Mengenal Globe Information Return, Dokumen Wajib Entitas Terkait Pilar 2
Dewi Mita Rozali
|
Monday, 12 February 2024
Ketentuan pajak minimum global yang tertuang di dalam Pilar 2 konsensus pemajakan internasional, ternyata tidak hanya berdampak pada besaran tarif yang harus ditanggung entitas usaha tercakup saja. Lebih dari itu, kesepakatan global ini juga akan menambah kewajiban administrasi perpajakan yang harus dipenuhi perusahaan tercakup.
Pasalnya, jika konsensus benar-benar terjadi, setiap Perusahaan multinasional yang memiliki omzet konsolidasi per tahun di atas EUR 750 juta juga wajib Menyusun Globe Information Return (GIR). Adapun GIR merupakan laporan khusus yang digunakan untuk penghitungan Top-Up Tax atau pajak tambahan yang timbul karena penerapan Pilar 2.
Seperti kita ketahui, Top Up Tax timbul akibat konsekuensi dari implementasi Pilar 2 yang menganut pendekatan Global Anti-Base Erosion (GloBE). Dalam pendekatan GloBE setiap yurisdiksi harus memungut pajak atas penghasilan Perusahaan multinasional yang memenuhi syarat di bawah 15%.
Baca Juga: Siapa yang Paling Diuntungkan dari Konsensus Pajak Global?
Jika suatu korporasi yang masuk ke dalam kriteria ternyata dikenai pajak di bawah 15% oleh suatu yurisdiksi, maka atas selisihnya akan dikenakan Top Up Tax oleh negara tempat Ulltimate Parent Entity (UPE) berada. Tetapi bisa juga selisihnya dipungut oleh negara sumber yang menerapkan Qualified Domestic Minimum Top Up Tax (QDMTT) atau instrumen pajak minimum domestik. Penentuan hak pemajakan atas Top-Up Tax harus mengikuti aturan bertingkat dalam Globe Rules.
Kriteria dan Implementasi GIR
Agar ketentuan GIR bisa diimplementasikan oleh yurisdiksi yang terkait dengan konsensus, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah merilis panduan GIR.
Lalu apa saja kriteria suatu Perusahaan harus menyerahkan GIR? Merujuk pedoman Pilar 2 OECD, ada beberapa syarat untuk menentukan apakah suatu perusahaan nasional atau Multinational Enterprise (MNE) wajib menyusun GIR atau tidak.
Pertama, jika suatu MNE memiliki nilai peredaran bruto konsolidasi di atas EUR 750 juta atau setara dengan IDR 11 triliun. Kedua, bukan suatu entitas milik pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN), organisasi internasional, organisasi nirlaba, Perusahaan yang induknya menjalankan bisnis investasi dan dana pensiun serta organisasi atau entitas lain yang bukan subjek dari GloBE Rules.
Data yang Tercakup di Dalam GIR
Struktur GIR memuat kurang lebih 232 data yang harus dilengkapi oleh Entitas. Data tersebut terbagi menjadi enam bagian, berikut di antaranya.
- Bagian pertama menjabarkan informasi tentang MNE dan rincian entitas konstituen.
- Bagian kedua adalah perhitungan Globe Income/Loss dimana jumlah income/loss tersebut dihitung berdasarkan yurisdiksi entitas konstituen berada.
- Bagian ketiga merupakan perhitungan Adjusted Covered Tax yaitu berisi total pajak (current tax) yang diatribusikan kedalam transaksi pendapatan. Ketentuan kategori pajak yang dapat dimasukkan kedalam Covered Tax selengkapnya terdapat dalam panduan GIR. Jumlah covered tax dihitung berdasarkan yurisdikasi entitas konstituen berada.
- Bagian keempat adalah perhitungan Substance Based Income Exclusion (SBIE) yang merupakan pengurang dari Globe Income. SBIE merupakan persentase tertentu dari nilai aktiva tetap dan biaya gaji.
- Bagian kelima memuat faktor alokasi Undertaxed Payment Rule (UTPR).
- Bagian terakhir merupakan data transisi safe harbours.
Data tersebut harus disediakan oleh MNE untuk menentukan apakah suatu yurisdiksi memiliki hak perpajakan atas yurisdiksi lain berdasarkan peraturan Globe dan berapa Top-Up Tax yang harus dibayarkan.
Ketentuan Domestik
Tidak hanya OECD, pemerintah Indonesia juga kabarnya tengah menyiapkan ketentuan domestik mengenai pembuatan dan penyampaian dokumen GIR, berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) MNE yang ada di Indonesia bisa tercakup di dalam ketentuan tersebut.
Dalam Rancangan PMK yang tengah disusun Kementerian Keuangan, nantinya setiap perusahaan tercakup wajib menyampaikan GIR paling lambat 15 bulan setelah tahun pajak berakhir.
Secara umum RPMK tersebut terdiri dari 11 Bab yang di dalamnya memuat ketentuan umum Pilar 2, ruang lingkup, ketentuan pengenaan pajak minimum global hingga teknis administrasinya.
Salah satunya terkait dengan bentuk dokumen yang harus dilampirkan, yaitu harus berupa Extensible Markup Language (XML) ke dalam sistem perpajakan. Dengan kata lain, dokumen GIR akan menjadi seperti Surat Pemberitahuan (SPT) lain yang wajib disampaikan Perusahaan multinasional yang tercakup atau memenuhi kriteria dalam Pilar 2.
Dalam Rancangan PMK tersebut, juga mengatur tentang tata cara perhitungan laba atau rugi entitas konstituen, perhitungan covered tax sampai dengan perhitungan tarif pajak efektif yang menjadi dasar menentukan Top-Up Tax.
Namun, perlu diingat mengadopsi ketentuan Pilar 2 bukanlah hal yang mudah. Mengingat kompleksitas pengaturannya, karena harus mengatur detil tentang urutan hak pemajakan tiap yurisdiksi yang terkait dan perhitungan Top-Up Tax.
Karenanya, menarik untuk kita tunggu seperti apa pastinya ketentuan Pilar 2 yang akan diadopsi pemerintah kita nantinya. Semoga saja tambahan beban administrasi pajak yang timbul karena ketentuan GIR bisa dibarengi dengan petunjuk yang jelas dan sistem administrasi yang memudahkan. (ASP)
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.