Artificial Intelligence dan Perlindungan Kekayaan Intelektual
Kiki Amaruly Utami,
Thursday, 10 February 2022
Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan merupakan terobosan teknologi informasi yang sedang booming dan menjadi topik hangat di pelbagai belahan dunia. Semakin banyak pegiat teknologi yang mencangkokan AI dalam berbagai aplikasi yang dapat membaca perilaku sekaligus menawarkan solusi yang memudahkan manusia. Mulai dari fitur personal assistant di ponsel, chatbot, self driving & parking vehicle, alogaritma sistem pembaca (scan) wajah atau pendeteksi suara, sampai yang terbaru robot mirip manusia atau Humanoid yang di cetuskan Elon Musk pada forum AI Day baru baru ini.
Humanoid yang digagas Bos Tesla itu digadang-gadang akan menjadi robot yang tidak hanya dapat membantu pekerjaan manusia, bahkan bukan tidak mungkin akan menggantikan peran manusia dalam berbagai bidang pekerjaan—terutama yang tidak mungkin dilakukan manusia.
Saking populisnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan latah berwacana untuk menerapkan teknologi AI dalam pembuatan kebijakan di Indonesia. Jokowi pernah mengatakan untuk mempercepat proses birokrasi pada sistem pelayanan publik, kinerja PNS Eselon III dan IV akan digantikan oleh AI dalam proses transformasi digitalisasi pelayanan publik. Dengan demikian, hal-hal yang sifatnya rutin, administratif dan repetitif dapat digantikan oleh AI, sehingga proses pelayanan publik diharapkan menjadi lebih efektif dan efisien.
Apa sebenarnya AI? Stanford Computer Science mendefinisikan AI atau kecerdasan buatan sebagai ilmu dan rekayasa pembuatan mesin cerdas untuk menjalankan suatu tugas menggunakan teknologi komputer. Maksudnya, AI merupakan teknologi yang memungkinkan sistem komputer, perangkat lunak, program dan robot untuk “berpikir” secara cerdas layaknya manusia.
Kecerdasan buatan mesin ala manusia yang dibuat oleh manusia ini diciptakan menggunakan algoritma pemrograman yang kompleks. Ada dua komponen utama pengembangan AI, yaitu Big Data dan Computing Power. Dengan adanya AI tentu saja pekerjaan manusia menjadi lebih efektif, dan AI bisa menjadi rekan kerja manusia yang tidak kenal lelah atau sakit.
Menyoal Kekayaan Intelektual
Di tengah perkembangan teknologi digital yang sangat pesat, peran Artificial Intelligence dalam menghasilkan berbagai karya digital semakin dominan dan tak terbantahkan. Sampai satu titik kita akan tersadar bahwa bukan saja manusia yang dapat menghasilkan karya seni, AI pun bisa menciptakan karya inovatif dan kreatif versinya sendiri. Siapa sangka kalau program komputer ciptaan manusia—yang awalnya hanya sarana produksi dan promosi karya seni kreatif laiknya kertas dan kuas, suatu saat menjadi seniman virtual yang menjadi rival bangsa manusia yang menciptakannya. Bak ramalan dalam berbagai film tentang AI yang bakal menjadi realita di depan mata.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan perlindungan kekayaan intelektual atau hak cipta atas karya-karya yang dihasilkan oleh AI?
Sampai saat ini konsep utama perlindungan kekayaan intelektual adalah untuk melindungi pencipta kekayaan intelektual—yang dalam hal ini manusia. Sebab, ketentuan hukum yang berlaku saat ini menegaskan bahwa hanya manusia yang dapat menghasilkan suatu karya.
Lantas, siapa yang akan memiliki hak ekonomi sekaligus moral, atas sebuah karya yang nyata-nyata diciptakan oleh AI? Aturan apa yang harus diterapkan ketika mesin menggunakan kreasi orang lain atau bahkan AI lainnya?
World Intellectual Property Organization (WIPO) secara khusus membahas tentang AI, di mana setiap negara anggota mulai menerima tantangan baru dalam mengatur substansi kebijakan pelindungan kekayaan intelektual yang berkaitan dengan inovasi AI. Intinya, produk hukum saat ini harus mampu mengikuti perkembangan inovasi dan teknologi.
Banyak pendapat hukum menyatakan bahwa AI tidak dapat dipersamakan sebagai subjek hukum yang memiliki wewenang dan dapat bertanggung jawab atas setiap perbuatan hukum yang dilakukan. Termasuk menghasilkan suatu ciptaan dan hasil karya invotif dan kreasinya. AI tidak dapat dinyatakan sebagai inventor dan bukan pemilik paten) karena “merancang” sebuah penemuan/invention adalah aktivitas manusia yang melibatkan kontribusi terhadap konsep inventif. Karenanya hanya manusia (termasuk sekelompok manusia) yang menciptakan, merancang, mengopersikan maupun yang menguasai AI tersebut yang paling memungkinkan sebagai subjek hukum pemilik perlindungan kekayaan intelektual atas AI rancangannya.
Karenanya lingkup perlindungan semua elemen kekayaan intelektual—baik hak cipta, paten, maupun trademark—dapat di evaluasi untuk dapat memberikan ruang para perancang AI. Tuntutan ini juga sekaligus untuk memberikan perlindungan hukum pencipta AI, jika ada pihak lain yang memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan orang lain untuk menghasilkan karya seni kreatif yang diklaim sebagai haknya yang dapat menimbulkan kerugian secara ekonomi dan moralitas bagi pencipta AI.
Langkah Antisipatif
Sebagai Langkah antisipatif, alangkah baiknya jika individu atau perusahaan yang sedang merancang, membuat, atau mengembangkan sofware menggunakan teknologi AI, untuk segera mendaftar perlindungan hak cipta atas software tersebut. Sebab, melindungi sistem kecerdasan buatan terkadang lebih penting daripada produk yang dibuat oleh sistem AI itu sendiri.
Selain itu, jangan lupa untuk membuat daftar aset kekayaan intelektual dan aset yang dihasilkan AI. Khususnya untuk mengelola, melindungi, dan mengeksploitasi secara efektif dan sesuai dengan peraturan perlindungan kekayaan intelektual saat ini. Dengan demikian, sistem AI yang dihasilkan sudah memiliki perlindungan secara hukum dan bisnis.
Rekomendasi ini merupakan ikhtiar untuk melindungi hak cipta atas AI sambil menunggu evaluasi dan penyempurnaan Undang-Undang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), yang mungkin masih butuh waktu tak sebentar.
*Penulis Kiki Amarully Utami, Partner MUC Attorney at Law
*Artikel telah terbit di Kumparan.com, 8 Februari 2021
https://kumparan.com/muc-tri/artificial-intelligence-dan-perlindungan-kekayaan-intelektual-1xSs2xSpgznDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.