Startup Sadar Pajak Bukti Sumbangsih Milenial Terhadap Bangsa
,
,
Tuesday, 01 December 2020
Gadget, media sosial, dan secangkir kopi buih. Gaya hidup selain travel dan fashion yang kerap melekat pada jati diri milenial. Generasi muda yang tengah mendominasi peradaban dunia, terutama di Indonesia. Tiga hal ini juga kerap dikaitkan dengan fenomena bisnis rintisan yang tengah naik daun dan menjamur.
Bahkan, gaya hidup milenial dan fenomena bisnis rintisan diangkat ke sebuah drama Korea berjudul Startup dan dikomersialkan melalui layanan streaming. Adalah Nam Do San--diperankan oleh aktor ternama Nam Joo Hyuk--yang jatuh bangun dalam merintis usahanya. Perusahaannya, Samsan Tech, akhirnya menuai sukses setelah lolos dalam kontes startup terbaik yang diadakan modal ventura bernama Sandbox.
Itu cerita fiksi di Korea yang hype hingga ke Indonesia. Lantas, bagaimana realita startup di Indonesia?
Sebelumnya, kita perlu mempertegas dahulu definisi startup atau perusahaan rintisan. Dalam buku Startup Playbook (2012), David Kidder mendefinisikan startup sebagai sebuah bisnis baru dengan ide original yang berfokus pada pertumbuhan tinggi, memiliki risiko atau keuntungan yang dapat diukur, serta mampu memimpin pasar. Sementara itu, programer cum penulis Paul Graham di dalam lamannya menyebutkan bahwa startup adalah perusahaan yang didesain untuk berkembang dengan cepat.
Tidak semua perusahaan yang baru dirintis bisa dikatakan sebagai startup. Meskipun tidak spesifik mengaitkan dengan bidang industri tertentu, namun startup cenderung menggunakan pendekatan teknologi untuk menggenjot bisnisnya. Kata kuncinya adalah inovasi.
Jumlah startup di Indonesia, yang tercatat dalam laman Startup Ranking, disinyalir mencapai 2.195 perusahaan. Indonesia menempati urutan kelima dengan jumlah perusahaan rintisan terbanyak di dunia.
Meskipun menang jumlah tetapi dari sisi nilai perusahaan startup Indonesia termasuk yang ketinggalan. Buktinya, hanya satu perusahaan dari ribuan startup yang menyandang gelar decacorn dan hanya lima yang unicorn. Itupun sebagian besar mengandalkan suntikan modal dari investor asing.
Decacorn adalah predikat bagi startup yang memiliki valuasi lebih dari US$10 miliar. Sedangkan unicorn merupakan startup dengan valuasi nilai perusahaan di atas US$1 miliar.
Menyoal Dukungan Pemerintah
Melihat kondisi startup nasional yang kalah bersaing, Pemerintah tidak tinggal diam, dan memang begitu seharusnya. Berbagai upaya dilakukan mulai dari gonta-ganti menteri dan menunjuk kader partai politik sebagai pejabat terkait, hingga mengeluarkan berbagai kebijakan dan insentif fiskal. Poin terakhir--terkait kebijakan dan insentif, merupakan dukungan paling relevan yang dibutuhkan pelaku usaha pada umumnya, khususnya dalam mendukung Gerakan 1000 Start-Up Digital.
Sejumlah kebijakan fiskal yang mendukung ekosistem startup nasional masuk dalam paket Omnibus Law. Meski kemunculan Omnibus Law kontroversi di dalam negeri, tetapi bagi investor asing maupun domestik sebagian besar substansinya cukup memberi angin segar bagi dunia usaha. Mulai dari menurunkan tarif PPh badan, membebaskan dividen dari pajak, hingga merelaksasi ketentuan tax holiday.
Tax holiday merupakan fasilitas yang memberikan pengurangan hingga pembebasan pajak penghasilan bagi penanam modal di sektor usaha tertentu hingga 20 tahun dan dapat diperpanjang. Sikap murah hati pemerintah ini sejatinya merupakan kebijakan yang paling tidak konsisten sejak pertama kali diterapkan di Indonesia pada 1967. Di awal-awal Orde Baru, kebijakan tax holiday hanya berlangsung tiga tahun sebelum dicabut pada 1970.
Rezim tax holiday kemudian hidup kembali pada tahun 1996 lewat kebijakan PPh badan yang ditanggung pemerintah selama 10 tahun. Fasilitas ini kembali dicabut pada tahun 2000, sebelum kemudian dihidupkan kembali pada 2007 di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sikap tarik-ulur pemerintah juga tercermin dari rendahnya pemanfaatan tax holiday di awal-awal reinkarnasi yang terakhir. Entah karena fasilitasnya tidak menarik atau memang persyaratan untuk mendapatkan tax holiday terlampau rumit. Kalau kita ingat di medio 2011, praktis hanya 3-5 perusahan yang benar-benar mendapatkan fasilitas ini, setelah berbulan-bulan hanya menjadi nominasi.
Adalah peringkat Ease of Doing Bussiness (EoDB) Indonesia yang melorot menjadi pemicu Pemerintahan Joko Widodo untuk merelaksasi kriteria industri pioner dan persyaratan tax holiday. Demi meningkatkan (peringkat) kemudahan berusaha Indonesia, pemerintah menurunkan batas minimal modal yang ditanam dan menambah jumlah bidang usaha yang masuk kategori industri pioner. Bahkan, Menteri Keuangan--yang selama ini dikenal sangat hati-hati memberikan fasilitas--dipaksa untuk menyerahkan otoritas pemberian tax holiday ke BKPM.
Baca juga: Ranking Kemudahan Berusaha Indonesia Turun
Industri pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Terdapat 18 industri yang tergolong sebagai industri pionir. Salah satunya adalah industri ekonomi digital, yang mencakup aktivitas pengolahan data, hosting, dan kegiatan yang berhubungan dengan itu.
Saat ini, hanya dengan modal baru minimal Rp100 miliar, investor berbadan hukum Indonesia bisa mengajukan permohonan tax holiday. Tentu dengan memenuhi kriteria industri pioner dan persyaratan standar lainnya. Seperti memenuhi ketentuan debt to equity ratio secara perpajakan (4:1), merealisasikan rencana investasi baru paling lambat satu tahun setelah permohonan dikabulkan; dan melampirkan surat keterangan fiskal seluruh pemegang saham dalam akta pendirian atau akta perubahan terakhir.
Kembali soal daya saing, saat ini merupakan momentum bagi startup lokal untuk bisa memanfaatkan fasilitas tax holiday. Perintis usaha dapat mendapatkan pembebasan PPh Badan jika modal yang ditanam mencapai Rp500 miliar atau lebih. Kalaupun tidak sampai segitu, selama modal awal di atas Rp11 miliar, para startup bisa mendapatkan pengurangan PPh Badan hingga 50% dari jumlah pajak terutang. Soal jangka waktu fasilitas menyesuaikan dengan jumlah minimal modal yang ditanam, yakni paling lama 20 tahun untuk permodalan minimal Rp30 triliun atau lebih atau maksima lima tahun untuk kisaran modal Rp100 miliar hingga Rp1 triliun. Jika jangka waktu berakhir, fasilitas dapat diperpanjang--seandainya tidak ada perubahan ketentuan (rezim) tax holiday.
Konsekuensi Pilihan
Hadirnya tax holiday format baru sedikit memberikan harapan bagi perusahaan rintisan. Karena kalau permohonan tax holiday dikabulkan, startup dapat menghemat beban pajak secara siginifikan sehingga sangat membantu cash flow perusahaan dalam mencapai valuasi tinggi yang diharapkan. Terlebih, biaya-biaya terkait 3M (menagih, memperoleh, dan memelihara pendapatan) dapat dibebankan secara fiskal, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang PPh.
Namun, yang perlu perhatikan dari fasilitas ini adalah seberapa besar pengurangan pajak dapat dimanfaatkan. Seperti kita ketahui, rata-rata perusahaan rintisan (termasuk startup digital) memiliki strategi usaha untuk mencapai breakeven atau bahkan laba sekitar 5-10 tahun, bisa lebih. Selama jangka waktu tersebut, perusahaan rintisan umumnya melakukan penetrasi pasar dengan “membakar uang’. Tujuannya adalah untuk memperoleh pangsa pasar yang signifkan di tengah persaingan yang sengit dengan perusahaan-perusahaan well-established.
Sejatinya, fasilitas pengurangan PPh Badan baru mulai dapat dimanfaatkan oleh perusahaan sejak mulai berproduksi komersial atau saat seluruh rencana penanaman modal baru telah terealisasi. Misalnya, laba tercapa pada tahun kelima maka sejatinya tax holiday baru bermanfaat di sisa tahun berikutnya. Sebab, di tahun pertama hingga keempat belum ada komersialisasi yang dapat mendatangkan laba.
Alternatifnya, bagi perusahaan rintisan yang tidak memanfaatkan tax holiday dapat memanfaatkan fasilitas PPh final dengan peredaran bruto tertentu yang tarifnya sebesar 0,5% dari peredaran bruto. Syaratnya, nilai peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar setahun. Jangka waktu pengenaan PPh final ini paling lama empat tahun bagi wajib pajak badan selain Perseroan Terbatas (PT) dan paling lama tiga tahun bagi wajib pajak berstatus PT. Akan tetapi, biaya 3M yang dikeluarkan oleh wajib pajak tidak dapat dibebankan dikarenakan PPh yang dibayarkan bersifat final. Selain itu, jangka waktu yang relatif sebentar juga menjadi catatan dalam pemanfaatan fasilitas ini.
Baca juga: Menjaga Optimisme dengan Tax Holiday
Startup Bijak Taat Pajak
Terlepas apapun fasilitas yang akan dimanfaatkan, satu yang pasti startup yang dibidani para milenial saat ini wajib tunduk pada ketentuan perpajakan yang berlaku. Sebagai wajib pajak tentu kita semua sudah paham dan patuh memenuhi kewajiban perpajakan yang melekat dalam keseharian: PPh, PPN & PPnBM, PBB, bea masuk, bea keluar, cukai, pajak daerah dan retribusi lainnya.
Berkaitan dengan startup berbasis digital, penerapan pajak atas transaksi elektronik (termasuk PPh dan PPN) dalam Undang-Undang Omnibus Law jilid I harus diperhatikan. Efektif per 1 Juli 2020, produk digital yang dikomersialkan di dalam negeri dikenakan PPN 10%. Mulai dari pengembang media sosial, penyedia konten digital hingga transaksi perdagangan barang dan jasa melalui e-commerce tidak bisa mengelak dari kewajiban memungut dan menyetorkan PPN. Sementara yang terkait dengan PPh dan pajak transaksi elektronik tampaknya masih harus menunggu konsensus global, meski ketentuannya sudah diundangkan.
Baca juga: Upaya Pemerintah Optimalkan Penerimaan dari Sektor Digital Beserta Tantangannya
Intinya, sadar atau tidak sadar, pelaku startup yang rata-rata masuk kategori milenial merupakan penyumbang pajak yang tidak sedikit di era digital saat ini.
Jadi kalau ada yang mempertanyakan “apa sumbangsih milenial terhadap bangsa dan negara?” Startup adalah bukti sumbangsih milenial yang solutif, inovatif, dan sadar pajak.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.