Menyoal Akuntabilitas Earmarking Tax di Indonesia
Rizkia Mutiara Ainy
|
Thursday, 16 November 2023
Sejak terbitnya Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), konsep pengelolaan fiskal Indonesia tidak lagi terpusat. Melainkan, terdistribusi ke setiap daerah atau desentralisasi.
Implementasi desentralisasi fiskal ini merupakan implikasi dari mekanisme desentralisasi politik yang lebih dulu diadopsi Indonesia, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Beleid ini memberikan wewenang kepada setiap pemerintah daerah untuk mengurus atau mengelola pemerintahannya sendiri atau dengan kata lain menjadi daerah yang otonom.
Dalam konteks fiskal, pengelolaan daerah yang otonom ditandai dengan adanya Earmarking Tax. Meski sebetulnya, konsep Earmarking Tax memang tidak secara eksplisit tercantum di dalam UU PDRD.
Merujuk The International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD) dalam International Tax Glossary (2015), Earmarking Tax disebut juga dengan istilah appropriated tax atau hypothecated tax.
Baca Juga: Rain Tax, Instrumen Fiskal Pengendali Banjir?
Dalam konteks keuangan publik ketiga terminologi tersebut sering digunakan untuk menggambarkan adanya peningkatan pendapatan, dari sumber tertentu dan mendedikasikannya untuk pengeluaran publik tertentu.
Kompensasi Langsung
Sebetulnya, dalam konsep pengelolaan anggaran pemerintah, pajak berperan sebagai sumber pendapatan pemerintah yang dipungut dari masyarakat. Namun, manfaat yang diberikan pajak kepada masyarakat tidak secara langsung.
Timbal balik atas pembayaran pajak akan dialokasikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Konsep inilah yang berbeda antara pengelolaan pajak secara umum dengan Earmarking Tax.
Dalam Earmarking Tax timbal balik atau kompensasi diberikan kepada pemerintah daerah agar dapat dipergunakan untuk membiayai program-program tertentu yang diperlukan masyarakat.
Dengan kata lain, sebetulnya, Earmarking Tax merupakan sarana bagi pemerintah daerah untuk dapat mengambil hati wajib pajak atau masyarakatnya. Sebab bisa dijadikan bukti bahwa pemerintah mampu mengelola penerimaan pajak daerah dengan baik, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh semua wajib pajak.
Baca Juga: Penguatan Pajak Daerah Tunggu Pemda Rampungkan Aturan Teknis UU HKPD
Harapannya, masyarakat bisa lebih sukarela membayar pajak. Pasalnya, banyak masyarakat yang menganggap membayar pajak sebagai beban. Tidak sedikit pula masyarakat yang beranggapan, membayar pajak adalah hal yang sia-sia karena manfaatnya yang tidak langsung dirasakan, sehingga memicu ketidakpatuhan.
Karena itu, secara umum, terdapat tiga faktor yang dapat mendasari dilakukannya Earmarking Tax. Pertama, dilakukan atas dasar kepentingan pribadi masyarakat selaku wajib pajak. Kedua, adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ketiga, untuk menghubungkan berbagai masalah terkait pembayaran atau penyetoran pajak.
Masih mengacu pada beleid PDRD, pelaksanaan skema Earmarking Tax sudah diimplementasikan pada tiga jenis pajak, seperti pajak kendaraan bermotor, pajak rokok dan pajak penerangan jalan.
1. Pajak Kendaraan Bermotor
Pemerintah akan mengalokasikan penerimaan pajak kendaraan bermotor yang terkumpul, paling sedikit 10% untuk pemerintah daerah kabupaten/kota. Dana pajak yang dialokasikan tersebut, kemudian akan dipakai untuk membiayai Pembangunan atau pemeliharaan jalan serta meningkatkan moda dan sarana transportasi umum.
2. Pajak Rokok
Dari jumlah pajak rokok yang dikumpulkan pemerintah, akan dialokasikan untuk pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 50%. Penggunaannya untuk mendanai pelayanan Kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
3. Pajak Penerangan Jalan
Untuk pajak penerangan jalan, hasil penerimaan pajaknya sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.
Persoalan Tata Kelola
Meski sudah diterapkan kurang lebih 24 tahun, pelaksanaan desentralisasi fiskal berbasiskan Earmarking Tax masih memiliki beberapa catatan. Tata kelolanya dinilai masih belum optimal, sehingga pendistribusiannya masih memunculkan persoalan.
Misalnya, pengalokasian dana yang masih belum jelas, tidak tepat sasaran dan rawan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Sebagai gambaran, merujuk data yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi pada lama kpk.go.id, pada tahun 2022 tercatat ada 22 gubernur dan 148 Bupati/Walikota yang bermasalah dalam mengelola Earmarking Tax.
Karenanya, cara untuk memitigasi berbagai persoalan dan risiko itu, perlu dibentuk lembaga pengawas. Lembaga tersebut seharusnya diberikan wewenang untuk mengevaluasi dan mengawasi pelaksanaan Earmarking Tax di setiap daerah.
Tanpa pengawasan yang cukup maka persoalan akuntabilitas pengelolaan Earmarking Tax tidak akan pernah tuntas. (ASP)
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.