Exclusive Interview
DJP: Jangan Main-Main dengan Transfer Pricing!

Wednesday, 25 January 2017

DJP: Jangan Main-Main dengan Transfer Pricing!

Lebih dari 80 negara di dunia berkomitmen untuk menerapkan Country by Country Report (CBCR). Sejauh ini sudah lebih dari 50 negara yang mengadopsi, dimana  Indonesia merupakan salah satunya. Dengan terbitnya PMK Nomor 213 Tahun 2016, ketentuan dokumentasi transfer pricing (TP Doc) bagi grup usaha yang melakukan transaksi afiliasi di Indonesia mengalami perubahan signifikan. Mulai tahun pajak 2016, tak hanya local file yang wajib disiapkan oleh grup usaha, tetapi juga master file dan CBCR harus segera disiapkan dalam waktu yang relatif pendek. 

Guna mengetahui lebih jelas mengenai kebijakan ini, MUC Tax Guide mewawancarai Achmad Amin, Kasubdit Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan International DJP.  Berikut petikan wawancaranya: 

Apa latar belakang dari kebijakan penyampaian Master File dan CBCR? 

Pada 2013, G20 Leaders mengendorse Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan dan mempromosikan transparansi internasional untuk menangani penghindaran pajak. OECD berdasarkan endorsement dari G20 tersebut mencetuskan BEPS project atau BEPS action plan, yang pesannya adalah agar negara-negara anggota G20 dan negara-negara lain di dunia secara bersama-sama dan dalam standar yang sama serta dalam level of playing field yang sama menangani BEPS dalam rangka memobilisasi sumber daya domestik. BEPS action plan ini terutama ditujukan untuk menangani double non taxation yang tidak fair. Intinya, jangan sampai tax planning mengakibatkan Wajib Pajak (WP) tidak dapat dipajaki di mana pun. Karena tidak fair, Negara tidak dapat apa-apa, sementara keuntungan sepenuhnya jadi milik WP. Itu kan hazard. Dari sisi moral maupun dari sisi ketentuan, seharusnya tidak bisa dibenarkan. 

Misalnya, perusahaan di Indonesia bayar bunga atau jasa manajemen ke perusahaan afiliasinya di negara lain. Bunga atau jasa manajemen yang dibayar mengurangi penghasilan dong. Karena sebagai biaya, berarti jadi pengurang pajak di Indonesia. Tapi di negara lain yang tidak mengenakan pajak atas penghasilan dari luar negeri, itu tidak menjadi objek pajak. Jadi tidak kena pajak dimana-mana dan yang diuntungkan hanya WP, tidak ada kontribusi apapun untuk Negara dan dunia.

Lalu lahirlah 15 action plan dalam BEPS project, yang salah satunya  di action 13 adalah CBCR. Indonesia sebagai negara G20 dan BEPS Assosiate tentu akan berusaha untuk berkomitmen menerapkan CbCR tersebut sebagai bagian dari minimum standard atas BEPS action plan yang harus diterapkan. Begitu kita sudah komitmen ikut bertukar CBCR, maka format dan threshold-nya harus sama, tapi waktu penyampaian dan prosedurnya bisa berbeda-beda menyesuaikan dengan ketentuan domestik di masing-masing negara. Namun, yang wajib membuat CBCR tidak semua perusahaan, hanya yang memenuhi kriteria tertentu. Yakni, perusahaan induk yang nilai omset konsolidasinya lebih dari 750 juta Euro atau sekitar Rp11 triliun. 

Bagaimana penerapan CBCR di Indonesia?

Pemerintah Indonesia telah menerbitkan PMK Nomor 213 Tahun 2016 untuk mengatur kewajiban penyelenggaraan Dokumen Penetapan Harga Transfer. Itu merupakan paket dokumentasi transfer pricing yang berisikan dokumen induk (Master file), dokumen lokal (local file), dan laporan per Negara (CBCR). Ini semua harus dibuat dalam format Bahasa Indonesia. 

Isi dari CBCR mencakup soal laba grup di tiap negara, pajak yang dibayarkan, dan jumlah karyawan, sehingga memberikan informasi aktivitas grup atau fungsi apa saja yang dijalani setiap grup usaha di masing-masing negara. Dan ini akan ditransmisi secara otomatis, tapi hanya dengan negara yang sama-sama punya komitmen dan menandatangani perjanjian pertukaran CBC baik bilateral maupun multilateral. Perjanjian pertukaran CBC secara multilateral namanya CBC Multilateral Competent Authority Agreement (CBC-MCAA). 

Apa urgensi dari CBCR?

Secara tidak langsung kami ingin memberikan semacam alert: “Anda tidak bisa main-main lagi dengan skema grup!”. Sudah ada mekanisme yang mengawasi sehingga fairness akan terjadi. Itu yang pertama. 

Kedua, kami juga mensyaratkan kertas kerja dalam CBCR. Tujuannya supaya WP tidak asal-asalan membuat  CBCR, sumbernya harus jelas. Penggunaan CBCR ini dibatasi hanya untuk risk management, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar koreksi audit. Nantinya, yang dipertukarkan ke negara lain hanya CBCR form. Sedangkan kertas kerja tidak.  

Intinya segala macam unfairness, tax avoidance, itu bisa dimitigasi dengan baik dari awal.  Jangan sampai Wajib Pajak dibiarkan tidak arms length dan kemudian diberikan punishment. Seharusnya kan dari awal dikasih tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh Wajib Pajak. Jangan yang tidak patuh dibiarkan dan kemudian baru dikenakan sanksi. 

Artinya pendekatannya DJP ke Wajib Pajak berubah?

Jadi memang pesan yang kami tuangkan dalam PMK 213 adalah kami ingin Wajib Pajak menerapkan Arms Length Principle (ALP) sejak Wajib Pajak men-set-up harga. Pendekatan ini dikenal dengan nama price setting approach atau ex-ante basis. Berdasarkan PMK ini, Wajib Pajak diharapkan tidak lagi menerapkan  ex-post basis sehingga akan lebih fair baik dari sisi Wajib Pajak maupun DJP. Jadi pada saat price setting dia harus setup berdasarkan arms length principle, prinsip kewajaran.  Misalnya, WP menetapkan laba = total cost + 5%. Dari mana angka 5% itu. Ini yang harus didasarkan pada ALP dan didokumentasikan dalam TP Documentation (Master File dan Local File).

Pesan lebih besar, kami ingin supaya transaksi yang harganya sudah ditentukan sesuai dengan ALP tidak menjadi potensi koreksi. Tidak fair kalau transaksi afiliasi  sudah arms length sejak awal tahun, tapi tetap dikoreksi. Sebaliknya, Wajib Pajak yang tidak melakukan setting price berdasarkan ALP tentu akan berisiko untuk dilakukan koreksi oleh pemeriksa. Itu tidak akan terjadi kalau WP menggunakan price setting berdasarkan ALP. Jikapun realisasi pada akhir tahun terdapat deviasi dari price setting yang ditetapkan di awal, Wajib Pajak dipersilakan untuk menjelaskannya di dalam TP Doc. Sehingga semuanya fair dan transparan. 

Bukankah transfer pricing sesuatu yang normal?

Transfer pricing merupakan penetapan harga transaksi antara pihak yang terafiliasi. Penentuan harga jual, harga beli, nilai royalti, nilai jasa, dan apapun bentuknya, itu transfer pricing sepanjang dilakukan dengan afiliasi. Sampai sini tidak ada masalah karena hakikatnya transaksi afiliasi adalah sesuatu yang normal dan tidak dilarang secara hukum. Hanya pada saat terjadi transfer pricing abuse, baru ada masalah. Abuse what for? untuk mengecilkan pajak di Indonesia. 

Jadi yang masalah bukan transfer pricing, tapi transfer pricing abuse. Kalau tax planning ditujukan untuk penghindaran pajak, nah itu baru bermasalah. Kalau dia tidak dilakukan secara arms length, secara wajar, maka DJP punya kewenangan untuk melakukan koreksi. 

Masa bisnisnya di Indonesia, dapat sumber daya energi dan buruh murah, sampahnya banyak di Indonesia, truknya banyak menghancurkan jalan, tapi labanya dipindahkan ke luar negeri. Pada saat dia mentransfer ini lah yang bermasalah. Bukan berarti transfer pricing tidak boleh. Transfer pricing boleh sepanjang wajar (ALP).

Harus diingat bahwa CBCR ini tidak bisa digunakan untuk mengoreksi transfer pricing. Penggunaanya hanya untuk risk analysis. Jadi hanya untuk melakukan analisis risiko atas transfer pricing sehingga bisa melihat dimana saja risiko transfer pricing sebuah perusahaan. Hasil risk analysis akan memberikan rekomendasi atau petunjuk bahwa perusahaan ini layak diperiksa atau didalami lebih lanjut transfer pricingnya. 

Ini sebagai diagnostic tool untuk melihat risiko transfer pricing. Kalau memang tidak ada risiko, ya tidak akan dijadikan prioritas utama pemeriksaan transfer pricing. Kalau ada risiko luar biasa, mari teliti mana transaksi yang paling optimal untuk dilakukan pemeriksaan. 

Apakah tidak malah memberatkan WP? 

Justru ini akan memudahkan WP, meng-encourage WP untuk patuh menerapkan ALP. Yang patuh akan keliatan patuh, yang tak patuh akan kelihatan tak patuh. Jadi kita tempatkan TP doc pada posisi yang fair untuk bisa memberikan perlakuan yang adil. Untuk yang patuh akan mendapatkan benefit, yang tidak patuh akan mendapatkan disinsetif dalam bentuk punishment. 

Sanksinya apa bagi WP yang tidak patuh dalam pelaporan Dokumentasi Transfer pricing?

Selama ini, sanksi yang diterapkan atas ketidakpatuhan Wajib Pajak menerapkan ALP atau tidak membuat TP Doc umumnya sama yaitu 2% per bulan sesuai Pasal 13 ayat (2) UU KUP. 

Kalau sekarang beda. Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan Dokumen Transfer pricing, maka sanksinya sesuai dengan Pasal 13 ayat 3 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), yakni 50% dari pajak yang tidak atau kurang bayar. 

Sedangkan bagi WP yang telat atau hingga batas waktu yang sudah ditentukan belum juga menyampaikan dokumentasi transfer pricing, maka menjadi diskresi pemeriksa apakat TP doc-nya dipertimbangkan atau tidak. Istilahnya ditetapkan secara jabatan. Apabila dites tidak wajar, maka pemeriksa akan mengenakan sanksi 2% per bulan.

Sementara bagi WP yang memanipulasi dokumen transfer pricing berdasarkan informasi yang tidak benar, maka bisa kena sanksi pidana. Sehingga di sini kita tempatkan sesuatu secara adil. Kalau WP tidak membuat TP doc, maka diperlakukan sama seperti WP yang tidak melaksanakan kewajiban pembukuan. 

Bagaimana jika informasi yang disampaikan di Master File tidak lengkap karena tidak mendapatkan data dari entitas induknya?

Ini seperti ketentuan mengenai pembukuan. Pembukuan disebutkan, sekurangnya-sekurangnya harus mencakup laporan keuangan, rugi-laba, perubahan ekuitas, dan sebagainya. Kalau perusahaan membuat laporan keuangan yang tidak memenuhi ketentuan, ya silahkan saja, tapi kan ada konsekuensi hukumnya yaitu tidak memenuhi kewajiban pembukuan. Nanti tinggal pemeriksa menggunakan diskresinya. Apakah mau dipertimbangkan atau tidak. Artinya pemenuhan kewajiban TP Doc sama halnya dengan pemenuhan kewajiban pembukuan, kami serahkan semuanya ke WP sesuai dengan prinsip self assestment.

Kami berharap perusahaan-perusahaan punya system dokumentasi transfer pricing yang terpola dan tersistem dengan baik. Semua sudah dipersiapakan sejak awal dan available pada waktunya sehingga tidak kebingungan ketika diminta oleh pemeriksa. 



Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.