentu di suatu aplikasi terintegrasi AI. Kemudian, algoritma AI akan bekerja dan memberikan apa yang diperintahkan manusia.  

Keberadaan AI juga mengubah landscape penggunaan teknologi informasi di dunia, yang selama dua dekade terakhir didominasi oleh pemakaian mesin pencarian. Tetapi, merujuk data Tech Jury, hingga awal tahun 2023, 97% pengguna telepon pintar telah memanfaatkan teknologi AI dan 40% di antaranya menggunakan bantuan suara (voice assistant) dalam mengaksesnya. 

Luar biasanya peran AI, kini banyak orang yang menggunakannya tidak hanya membuat produk digital, tetapi menjadikannya alat analisis dalam membuat keputusan, termasuk keputusan bisnis. 

Berbeda dengan teknologi mesin pencari, AI tidak hanya menyediakan pilihan informasi saja, tetapi juga mampu mengolah informasi yang tersebar di internet. Oleh AI, informasi tersebut dapat disortir dan diolah untuk dapat menampilkan nasehat yang tepat seolah-olah dibuat oleh seorang profesional.  

AI juga jauh lebih efisien daripada seorang profesional dalam melakukan pekerjaan serupa. Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan IBM, yang menyebut pekerjaan yang dilakukan AI 30% lebih efisien dari pekerjaan yang dilakukan manusia. 

Cara Kerja AI 

Pada dasarnya AI  bekerja dengan cara mengambil sampel data dalam jumlah besar secara real-time. Kemudian, data tersebut diolah dan dianalisis oleh algoritma menggunakan pendekatan repetitif. Artinya, AI akan membaca data berdasarkan pola penggunaan yang berulang.  

Sehingga, semakin banyak sampel data yang diambilnya, akan semakin akurat pekerjaan yang dihasilkan. Dengan begitu, semakin sering digunakan orang, AI akan semakin pintar, kesalahan dapat diminimalisir dan tingkat akurasi juga semakin meningkat. 

Cara kerja demikian sebetulnya mirip dengan pola otak manusia, yaitu sama-sama mampu mengumpulkan informasi, mengolahnya kemudian membuat kesimpulan dan keputusan.   

Dengan sistem kerja demikian, wajar jika AI bisa mengambil alih pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan manusia.  Bahkan, AI bisa pekerjaan yang dihasilkan dapat meminimalisasi kesalahan yang sangat mungkin terjadi apabila dikerjakan oleh manusia (human error).  

Sebagai contoh, dalam melakukan data analisis AI dapat dengan mudah menyeleksi informasi apa saja yang relevan dan dibutuhkan sehingga menghasilkan kesimpulan yang akurat dalam waktu yang singkat. Pekerjaan tersebut apabila dikerjakan oleh manusia akan memakan waktu yang lebih lama dan sangat mungkin terjadi kesalahan pada tahap pengolahan data. 

Soal Aspek Legal 

Dibalik semua kehebatan dan kecanggihannya, kita harus tetap sadar bahwa AI menyimpan berbagai persoalan. Sebab, sebagai sebuah teknologi, AI hanyalah sebuah alat yang diciptakan untuk membaca perilaku manusia di ruang digital, sebagai bahan bakar otaknya bekerja. 

Perlu diingat bahwa teknologi diciptakan untuk mencapai tujuan yang ditentukan oleh inventornya. Selain itu, berbeda dengan manusia, teknologi juga tidak memiliki batasan tertentu yang menjadi acuan layaknya moral pada manusia. Sehingga, AI tidak bisa menentukan apakah informasi yang diolahnya bertentangan secara legal, norma atau moral. 

Ada beberapa persoalan legal yang berkaitan dengan penggunaan AI. Pertama, soal data-data rahasia yang bisa diakses oleh AI tanpa konfirmasi, dianggap merugikan pemilik informasi. Hal ini yang kemudian mendasari  sebuah gugatan perwakilan kelompok (class action) dilayangkan kepada Microsoft, GitHub dan OpenAI. 

Perusahaan-perusahaan penyedia teknologi AI itu dituduh menggunakan informasi rahasia tanpa izin serta melanggar hak kekayaan intelektual dengan tidak mencantumkan credit pada inventor, serta tidak transparan dalam mengambil data, yang semua hal-hal tersebut dilakukan dalam skala yang luas. 

Sebetulnya, dalam berbagai instrumen hukum dari level internasional seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966 sampai level korporasi, privacy merupakan suatu hal yang patut dilindungi. Tidak boleh ada pihak yang mengakses informasi rahasia tanpa persetujuan pemiliknya.  

Sementara dengan metode pengambilan sampel data acak yang dilakukan, memungkinkan AI menangkap informasi yang bersifat rahasia dan seharusnya tidak boleh diungkap (undisclosed information) ke publik.  

Kedua, AI juga dianggap berpotensi melanggar hak kekayaan intelektual suatu konten atau informasi. Sebab, dalam pembuatan suatu karya, seperti tulisan, lukisan, gambar, lirik dan video, AI kemungkinan mengambil sampel karya-karya yang sudah pernah diciptakan. Karya-karya itu kemudian diubah menjadi suatu karya baru tanpa memberikan kutipan (credit) pembuat-pembuat karya sebelumnya.  

Ketiga, AI juga berpotensi memicu persoalan hukum ketika informasi yang disampaikannya tidak akurat bahkan salah dan kemudian dijadikan dasar pembuat keputusan yang mengikat secara legal. Hal ini seperti yang terjadi pada contoh kasus di awal tulisan. 

Penggunaan ChatGPT untuk membuat dasar hukum sebuah perkara yang tengah diperiksa Pengadilan Federal AS merupakan kesalahan penggunaan AI yang sangat fatal. Mengingat AS menganut sistem common law yang menjadikan putusan pengadilan sebelumnya sebagai preseden untuk memutus kasus serupa. 

Keempat, keberadaan AI juga sempat menjadi persoalan ketika digunakan dalam proses pemilihan presiden (Pilpres) di AS tahun 2016. Selain telah dipakai untuk alat black campaign dan negative campaign oleh para kandidat, AI juga dianggap telah memberikan informasi secara bias dan tidak netral dengan memanipulasi informasi dengan mengganti hari dan lokasi pelaksanaan pilpres.  

Jadi bisa dibayangkan, bila informasi bias semacam itu kerap digunakan oleh konsumen dalam pengambilan keputusan. Lantas, di kemudian hari ternyata berdampak merugikan, maka Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak dapat diterapkan dalam kasus ini mengingat tidak terpenuhinya unsur hubungan konsumen dengan produsen atau pemberi jasa. 

Dari keseluruhan isu hukum terhadap AI yang ada, satu hal yang paling penting adalah bahwa platform AI dengan sistem open source didesain untuk dapat diakses semua orang dan AI belajar dari para user. Dengan sistem tersebut, AI tidak memiliki “pengendali mutlak” yang bertanggung jawab atas hal apa saja yang dilakukan oleh AI.  

Secara garis besar, hal tersebut menggugurkan dua unsur esensial sebagai subjek hukum, yaitu siapa yang bertanggungjawab dan kemampuan untuk bertanggungjawab.  

Baik dari aspek hukum perdata maupun aspek hukum pidana, kedua hal tersebut merupakan unsur yang wajib ada untuk menentukan apakah suatu subjek hukum bersalah dan dianggap bertanggungjawab atas sesuatu tuduhan atau tidak. Dengan tidak terpenuhinya unsur tersebut mengakibatkan tergugat atau terdakwa tidak dapat diputus bersalah oleh pengadilan. 

Jika dibiarkan, persoalan-persaoalan tersebut bisa memicu meruncingnya perdebatan terhadap eksistensi AI. Karena tidak bisa dipungkiri, keberadaan AI menjadikan hidup manusia lebih efisien. 

Namun demikian, agar AI bisa berperan dengan baik dan risiko konflik bisa diredam dibutuhkan formula yang bisa meredam dan meminimalisasi setiap aspek yang bisa merugikannya, melalui Regulation, Education, Standard dan Together (REST). 

Tantangan Regulasi 

Meskipun persoalan legal terkait AI itu terjadi bukan di Indonesia. Pemerintah kita sebaiknya mulai mengantisipasi dan memandang serius masalah ini.  

Apalagi, hingga kini kita belum memiliki payung hukum yang mengatur secara spesifik dan rinci mengenai penggunaan AI. Sejauh ini, Indonesia baru sebatas mengatur mengenai aspek keterlibatan AI sebagai agen elektronik yang merupakan perangkat sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan tindakan atas informasi elektronik secara otomatis (Pratidina, 2017).  

Berdasarkan Pasal 21 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, agen elektronik dilekatkan pada definisi mengenai penyelenggara sistem elektronik yang harus merupakan subjek hukum seperti negara, orang, badan hukum dan masyarakat.  

Persoalannya, AI merupakan sebuah platform open-source alias tidak dioperasikan oleh subjek hukum tertentu. Hal ini berbeda dengan platform digital lainnya, seperti marketplace. Sebagai contoh, Bukalapak atau Tokopedia yang merupakan badan usaha penyelenggara sistem elektronik.  

Sedangkan, AI open-source bukan badan usaha atau individu yang mengendalikan suatu unit usaha yang menyelenggarakan sistem elektronik. Dengan kata lain, regulasi saat ini belum benar-benar menjangkau teknologi AI. 

Dalam teori law as a tool of social engineering yang dikemukakan Profesor Mochtar Kusumaatmadja, hukum harus berperan sebagai alat rekayasa sosial. Artinya, hukum seharusnya “berada di depan”. Dengan kata lain, regulasi harus dapat menciptakan iklim sosial-teknologi yang baik, lalu kemudian para pemangku kepentingan dapat mengikuti sesuai jalur yang didesain oleh regulasi tersebut (Regulation).  

Salah satu peran krusial regulasi adalah dengan membuat pedoman tentang bagaimana AI dapat dipersamakan dengan subjek hukum yang dapat bertanggungjawab atas “perbuatannya”. Penyamaan perlakuan AI sebagai subjek hukum ini nantinya akan memudahkan penertiban dan penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran hukum.  

Oleh karenanya, peran regulator sangat vital untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat selain juga memberikan iklim yang mendukung berkembangnya teknologi AI. 

Bijak Memanfaatkan AI 

Disamping pembuatan regulasi, pemberian edukasi tentang AI secara masif pun sangat diperlukan (Education). Karena dibalik kecanggihan teknologi tergantung pada kebijaksanaan penggunaannya. 

Masyarakat yang lebih faham akan lebih bijak dan bertanggungjawab dalam mengguakan AI, sehingga persoalan-persoalan hukum yang diuraikan di atas, tidak akan terjadi.  

Selain itu, pengembangan AI juga harus bersandar pada standar etika dan hukum yang berlaku secara umum (Standard). Penggunakan standar dapat dilakukan melalui kodifikasi tata laksana dan etika algoritma yang digunakan dalam pengembangan AI.  

Kemudian, dalam rangka menghadapi tantangan hukum terkait AI di Indonesia, kolaborasi antara pemerintah, lembaga hukum, akademisi, dan industri sangat penting. Dengan kerjasama yang baik, dapat dibangun kerangka hukum yang memadai untuk mendukung perkembangan masyarakat dan teknologi serta memberikan rasa aman terhadap seluruh pemangku kepentingan (Together).  



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.