Beda POV Kantor Pajak, Picu Ketidakpastian Corresponding Adjustment Domestik
Meiliana,
Friday, 05 July 2024
Sengketa transfer pricing tidak hanya timbul atas transaksi afiliasi antara perusahaan dalam satu grup lintas yurisdiksi saja. Tetapi, bisa juga terjadi antar korporasi afiliasi yang hanya berbeda wilayah domisili di dalam negeri.
Adapun, sengketa transfer pricing muncul akibat adanya koreksi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), atas transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. Penyebabnya, karena DJP menganggap nilai harga transfer pricing tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) atau Arm’s Length Principle.
Ada dua jenis koreksi yang bisa dilakukan otoritas pajak. Pertama, koreksi primer atau Primary Adjustment yang dilakukan saat timbulnya selisih, antara harga transfer dengan harga jual atau laba wajar. Kedua, koreksi sekunder atau Secondary Adjustment, yaitu ketika atas selisih tersebut, DJP menetapkannya sebagai dividen konstruktif
Kemudian, atas penetapan secondary adjustment tersebut, grup usaha berpotensi menghadapi konsekuensi berupa risiko timbulnya pajak berganda atau double taxation.
Nah, untuk mengeliminasi double taxation karena transaksi afiliasi domestik tersebut, maka perlu dilakukan Corresponding Adjustment Domestik. Adapun, secara umum definisi Corresponding Adjusment Domestik merupakan penyesuaian penghasilan kena pajak oleh DJP terhadap transaksi antara Wajib Pajak dalam negeri dengan lawan transaksinya.
Baca Juga: Corresponding Adjustment, Anti Double Taxation yang Tak Dilirik Otoritas
Prosedur dan Dasar Hukum
Karenanya, agar tidak terjadi double taxation maka perlu dilakukan Corresponding Adjustment Domestik, yang pelaksanaannya diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 tahun 2023.
Untuk dapat melakukan Corresponding Adjustment Domestik, langkah pertama yang harus dilakukan perusahaan adalah menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada kantor pajak mitra transaksi domestik terdaftar.
Misalnya, perusahaan A yang berdomisili di tempat X memiliki transaksi afiliasi dengan perusahaan B yang berdomisili di tempat Y. Maka langkah pertama dalam melakukan Corresponding Adjustment adalah, Perusahaan B menyampaikan pemberitahuan ke kantor pajak Y.
Namun, demikian sebelum permohonan disampaikan, pastikan bahwa perusahaan A telah setuju dengan koreksi primer yang telah ditetapkan dan tidak mengajukan upaya hukum apapun.
Baca Juga: PMK 172/2023: Secondary Adjustment Harga Transfer Dapat Dibatalkan
Best Practice Internasional
Pada dasarnya, beleid mengenai Corresponding Adjustment yang diterbitkan pemerintah mengacu pada The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Khususnya, Pasal 9(2) OECD Model Tax Convention on Income and On Capital (OECD Model).
Ketentuan ini menekankan perlunya konsultasi antar otoritas pajak untuk menentukan Corresponding Adjustment. Sehingga, dapat mengurangi beban pajak badan usaha terkait, di satu negara jika pendapatannya sudah dikenai pajak di negara lain.
Adapun proses konsultasi tersebut hanya dapat terjadi melalui prosedur Mutual Agreement Procedures (MAP) sesuai Pasal 25 OECD Model. Hanya saja, OECD Model memang tidak memberikan panduan tentang bagaimana Corresponding Adjustment harus diterapkan pada transaksi domestik.
Di India, regulasi transfer pricing dengan tegas melarang Corresponding Adjustment untuk transaksi internasional. Artinya, jika terjadi penyesuaian terhadap pendapatan Wajib Pajak yang dikenai pajak, India tidak akan mengizinkan adanya Corresponding Adjustment terhadap pendapatan yang dikenai pajak pada wajib pajak mitra transaksi.
Meskipun peraturan ini tidak berlaku secara otomatis untuk transaksi domestik, India belum memiliki ketentuan yang jelas mengenai bagaimana Corresponding Adjustment dapat diterapkan pada transaksi domestik (Gaurav, 2013).
Sementara pemerintah Yunani belum lama ini mengubah regulasi mengenai Corresponding Adjustment, dengan menerbitkan Undang-Undang 4972/2022. Undang-undang ini memungkinkan mitra transaksi, untuk meminta penyesuaian laba setelah audit pajak terhadap wajib pajak pertama.
Jika audit pajak menyebabkan tambahan laba dari transaksi domestik antara pihak afiliasi, wajib pajak mitra transkasi dapat mengajukan surat pengembalian pajak penghasilan atau restitusi yang diperbarui bersama laporan audit pajak. Pengajuan restitusi tersebut dapat diajukan dalam waktu tiga bulan setelah menerima laporan audit.
Syaratnya, Wajib Pajak harus terlebih dahulu membayar pajak yang timbul akibat koreksi laba dalam transaksi tersebut. Tujuannya, agar dapat memperoleh pengembalian atau kompensasi pajak.
Sementara jika Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap penilaian pajak dan menerima keputusan melalui prosedur administratif atau hukum, administrasi pajak akan menyesuaikan laba pihak terkait sesuai dengan keputusan tersebut (Perrou, 2023).
Baca Juga: PMK 172/2023 Rinci Ketentuan Analisis Industri Terkait PKKU
Praktik di Indonesia
Persoalannya, meski secara regulasi telah di atur. Praktiknya ada beberapa kendala yang menyulitkan Wajib Pajak melakukan Corresponding Adjustment Domestik. Pertama, kantor pajak dapat menolak Corresponding Adjustment Domestik karena sudut pandang kepentingan kantor pajak terhadap target penerimaan pajak yang harus dikumpulkan.
Pasalnya, pemberian Corresponding Adjustment Domestik kepada Wajib Pajak mitra transaksi bisa mengurangi laba. Ujungnya, jumlah pajak yang dikumpulkan Kantor Pajak tersebut bisa berkurang. Apalagi, secara regulasi Kantor Pajak memang tidak terikat oleh kewajiban untuk menyetujui penyesuaian lewat mekanisme Corresponding Adjustment tersebut.
Kedua, Wajib Pajak juga dihadapkan pada risiko lain, yaitu tidak bisa melakukan upaya hukum lain bila mengajukan Corresponding Adjustment Domestik. Pembatasan ini menjadi dilematis, apakah Wajib Pajak lebih baik melakukan upaya hukum atau melakukan penyesuaian lewat Corresponding Adjustment Domestik.
Ketiga, regulasi tidak memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi wajib pajak yang mengajukan Corresponding Adjustment Domestik. Khususnya terkait kemungkinan timbulnya pemeriksaan pajak di masa depan yang dilakukan DJP berdasarkan persetujuan dalam notulensi penutupan pemeriksaan. Termasuk, potensi pemeriksaan terhadap Wajib Pajak mitra yang timbul karena lebih bayar yang timbul dari Corresponding Adjustment Domestik.
Keempat, regulasi yang berlaku juga tidak memberi batas waktu kepada DJP untuk memberikan keputusan persetujuan Corresponding Adjustment. Ketidakpastian mengenai batas waktu keputusan, dapat berdampak pada perencanaan keuangan dan strategi bisnis Wajib Pajak.
Kelima, beleid PMK Nomor 172 tahun 2023 juga tidak memberikan penjelasan detail tentang pelaksanaan Corresponding Adjustment Domestik. Khususnya, dalam kasus koreksi primer yang dilakukan secara agregasi menggunakan transactional net margin method. Hal ini mengundang pertanyaan tentang kriteria yang digunakan untuk menentukan mitra transaksi yang dapat mengajukan Corresponding Adjustment Domestik.
Perbaikan Sistem dan Standardisasi Pelayanan
Ketidakpastian yang ditimbulkan dari persoalan-persoalan ini memperkuat keragu-raguan Wajib Pajak untuk memanfaatkan Corresponding Adjustment Domestik. Padahal, Corresponding Adjustment Domestik tidak hanya berlaku sebagai fasilitas bagi Wajib Pajak, tetapi juga bisa menjadi mekanisme yang efektif untuk mengurangi sengketa perpajakan di tingkat lebih tinggi, yaitu keberatan dan banding.
Kelemahan yang muncul dalam proses Corresponding Adjustment Domestik harus dapat diatasi dengan menetapkan ketentuan yang lebih jelas dan detil. Sehingga regulasi bisa memberikan kepastian hukum dan pada akhirnya Corresponding Adjustment Domestik menjadi fasilitas yang menarik bagi Wajib Pajak sehingga tidak ragu untuk memanfaatkannya.
Catatan penting lainnya adalah, DJP harus bisa menjamin dan memastikan bahwa respons atas permohonan Corresponding Adjustment Domestik di setiap Kantor Pajak konsisten.
Pada akhirnya, kita berharap di masa depan, proses Corresponding Adjustment Domestik bisa lebih andal, koordinasi antar Kantor Pelayanan Pajak (KPP) semakin baik, tanpa memerlukan pengajuan formal dari wajib pajak.
Salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan adalah pembangunan sistem administrasi terintegrasi atau pengumpulan data grup usaha di bawah satu KPP. Dengan demikian, pelaksanaan Corresponding Adjustment Domestik di Indonesia dapat menjadi lebih efektif, transparan, dan mampu berjalan sesuai tujuannya yaitu mengurangi double taxation. (ASP)
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.