OECD: Insentif Pajak Berpotensi Disalahgunakan
Friday, 05 June 2020
Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi atau Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menilai pemberian sejumlah insentif pajak pada masa pendemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) berpotensi disalahgunakan. Penilaian tersebut tertuang dalam laporan OECD berjudul Tax Administration: Privacy, Disclosure and Fraud Risk Related to Covid-19, yang diunggah pada laman resminya tanggal 26 Mei 2020.
Insentif pajak merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh sejumlah negara dalam memitigasi dampak penyebaran Covid-19, termasuk Indonesia. Beberapa insentif pajak yang sudah dikeluarkan pemerintah Indonesia di antaranya, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), pembebasan PPh Pasal 22, pengurangan 30% angsuran PPh Pasal 25, dan percepatan restitusi PPN.
OECD mencontohkan, pemberian insentif pajak yang diberikan sehubungan dengan jumlah tenaga kerja menjadi celah bagi sejumlah perusahaan untuk membuat data fiktif terkait jumlah karyawan dan besaran upah yang diberikan, misalnya dengan membuat perusahaan baru. Modus-modus seperti itu berpotensi lolos dari pemeriksaan yang dilakukan otoritas pajak karena kendornya pengawasan akibat pola kerja jarak jauh yang dilakukan fiskus.
Baca Juga: Wabah Covid-19 Meluas, Penerima Insentif Pajak Ditambah Hingga UMKM
Selain itu pendemi juga berpotensi menimbulkan tax fraud oleh pelaku usaha, dengan melakukan transaksi tanpa memberikan tanda terima sehingga bisa terhindar dari kewajiban membayar PPN. Termasuk juga risiko penghindaran pajak yang dilakukan dengan skema pembayaran gaji karyawan secara tunai, sehingga terhindar dari kewajiban memotong pajak.
Selain risiko penyalahgunaan fasilitas insentif dan penghindaran pajak, laporan ini juga memuat risiko-risiko lainnya yang ditimbulkan pendemi Covid-19. Seperti, risiko sistem keamanan data yang diakibatkan pola kerja jarak jauh. Kebijakan sejumlah negara untuk memberlakukan work from home (WFH) membuat pengiriman data dilakukan secara jarak jauh menggunakan teknologi informasi, yang memungkinkan untuk diakses pihak yang tidak berkepentingan.
Selain itu, WFH juga bisa berdampak buruk terhadap psikologis pegawai pajak, sehingga mempengaruhi kinerjanya dalam memberikan layanan administrasi perpajakan. (ASP)