Opinion

Persempit Ruang Sembunyi

Karsino Miarso | Tuesday, 21 January 2020

Persempit Ruang Sembunyi

Rasio pajak (tax ratio) Indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik. Salah satu sebabnya shadow economy. Besarnya porsi tenaga kerja informal yang mencapai 57,6 persen berdampak pada tingginya penghindaran pajak serta minimnya basis pajak. Data itu diungkapkan laporan Revenue Statistic in Asian and Pasific Economies 1990–2017 yang dipublikasikan tahun 2019 oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Pasific Islands Tax Administrators Association (PITAA), Pasific Community (SPC), dan dukungan dari lembaga keuangan Uni Eropa serta pemerintah Jepang.

International Monetery Fund (IMF) mempunyai beberapa terminologi untuk shadow economy yaitu, underground economy, hidden economy, informal economy, cash economy, dan un-observed economy. OECD menyebutnya sebagai un-observed economy dan membaginya menjadi empat jenis aktivitas yaitu produksi bawah tanah bersifat legal tetapi sengaja disembunyikan dari publik dengan tujuan mengelak dari pajak atau peraturan lainnya, produksi illegal, produksi sektor informal, dan produksi rumah tangga.

Sementara itu jurnal Underground Economy in Indonesia yang diterbitkan oleh peneliti di Badan Pusat Statistik yang mengutip pendapat Smith (1994) dan Faal (2003), menyebut bahwa underground economy hanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu ilegal (prostitusi, perjudian, transaksi narkoba, dan lain-lain) serta legal (pendapatan yang tidak dilaporkan, upah/gaji, pembayaran di bawah faktur, tunjangan, dan aset yang tidak dilaporkan dari barang dan jasa legal). Dengan demikian underground economy memiliki arti produksi barang dan jasa baik legal maupun ilegal yang terlewat dari perhitungan PDB dengan tujuan menghindari pembayaran pajak, perlindungan sosial, standar minimum upah, waktu kerja maksimum, standar keselamatan, dan seterusnya.

Baca Juga: Menguak “Operasi Senyap” PPATK Selamatkan Uang Negara

Direktur MUC Tax Research Institute Karsino mengatakan shadow economy memang sulit dihindarkan. Kendati demikian, pemerintah Indonesia telah berupaya mengikis shadow economy untuk penghindaran pajak yang dimulai dari pelaksanaan program pengampunan pajak (Tax Amnesty/TA). TA juga dinilai sebagai langkah pertama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperluas basis data pemajakan.

Selanjutnya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang mewajibkan lembaga keuangan untuk menyampaikan informasi kepada DJP terkait saldo tabungan dan deposito dengan nilai nominal minimal Rp 1 miliar. Penerbitan Perppu ini sebagai buah dari konsensus global mengenai Automatic Exchange of Information (AEoI) yang digagas OECD bersama The Group of Twenty (G-20) ‘kelompok 20 ekonomi utama’. Indonesia, melalui DJP sendiri telah menerima data dari 94 negara/yuridiksi dan mengirimkan data kepada 81 negara/yuridiksi. Adapun data yang ditukarkan adalah identitas pemilik rekening, nomor rekening, saldo rekening, penghasilan yang diperoleh dari rekening (bunga).

“Ruang bersembunyi makin sempit. Data perbankan mudah diakses, harta di luar negeri terdeteksi melalui AEoI, regulasi kewajiban NPWP, ada juga e-faktur—akan mendeteksi (transaksi) dari awal walaupun yang disampaikan benar atau enggak. Artinya celah tetap ada tapi instrumen (peraturan) sudah banyak,” papar Karsino di Kantor MUC, Kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Kamis (26/12) lalu.

Baca Juga: Percepat Restitusi, Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah Bertambah

Tak hanya lembaga keuangan dalam negeri dan negara/yuridiksi lain, DJP telah bersinergi dengan para pemangku kepentingan untuk mendukung kebijakan ini. Misalkan melalui program integrasi data laporan keuangan dengan Badan Usaha Milik Negara dan Bursa Efek Indonesia.

“Di era ini orang sudah dipaksa patuh. Wajib Pajak mindset-nya sudah positif karena dunia sudah terbuka. Seharusnya praktik shadow economy semakin sempit,” tambahnya.

Upaya pemerintah selanjutnya mengeluarkan PP Nomor 23 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Regulasi ini mengatur pajak penghasilan 0,5 persen untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang memiliki omzet kurang dari Rp 4,8 miliar selama satu tahun.

“Shadow economy masih besar, makanya regulasi UMKM diharapkan dapat meng-capture seluas-luasnya (basis pajak). Tapi seperti bumerang, di sisi lain ada orang berlindung di balik bayang-bayang—memanfaatkan batas 0,5 persen, padahal omzetnya lebih dari 4,8 miliar. Dengan begitu PP UMKM 0,5 persen juga berpotensi melindungi shadow economy,” kata Karsino.

Baca Juga: Sepakbola, Pajak, dan Momentum Comeback DJP

Artinya, lanjut Karsino, semua instrumen tetap memiliki potensi atau celah penghindaran pajak. Kuncinya, DJP harus berupaya meningkatkan pelayanan dan edukasi secara lebih bersahabat dengan WP sehingga dapat tercipta kepatuhan pajak sukarela. Tak kalah penting penegakan hukum korupsi harus menjadi perhatian pemerintah.

“Kampanye kepatuhan harus sejalan dengan aksi penurunan korupsi. Pemerintah harus bisa menjalankan keduanya agar kepatuhan pajak sukarela terbangun. Pajak bukan hanya soal kewajiban yang kalau enggak dibayar ada sanksi, melainkan pajak itu asas kemanfaatan,” harapnya.

Di sisi lain, Karsino mengapresiasi peningkatan pelayanan pajak yang dilakukan DJP. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) lebih nyaman, petugas pajak bersahabat, serta pelayanan pajak serba digital diharapkan mengakselerasi terwujudnya kepatuhan sukarela.

“DJP sudah menampilkan pelayanan pajak yang baik, tentu berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya. Sekarang yang menjadi PR (pekerjaan rumah) selain memperluas basis data adalah bagaimana omnibus law membuat aturan pajak menjadi lebih simpel dan memberikan kepastian,” tutupnya.

Kampanye kepatuhan harus sejalan dengan aksi penurunan korupsi. Pemerintah harus bisa menjalankan keduanya agar kepatuhan pajak sukarela terbangun.



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.