Ancaman Reflasi dan Tantangan Pajak 2023
Friday, 09 December 2022
Indonesia baru saja menuntaskan perannya sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. Hajatan besar itu menghasilkan 52 poin deklarasi penyikapan terhadap berbagai persoalan ekonomi dan keamanan global, yang sejatinya selalu berulang, bermutasi, dan berpindah lokasi.
Sederet isu klasik yang menjadi bahan obrolan para pemimpin negara penguasa ekonomi global itu antara lain ketegangan geopolitik, gangguan rantai pasok, krisis pangan dan energi, lonjakan inflasi, meningkatnya risiko keuangan, hingga bahaya sistemik yang seringnya diabaikan: perubahan iklim dan korupsi.
Belum hilang limbung dan pengar akibat pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan memicu krisis baru di belahan Eropa dan efeknya merambat cepat ke berbagai belahan dunia. Pasokan gas dan gandum terganggu, harga pangan dan energi dunia melonjak, serta resesi ekonomi dan gelombang PHK semakin tak terhindarkan.
Mayoritas negara-negara Uni Eropa saat ini dihadapkan pada persoalan yang relatif sama dengan sekutunya Amerika Serikat: kontraksi ekonomi dan inflasi tinggi.
Perekonomian Inggris, misalnya, minus 0,2% pada kuartal III 2022 dan inflasinya mencapai rekor tertinggi dalam 40 tahun terakhir (10,1%). Office for Budget Responsibility (OBR) meyakini ekonomi Inggris akan terkontraksi 1,4% dan masuk jurang resesi pada tahun 2023. Bank Sentral Inggris pun dipaksa mengetatkan ikan pinggang dengan menaikkan suku bunga hingga 200% sejak awal tahun ini.
Sebelumnya, inflasi Amerika Serikat mencapai 8,6% pada Juni 2022, yang merupakan level tertinggi dalam 41 tahun. The Federal Reserve (The Fed) bahkan harus mengerek Fed Fund Rate (FFR) sebesar 200% sepanjang 2022 menjadi 3,25%. Meskipun memicu penarikan modal dari negara-negara berkembang, kebijakan Bank Sentral AS sejauh ini efektif membalikkan perekonomian Paman Sam dari negatif 0,9% pada kuartal II menjadi tumbuh 2,6% pada kuartal III 2022.
Berpijak pada kenyataan itu, beberapa lembaga keuangan internasional memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2023.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memangkas outlook pertumbuhan ekonomi global 2023 menjadi 2,2% dari prediksi sebelumnya sebesar 2,8%.
Sedangkan International Monetary Fund (IMF), merevisi turun proyeksi ekonomi dunia tahun depan menjadi 2,7% dari 2,9%. Bahkan, IMF meramalkan 31 negara yang menyumbang 43% perekonomian global terancam resesi pada tahun 2023. Artinya, hampir setengah dari kekuatan ekonomi dunia akan mengalami pertumbuhan negatif tahun depan.
Risiko Fiskal
Bank Dunia sudah mewanti-wanti potensi bahaya lanjutan dari perlambatan ekonomi dan inflasi tinggi, terutama terhadap kesehatan fiskal setiap negara.
Pertama, meningkatnya beban ekonomi masyarakat akibat kenaikan harga barang dan jasa kerap kali menuntut stimulus ekonomi guna menjaga daya beli. Alhasil, inflasi tinggi biasanya tak hanya memicu perubahan drastis kebijakan dari sisi moneter tetapi juga fiskal.
Masalahnya, hampir semua negara baru saja menggelontorkan insentif pajak besar-besaran selama pandemi Covid-19. Memperpanjang pemberian stimulus tentu bertentangan dengan fase normalisasi fiskal, yang membutuhkan lebih banyak penerimaan pajak untuk menambal defisit yang terlalu lebar.
Selain itu, inflasi juga kerap mengganggu siklus penerimaan pajak. Sebab, beban ekonomi yang meningkat akibat kenaikan harga barang dan jasa tak jarang memaksa pelaku usaha menunda pembayaran pajaknya.
Bagi perusahaan multinasional, efek inflasi biasanya memicu persoalan alokasi biaya dan ketidakpastian dalam penetapan harga transfer (transfer pricing). Mengutip International Tax Review komplikasi gangguan rantai pasok dan kenaikan harga membuat data yang terkumpul menjadi kurang dapat diandalkan dari sebelumnya.
Respons Kebijakan
Perekonomian Indonesia setidaknya masih cukup positif dengan laju pertumbuhan 5,72% di kuartal III 2022. Hanya saja, lonjakan inflasi patut diwaspadai karena sudah menembus 5,72% pada Oktober 2022, jauh dari target 3% di APBN 2022.
Indonesia setidaknya bisa belajar dari respons kebijakan sejumlah negara dalam menghadapi krisis.
Inggris, misalnya, saat dipimpin oleh Perdana Menteri Liz Truss mengumumkan pemangkasan pajak besar-besaran. Alih-alih terhindar dari ancaman resesi, kebijakan tersebut justru memicu lonjakan inflasi dan menimbulkan gejolak di pasar keuangan. Sebab, pemotongan pajak cenderung kontradiktif dengan kebijakan moneter ketat bank sentral.
Setelah tapuk kepemimpinan beralih ke Rishi Sunak, Inggris menargetkan penghematan anggaran hingga £55 miliar, antara lain dengan memangkas anggaran belanja, mengurangi insentif pajak, dan memperluas basis pemajakan.
Sejumlah negara Uni Eropa juga mulai membatasi stimulus pajak. Antara lain dengan membatasi keringanan PPN hanya untuk produk pangan dan energi terbarukan yang banyak dikonsumsi masyarakat. Tujuannya, agar daya beli masyarakat dan laju ekonomi tetap terjaga.
Belgia misalnya, menurunkan tarif PPN dari 21% menjadi 6% hanya untuk penggunaan panel surya, pompa panas, dan pemanas air tenaga surya. Sedangkan Polandia membebaskan PPN hanya untuk konsumsi bahan makanan pokok.
Kemudian, Luxemburg membatasi pemangkasan tarif PPN dari 17% menjadi 16% hanya untuk satu tahun atau hingga 2023. Sementara Bulgaria, membebaskan PPN hanya untuk produk roti sampai 1 Juli 2023.
Secara umum, Uni Eropa menghindari kebijakan pemotongan PPN atas bensin dan solar, meski keduanya merupakan pemicu inflasi. Alasannya politis, kebijakan itu dianggap hanya akan menguntungkan Rusia sebagai biang kerok krisis energi.
Tantangan Indonesia
Kembali ke dalam negeri, tahun 2023 merupakan tenggat waktu normalisasi defisit fiskal kembali ke 3% PDB. Selain itu, mulai tahun depan Bank Indonesia (BI) tidak lagi memberikan bantuan pembiayaan APBN melalui skema burden sharing (membeli surat utang negara).
Untuk itu, pemerintah harus bisa mengoptimalkan peran APBN sebagai peredam guncangan (shock absorber) resesi global. Yakni dengan mengoptimalkan penerimaan pajak, mengurangi ketergantungan atas utang, dan memprioritaskan anggaran belanja hanya untuk kebutuhan yang mendesak.
Untuk meningkatkan penerimaan, perluasan basis pajak perlu didorong. Terutama, dengan mengoptimalkan pengenaan pajak di sektor-sektor ekonomi yang selama ini belum terjamah sistem (underground economy).
Penarikan pajak dari kegiatan ekonomi digital perlu dimasifkan, seperti pemungutan PPN atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), transaksi mata uang kripto, hingga industri keuangan berbasis teknologi (Fintech).
Bicara stimulus ekonomi, insentif pajak sejatinya tetap diperlukan. Namun, penyalurannya harus selektif dan lebih terukur. Jangan sampai temuan BPK—terkait pemberian insentif yang salah sasaran di masa pandemi—terulang kembali. Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan dan sektor ekonomi yang mulai pulih harus dikeluarkan dari daftar penerima insentif pajak.
Pemerintah juga dituntut untuk meningkatkan kepatuhan pajak melalui cara-cara yang proporsional, tanpa menimbulkan kegaduhan dan kehawatiran pembayar pajak. Inkonsistensi penegakan hukum yang kerap menjadi sorotan wajib pajak perlu diperhatikan dan diperbaiki.
Di sisi lain, wajib pajak perlu mengurangi ketergantungan terhadap insentif dan bersiap jika stimulus dikurangi atau dicabut. Kepatuhan juga perlu ditingkatkan dengan memastikan tidak ada ketentuan pajak yang dilanggar. Hal itu penting guna meminimalkan risiko dan menekan biaya pajak di kemudian hari.
Ingat, 2023 bukan tahun yang mudah. Pemerintah dan wajib pajak jangan sampai “jatuh tertimpa tangga”. Sudah terdampak krisis, terjerat utang, pajak bermasalah pula. (AGS)
*Penulis: Asep M. Zatnika, Researcher MUC Tax Research Institute
**Artikel telah terbit di Kumparan, 8 Desember 2022
Kumparan
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.