Menyoal Perluasan Basis Pajak: Penurunan Treshold PPN vs PPh Final UMKM
Karsino Miarso,
Monday, 13 September 2021
Penerimaan pajak Indonesia pada 2021 ditargetkan Rp 1.229,6 triliun dan pada 2022 direncanakan Rp 1.262,9 triliun. Realisasinya, sampai dengan Juli 2021, penerimaan perpajakan baru 52 persen atau Rp 647,7 triliun. Besar kemungkinan target kembali meleset seperti tahun-tahun sebelumnya (shortfall).
Banyak faktor menyebabkan penerimaan pajak selalu ”jauh panggang dari api”. Faktor terbesar yang memengaruhi pencapaian penerimaan pajak dalam dua tahun terakhir tentu saja pandemi virus corona yang memicu krisis multidimensi (kesehatan, sosial, dan ekonomi).
Namun, dengan atau tanpa krisis, shortfall pajak sebenarnya merupakan masalah klasik pengelolaan anggaran negara sejak puluhan tahun silam.
Pertumbuhan ekonomi dan kondisi perdagangan global biasanya menjadi indikator makro yang secara alamiah memengaruhi setoran pajak setiap negara.
Dalam kasus Indonesia, bangsa ini akan selalu dihadapkan pada persoalan rendahnya kepatuhan dan basis pajak. Indikatornya, rasio penerimaan pajak (tax ratio) dan elastisitas penerimaan pajak (tax bouyancy ) yang bukannya membaik malah cenderung menurun dalam satu dekade terakhir.
Fenomena ini menunjukkan bahwa elastisitas dan sensitifitas penerimaan pajak terhadap kondisi perekonomian semakin berkurang.
Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP), bukan berarti tanpa upaya mengatasi berbagai persoalan tersebut. Serangkaian reformasi pajak yang berjilid-jilid adalah bukti bahwa pemerintah tidak tinggal diam.
Reformasi itu mulai dari meningkatkan kualitas pelayanan dan pemeriksaan, memperbaiki sistem administrasi, hingga memberikan beragam insentif dan bahkan pengampunan (dari sunset policy hingga tax amnesty).
Hasilnya positif. Jumlah pembayar pajak bertambah, tingkat kepatuhan meningkat, dan nominal penerimaan negara semakin bertambah setiap tahunnya. Hanya saja, semua itu belum cukup efektif mengatasi persoalan penerimaan pajak yang semakin jauh dari target.
Dalam rangka mengendalikan pandemi Covid-19, pemerintah menggelontorkan berbagai insentif fiskal dan bantuan sosial. Kebijakan itu patut diapresiasi meskipun menambah berat beban pencapaian target penerimaan pajak tahun ini dan mungkin untuk beberapa tahun ke depan.
Menyoal threshold PPN
Bank Dunia dalam laporannya Indonesia Economics Prospect edisi Juni 2021 menawarkan sejumlah resep untuk mengatasi ”komorbid” perpajakan Indonesia.
Salah satu tawaran resep itu adalah pemangkasan threshold peredaran usaha pengusaha kena pajak pertambahan nilai (PPN), yang selama ini dipatok Rp 4,8 miliar setahun.
Secara umum, pengusaha kena pajak (PKP) dengan omzet lebih dari Rp 4,8 miliar setahun terkena kewajiban membayar PPN 10 persen untuk transaksi di dalam negeri, sessuai peraturan perundangan yang sekarang berlaku.
Ketentuan ini mengatur juga bahwa pengusaha dengan omzet sampai Rp 4,8 miliar masih digolongkan sebagai Pengusaha Kecil yang tidak dibebani kewajiban untuk memungut dan menyetor PPN atas penjualannya.
Baca juga: Mari Kawal Kebijakan PPN
Threshold tersebut selama ini juga dijadikan dasar untuk mendefinisikan kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh) bersifat final sebesar 0,5 persen.
Bank dunia menilai tingginya batasan omzet tersebut merupakan salah satu penghambat perluasan basis pajak dan mempersempit ruang pemajakan di Indonesia.
Pandangan tersebut cukup masuk akal, terlebih di tengah upaya pemerintah menggali potensi penerimaan dari sektor-sektor ekonomi yang selama ini belum terjamah sistem perpajakan (underground economy).
Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, misalnya Uni Eropa yang sejak juli 2021 mematok threshold PPN 10.000 euro—setara sekitar Rp 170 juta menggunakan kurs hari ini—, angka Rp 4,8 miliar itu dinilai terlalu tinggi.
Namun, ada dilema apabila pemangkasan treshold dilakukan begitu saja, terutama ketika membahas geliat UMKM di Indonesia.
Keadilan Pajak UMKM
Salah satu sektor ekonomi yang tengah naik daun dan jadi sasaran pemajakan adalah industri digital. Hal itu ditandai dengan semakin maraknya transaksi jual-beli secara elektronik—dikenal luas dengan istilah jualan online—, yang kebanyakan pelakunya adalah UMKM.
Jenis Usaha dan kontribusinya terhadap pendapatan domestik bruto (PDB), termasuk serapan tenaga kerja dan jumlah per jenis usaha.
Meskipun terlihat rapuh, UMKM merupakan sektor usaha penyumbang terbesar PDB nasional (lebih dari 60 persen) dan menjadi kunci pemulihan ekonomi Indonesia ketika krisis. Tentu ini menggiurkan juga menjadi sasaran perluasan pajak.
Namun, seperti kita tahu, UMKM ibarat bayi yang sedang belajar bertumbuh-kembang. Dia dapat melaju pesat atau sebaliknya berisiko terjatuh dan terjerembab jika tidak ada yang menyokong dan mendampingi.
Karenanya, dukungan diperlukan untuk membantu tumbuh-kembang UMKM nasional—bukan perusahaan rintisan (start-up) global.
Selama ini pengusaha beromzet Rp 4,8 miliar setahun langsung dikenakan PPh final 0,5 persen dari peredaran usaha, meskipun laba usahanya bisa jadi masih di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Padahal, kalau kita bicara threshold atau omzet di bawah Rp 4,8 miliar sejatinya lebih menyasar pada pembayar pajak orang pribadi.
Karenanya, alangkah baiknya jika pemangkasan threshold PPN diimbangi dengan kebijakan lain yang lebih mencerminkan keadilan agar tidak mematikan UMKM. Sejumlah kebijakan bisa dilakukan untuk itu.
Pertama, tarif efektif PPN untuk UMKM seyogyanya dibuat sekitar 0,5 persen atau 1 persen dari harga jual. Ini akan sangat membantu meringankan beban ekonomi rumah tangga dan pelaku UMKM.
Kedua, tidak perlu lagi ada kebijakan PPh final 0,5 persen untuk UMKM, mengingat penerapannya selama ini tidak mempertimbangkan PTKP.
Logikanya, kebanyakan pelaku UMKM di Indonesia adalah orang pribadi yang penghasilan netto-nya di bawah PTKP.
Adapun pelaku usaha non-UMKM dengan peredaran bruto di atas threshold tetap dikenakan PPh maupun PPN bertarif normal, serta wajib melakukan pembukuan. Artinya, PPh dikenakan atas laba bersih, sedangkan PPN menggunakan mekanisme normal yang memperhitungkan pajak keluaran dan pajak masukan.
Bagaimana dengan pelaku UMKM berbadan hukum yang bakal ikut menikmati bebas PPh final?
Sebenarnya itu masih cukup fair. Anggap saja itu sebagai insentif pajak yang tergantikan dengan setoran PPN.
Masih ada ruang bagi pemerintah untuk mempertimbangkannya mengingat saat ini pembahasan revisi undang-undang perpajakan menggunakan skema omnibus law masih berlangsung di parlemen.
Intinya, perluasan basis pajak perlu didorong melalui kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi, serta penyederhanaan sistem perpajakan, tetapi juga tetap menjunjung nilai keadilan.
Upaya perluasan basis pajak seharusnya lebih menyasar ke aktivitas dan transaksi ekonomi di sektor-sektor yang selama ini belum masuk radar sistem perpajakan (shadow economy).
Lalu, yang tidak kalah penting adalah kepastian hukum, kemudahan perizinan, jaminan keamanan, dan keberlangsungan usaha. Tidak mudah memang memenuhi semua harapan tersebut, tetapi itu juga bukan hal yang mustahil.
**)Versi singkat tulisan ini telah terbit di Kompas.com, 8 September 2021
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.