Opinion
Urgensi Mempersoalkan Pajak Hiburan 

By: Ferry Irawan | Tuesday, 23 January 2024

Urgensi Mempersoalkan Pajak Hiburan 

Sudah lebih dari dua dekade, Indonesia menganut sistem pemerintahan berbasis desentralisasi, baik secara politik maupun fiskal. Hanya saja, selama ini desentralisasi fiskal lebih identik kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola belanja di wilayahnya.  

Dengan lahirnya Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), pemerintah daerah juga diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengoptimalkan sumber penerimaannya. 

Beleid tersebut menggantikan aturan sebelumnya yaitu UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). 

UU HKPD sebetulnya mulai berlaku sejak 5 Januari 2022, namun demikian pemerintah daerah diberikan waktu dua tahun atau paling lambat 5 Januari 2024 untuk menyiapkan regulasi turunannya. 

Namun, ketika sejumlah daerah menyiapkan regulasi turunannya, berbagai pihak mulai mempersoalkan keberadaan UU HKPD. Pokok masalahnya, yaitu mengenai penetapan tarif untuk Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Khususnya, pajak atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa yang ditetapkan minimal 4O% dan maksimal 75%. 

Pihak-pihak yang mempersoalkan, menilai penetapan tarif pajak tersebut terlalu tinggi. Sehingga membebani kelangsungan usaha.  

Memang, jika kita bandingkan dengan UU PDRD tarif pajak hiburan yang berlaku di UU HKPD terbilang tinggi. Pasalnya di UU PDRD  bahwa tarif pajak hiburan ditetapkan maksimal 75% tanpa ada batas bawahnya.  

Dua Sisi Kepentingan 

Sebagaimana telah diketahui bahwa pajak memiliki dua fungsi utama. Pertama, fungsi anggaran atau budgeting. Kemudian fungsi yang lainnya adalah sebagai alat untuk mengatur atau regulator.  

Dalam konteks anggaran, pengenaan pajak merupakan upaya pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan daerah. Hal ini sejalan dengan tujuan awal berlakunya UU HKPD sebagai cara untuk memperkuat struktur fiskal pemerintah daerah. 

Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum pemerintah menetapkan tarif pajak daerah. Jika tarif pajak terlalu rendah, maka dampak langsung terhadap penerimaannya juga akan rendah. 

Namun jika terlalu tinggi, dampaknya akan kontraproduktif terhadap kegiatan usaha yang menjadi objek pajak. Sehingga, alih-alih mendongkrak penerimaan pengenaan pajak daerah justru menekan kegiatan usaha dan berdampak negatif bagi penerimaan. 

Sementara sebagai alat kebijakan, pengenaan pajak hiburan juga dapat dipakai sebagai sarana untuk mengontrol kebiasaan atau perilaku masyarakat dalam mengonsumsi hiburan. Pemerintah memang berkepentingan untuk mengatur perilaku masyarakat.  

Sebab, hal ini erat dengan norma atau etika yang berlaku di suatu daerah. Dengan mengenakan pajak diharapkan masyarakat berpikir ulang untuk mengunjungi atau menikmati jasa hiburan tertentu.  

Insentif Sebagai Solusi Jangka Pendek 

Dari uraian tersebut, penting bagi semua pihak untuk duduk bersama dalam menyikapi polemik pajak hiburan yang dipersoalkan pelaku usaha. Di satu sisi, pemerintah tidak bisa menutup mata membiarkan kekhawatiran pelaku usaha karena bisa berdampak kondisi ekonomi dan daerah dan tentunya penerimaan daerah. Terutama, bagi daerah-daerah yang sumber penerimaannya bergantung pada aktivitas jasa hiburan, misalnya provinsi Bali. 

Tetapi di sisi lain, pemerintah daerah hanya memiliki ruang yang sempit dalam menetapkan tarif pajak hiburan. Jika sebelumnya bisa leluasa menetapkan tarif karena tidak ada batas bawah, dengan UU HKPD tarif terendah ada batas minimal 40%. 

Setidaknya ada beberapa jalan keluar yang bisa dilakukan. Misalnya, dengan merevisi UU HKPD, baik dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) atau lewat jalur legislasi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).  

Sebetulnya, pelaku usaha juga bisa mengajukan mengajukan judicial review untuk mengubah merevisi UU HKPD ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hanya saja, baik perubahan melalui proses legislasi maupun gugatan ke MK harus melalui proses yang memakan waktu tidak singkat. 

Opsi lainnya, inisiatif bisa datang dari pemerintah daerah. Misalnya, dengan memberikan insentif atau fasilitas atas pajak hiburan yang berlaku. Sehingga, beban yang harus ditanggung pelaku usaha tidak terlalu besar. 

Pada akhirnya, pengenaan pajak daerah harus dipandang sebagai alat untuk memperkuat ekonomi daerah. Karenanya, spektrumnya akan luas, penguatan ekonomi bisa dating secara langsung dari tambahan penerimaan negara yang kemudian dipakai membiayai pembangunan atau bisa datang dari kegiatan ekonomi yang bergulir dan tumbuh. (ASP)



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.