PP 55 Tahun 2022, Legitimasi Negara "Ikut Campur" Hubungan Istimewa Pembayar Pajak
Iffa Nurlatifa, Isna Nurlaeli, M. Arif Darmawan
|
Tuesday, 14 February 2023
Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PPh) menjadi legitimasi terbaru bagi negara untuk “ikut campur” dalam hubungan istimewa pembayar pajak, sekaligus mengawasi transaksi afiliasi yang dipengaruhi relasi intim tersebut. Beleid yang terbit pada penghujung tahun 2022 itu merupakan amanat dari Undang-Undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Masyarakat awam mungkin bertanya, apa pentingnya negara ikut campur dalam hubungan istimewa warganya?
Konteks beleid ini bukan berarti negara bisa seenaknya masuk ke ruang private atau mencampuri urusan pribadi warganya, melainkan untuk mendorong transparansi dan keterbukaan informasi terkait transaksi antarpihak berelasi yang punya kewajiban perpajakan. Alasannya, para pihak yang memiliki hubungan istimewa dapat memengaruhi penentuan harga transaksi (transfer pricing) atau kesepakatan bisnis untuk tujuan tertentu, yang dampaknya bisa menguntungkan ataupun merugikan pihak-pihak terkait (stakeholder).
Baca juga: Mengenal Substance Over Form, Prinsip Akuntansi Pencegah Penghindaran Pajak
Stakeholder yang membutuhkan keterbukaan informasi transaksi bukan hanya investor, kreditor, dan pemegang saham saja, melainkan juga otoritas perpajakan. Pasalnya, pengungkapan informasi terkait transaksi antarpihak yang dipengaruhi hubungan istimewa bisa menjadi dasar penetapan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Definisi Hubungan Istimewa
Dalam PP No. 55/2022, tepatnya di Pasal 33 ayat (1), pemerintah mendefinisikan hubungan istimewa sebagai berikut:
Hubungan istimewa merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh kepemilikan atau penyertaan modal, penguasaan, atau hubungan keluarga sedarah atau semenda yang mengakibatkan pihak satu dapat mengendalikan pihak yang lain atau tidak berdiri bebas dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
Hubungan istimewa karena kepemilikan atau penyertaan modal dianggap ada dalam hal:
- Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain; atau
- Hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada 2 (dua) Wajib Pajak atau lebih atau hubungan di antara 2 (dua) Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.
Sementara itu, yang termasuk hubungan istimewa karena penguasaan meliputi:
- Satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung;
- Dua pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung;
- Satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain melalui manajemen atau penggunaan teknologi;
- Terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak atau lebih;
- Para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu grup usaha yang sama; atau
- Satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain.
Lalu, yang dimaksud dengan hubungan istimewa karena hubungan keluarga sedarah atau semenda adalah relasi yang berada dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Baca juga: Penegasan Secondary Adjustment Harga Transfer Sebagai Dividen
Ketentuan mengenai hubungan istimewa di PP No. 55/2022 sejatinya bukan hal baru. Sifatnya lebih pada penegasan sekaligus perluasan cakupan hubungan istimewa—yang sebelumnya sudah dijabarkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement).
Hanya saja di PP 55/2022, terdapat penambahan satu poin ketentuan mengenai “hubungan istimewa karena penguasaan, jika satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain melalui manajemen atau penggunaan teknologi.”
Jenis Transaksi
PP Nomor 55 Tahun 2022 juga mengatur ulang mengenai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa, sebagai rekonstruksi konsep dari transaksi afiliasi atau transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Intinya, subjek pajak yang melakukan transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) atau Arm's Length Principle (ALP).
Dalam pasal 35 ayat (2) dijelaskan bahwa transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa meliputi:
- Transaksi afiliasi; dan/atau
- Transaksi yang dilakukan antar pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa tetapi pihak afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi tersebut menentukan lawan transaksi dan harga transaksi
Artinya, lingkup transaksinya bukan hanya yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa melainkan bisa juga yang melibatkan pihak-pihak independen (tidak memiliki hubungan istimewa). Intinya, suatu transaksi dianggap dipengaruhi hubungan istimewa jika salah satu atau para pihak yang bertransaksi dapat menentukan lawan dan harga transaksi. Karenanya, prinsip kewajaran dan kelaziman usaha menjadi mutlak diterapkan.
Baca juga: Kupas Ketentuan Pajak Internasional dan Transfer Pricing Dalam PP 55 Tahun 2022
Secara umum, pengaturan mengenai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa dan kewajiban penerapan PKKU dalam PP No.55 tahun 2022 tidak berbeda jauh dengan ketentuan sebelumnya di PMK No. 22/PMK.03/2020. Hanya saja, PP No.55 Tahun 2022 tidak menjabarkan secara spesifik jenis-jenis transaksi tertentu yang dipengaruhi hubungan istimewa, sebagai berikut:
- transaksi jasa;
- transaksi terkait penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud;
- transaksi terkait biaya pinjaman;
- transaksi pengalihan harta;
- restrukturisasi usaha; dan
- kesepakatan kontribusi biaya.
Isu Transfer Pricing
Persoalannya kemudian, bagaimana menerjemahkan ketentuan mengenai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa dalam analisis transfer pricing. Pembayar pajak akan lebih sulit mengindentifikasi transaksi-transaksi yang yang dipengaruhi hubungan istimewa. Sebab, cakupan transaksi yang harus masuk dalam dokumen transfer pricing menjadi lebih luas—tidak hanya transaksi afiliasi.
Kesulitan berikutnya adalah mengindentifikasi transaksi-transaksi dengan pihak independen yang lawan dan harga transaksinya ditentukan oleh pihak afiliasi. Pembuktiannya apakah dengan perjanjian (agreement) antarpihak atau cukup dengan melampirkan dokumen pendukung (supporting document) yang lebih spesifik.
Bagaimana jika subjek pajak menentukan lawan transaksi berdasarkan referensi atau rekomendasi dari pihak afiliasinya? Dan, bagaimana jika harga transaksinya mengacu pada harga yang pernah diperoleh pihak afiliasi yang bersangkutan? Apakah kondisi tersebut termasuk dalam pengertian transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau tidak?
Untuk memberikan kepastian hukum, pemerintah perlu memperjelas definisi transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu, regulator juga harus menjabarkan langkah-langkah identifikasi transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa, terutama yang melibatkan pihak independen. Hal ini penting untuk meminimalkan potensi terjadinya sengketa antara pembayar pajak dan fiskus.
Baca juga: Lewat PP 55/2022, Kesepakatan Harga Transfer Bisa Dilakukan Multilateral
Indonesia hanyalah satu dari sekian banyak negara di dunia yang menyoroti transaksi-transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Australia, misalnya, mewajibkan pembayar pajak mengisi form International Dealing Schedule (IDS) ketika akan akan melakukan transaksi dengan entitas, individu, atau pihak-pihak di luar negeri yang memiliki hubungan istimewa (international related parties). IDS tersebut kemudian dilaporkan bersamaan dengan laporan pajak tahunan. Pihak luar negeri dianggap memiliki hubungan istimewa jika berpartisipasi secara langsung atau tidak langsung pada manajemen, pengendalian, dan modal dari wajib pajak—begitu juga sebaliknya. Khusus transaksi domestik, Australia tidak mengatur secara spesifik mengenai definisi hubungan istimewa.
Beda halnya dengan Singapura. Definisi hubungan istimewa dijelaskan pada Section 34D Income Tax Act 1947. Namun, untuk meminimalkan biaya kepatuhan, Otoritas Pajak Singapura hanya mensyaratkan dokumentasi transfer pricing yang mencantumkan daftar pihak yang memiliki hubungan istimewa, sebagaimana yang disajikan dalam laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi.
Baca juga: Rugi Fiskal Tiga Tahun, DJP Bisa Koreksi Harga Transfer
Penulis menyadari bahwa setiap negara atau yurisdiksi memiliki kedaulatan sendiri untuk menerapkan kebijakannya masing-masing. Namun, apa yang dilakukan Australia dan Singapura mungkin bisa menjadi referensi bagi Indonesia dalam menerapkan aturan perpajakan terkait dengan hubungan istimewa. Harapan semua pihak pastinya adalah biaya kepatuhan bisa ditekan dan risiko sengketa dapat diminimalkan. (AGS)
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.