Advance Pricing Agreement, Banyak Manfaat Minim Peminat
Nendi Bahtiar dan Arif Azmi R.
|
Tuesday, 20 June 2023
Mungkin sulit untuk menghindar dari sengketa pajak, karena lebarnya ruang tafsir regulasi antara wajib pajak dan fiskus. Tetapi, hal itu bisa dimitigasi jika ada forum untuk menghasilkan kesepakatan, tentang nilai suatu transaksi di muka. Seperti halnya mekanisme Advance Pricing Agreement.
Penetapan harga transfer yang dipakai dalam transaksi afiliasi itu sering kali jadi objek pemeriksaan otoritas pajak. Pasalnya, pihak yang miliki transaksi antar hubungan istimewa selalu menjadi sasaran utama pemeriksaan oleh fiskus atau selalu menjadi prioritas pemeriksaan.
Jika hasil pemeriksaan menyatakan nilai transaksinya berbeda dengan harga atau laba wajarnya, selisihnya bisa dianggap sebagai pembagian dividen tidak langsung alias constructive dividend. Karena dianggap sebagai dividend, maka perusahaan akan dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26.
Padahal, korporasi sebetulnya bisa menggunakan fasilitas Advance Pricing Agreement (APA) yang sudah diatur di Undang-undang (UU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) beserta turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.
Baca Juga: Lewat PP 55/2022, Kesepakatan Harga Transfer Bisa Dilakukan Multilateral
Ragam Keuntungan APA
Lewat mekanisme APA, wajib pajak dan otoritas pajak bisa bersepakat di awal atas penetapan harga transfer yang akan dilakukan pada periode tertentu. Jaminan dari kesepakatan ini, harga transfer yang digunakan tidak akan diperiksa.
Meski dalam implementasinya, DJP pasti akan mengawasi dan mengevaluasi kesepakatan yang sudah dibuat dalam APA, apakah benar-benar dipenuhi wajib pajak atau tidak.
Keunggulan lain dari fasilitas APA di Indonesia adalah wajib pajak tidak akan dikenai biaya apa pun, alias gratis.
Bandingkan dengan pelaksanaan APA di beberapa negara seperti Jerman, Hongaria, Portugal dan Swedia yang mengenakan pungutan kepada wajib pajak yang mengajukan APA, dengan kisaran biaya antara EUR 5.000 – EUR 35.000.
Selain itu, waktu yang diperlukan dalam memproses permohonan APA juga ditetapkan, yaitu maksimal 24 bulan untuk APA Bilateral dan 22 bulan APA Unilateral. Sementara di negara-negara Eropa bisa membutuhkan waktu hingga 40 bulan.
Di Indonesia, bahkan permohonan APA bisa berlaku ke belakang atau Roll-back, berbeda dengan beberapa negara seperti di Inggris Raya yang hanya bisa digunakan pada masa pajak setelah kesepakatan APA.
Baca Juga: Indonesia Gratiskan Biaya Negosiasi Sengketa Pajak Internasional
Dasar Hukum dan Prosedur
Merujuk PP Nomor 55 Tahun 2022, ada tiga jenis APA yang berlaku. Pertama, APA yang bersifat unilateral atau kesepakatan mengenai harga transfer yang dibuat antara wajib pajak dengan DJP saja.
Kedua, ada APA bilateral yaitu perjanjian tertulis antara DJP dengan otoritas pajak di negara atau yurisdiksi mitra yang terikat perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dan melibatkan wajib pajak.
Ketiga, APA multilateral yaitu perjanjian tertulis antara DJP dengan beberapa otoritas pajak pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B atau tax treaty yang melibatkan Wajib Pajak.
APA sangat direkomendasikan khususnya untuk perusahaan yang memiliki transaksi afiliasi signifikan. Sebab dalam prosesnya, perusahaan dan otoritas pajak akan berunding untuk menetapkan metode penetapan harga transfer yang adil dan konsisten. Sehingga, akan efektif mengurangi ketidakpastian dan risiko sengketa yang bisa timbul.
Baca Juga: Sengketa Pajak Transfer Pricing, Perhatikan Ketentuan APA Berikut!
Jaminan Kerahasiaan dan Best Practice OECD
Tetapi faktanya, fasilitas ini masih jarang dipakai. Dari sekitar 1,6 juta wajib pajak yang terdaftar, hanya 62 permohonan APA saja diajukan dalam rentang 2018-2022. Padahal, APA dinilai sebagai cara efektif untuk mengurangi risiko sengketa harga transfer.
Alasan utama yang mendasari rendahnya daya tarik fasilitas APA bagi perusahaan dalam negeri, lantaran tidak adanya jaminan data yang mereka sampaikan aman.
Konteks aman di sini adalah, jika kesepakatan APA tidak tercapai, data yang terlanjur dibuka tidak akan dijadikan dasar temuan pemeriksa. Apalagi, hingga saat ini tidak ada ketentuan yang mempertegas, bahwa data yang terkait APA tidak bisa dijadikan dasar pemeriksaan.
Kekhawatiran itu, sepertinya masuk akal. Apalagi jika melihat data statistik pelaksanaan APA di Indonesia, dari 62 permohonan APA yang diterima DJP yang telah diselesaikan hanya 46 permohonan atau sekitar 75%-nya.
Baca Juga: Pahami Prinsip Kewajaran Usaha dan Konsekuensinya Dalam Transfer Pricing
Perlu dicatat, dari jumlah permohonan APA yang selesai ini, tidak diketahui secara pasti berapa permohonan yang diterima dan yang ditolak. Artinya, peluang permohonan APA tidak diterima atau tidak terjadi kesepakatan masih cukup tinggi.
Beberapa informasi atau data yang biasanya disampaikan perusahaan saat mengajukan permohonan APA di antaranya penawaran penyelesaian, alasan, pendapat, dan penilaian terkait harga transfer perusahaan.
Kekhawatiran ini sebetulnya sudah lama menjadi perhatian OECD di dalam Transfer Pricing Guidelines yang dirilisnya.
Menurut OECD, otoritas pajak seharusnya tidak memperhitungkan informasi atau data wajib pajak setelah menolak permohonan APA yang disampaikannya. Sebab, jika itu dilakukan, akan timbul masalah bagi yurisdiksi tersebut.
Berkaca Pada Tax Amnesty
Sehingga, penulis menyarankan agar terdapat penegasan mengenai penggunaan data tersebut dalam regulasi tertulis.
Terkait hal ini, kita mengambil contoh dari kebijakan pengampunan pajak atau Tax Amnesty yang berlangsung pada tahun 2016.
Dalam Pasal 11 Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak disebutkan, wajib pajak yang telah memperoleh tanda terima pengungkapan harta tidak akan dilakukan pemeriksaan.
Dengan penegasan seperti itu, penulis yakin keraguan wajib pajak untuk menggunakan fasilitas APA akan berkurang.
Hingga pada akhirnya, penetapan harga transfer di awal bisa menjadi salah satu cara untuk menekan tingginya sengketa perpajakan yang terjadi di Indonesia. Jika tren sengketa bisa dipangkas, maka biaya kepatuhan pajak di tanah air juga akan semakin rendah.
Dengan demikian, otoritas bisa lebih fokus pada memberikan layanan dan inovasi perbaikan fasilitas lainnya dibandingkan bersengketa. Sebaliknya, wajib pajak juga bisa semakin produktif dan fokus mengembangkan bisnisnya, untuk berkontribusi pada pemulihan ekonomi nasional. (ASP)
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.