Exclusive Interview

Curhat Dirjen Bea Cukai Soal Tantangan Penerimaan, Pengawasan, Hingga Penipuan

Saturday, 12 November 2022

Curhat Dirjen Bea Cukai Soal Tantangan Penerimaan, Pengawasan, Hingga Penipuan
Askolani, Direktur Jenderal Bea dan Cukai bercerita soal bagaimana instansinya menghadapi tantangan penerimaan, pengawasan, hingga penipuan (Photo: Istimewa)

Melakukan pelayanan, pengawasan, penegakan hukum, sekaligus mengumpulkan penerimaan negara bukanlah perkara mudah. Terlebih saat pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi mendera. Askolani, Direktur Jenderal Bea dan Cukai punya cerita soal bagaimana instansinya menghadapi semua tantangan itu. Mulai dari bekerja normal di saat yang lain “dirumahkan”, melakukan pengawasan intensif dan penindakan peredaran barang ilegal yang justru meningkat saat pandemi, hingga dibuat pusing oleh aksi penipuan yang mengatasnamakan lembaganya. 

Berikut nukilan perbincangan MUC TaxGuide dengan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani di ruang kerjanya, Kamis, 27 Oktober 2022. 

Dalam dua tahun terakhir penerimaan bea dan cukai meningkat di saat kondisi ekonomi makro sedang tidak baik-baik saja. Murni karena blessing harga komoditas atau ada faktor lain? 

Kombinasi, ya. Pertama, dari sisi ekonomi atau kenaikan harga komoditas global seperti minyak, batu bara, dan CPO yang meningkatkan pendapatan atau keuntungan perusahaan dan berefek pada meningkatnya setoran pajak, PNBP, dan bea-cukai.  

Faktor kedua, pelayanan dan pengawasan tetap jalan normal selama pandemi, dan juga penguatan atau reformasi di internal DJBC, yang kami kombinasikan dengan pelayanan online untuk mempercepat. Kami juga tetap melakukan penangkapan barang ilegal di lapangan dan itu menimbulkan deterrent effect sehingga orang menghindari kegiatan ilegal dan memilih bertransaksi secara legal.  

Efeknya bukan hanya penerimaan, tetapi ekspor-impor juga naik bisa sampai double digit, 15%-16% di tahun 2021. Hal itu adalah salah satu penopang ekonomi kembali tumbuh positif 3% dari yang sebelumnya negatif, juga kenapa penerimaan perpajakan naik signifikan dan Indonesia menjadi salah satu negara yang tetap survive.  

Kalau sektor ekonomi berbasis komoditas sumbangannya naik terhadap penerimaan, bagaimana dengan sektor lain yang non-komoditas? Apakah ada yang mengalami penurunan selama pandemi?  

Ada. Dari sisi bea masuk, kan, tidak semua impor dikenakan bea masuk karena ada FTA yang tarifnya nol. Bicara sektoral, bea masuk dari sektor konstruksi pun negatif pertumbuhannya. Selama Januari-September 2022, pertumbuhannya minus 24%. Transportasi juga turun, tapi perdagangan besar naik; pertanian, perhutanan, dan perikanan juga naik. Dalam perekonomian kita, tidak semua sektor tumbuh cepat. Konstruksi, misalnya, adalah salah satu yang masih tertinggal pemulihannya.  

Selain pelayanan yang berjalan normal, peran apa lagi dari DJBC untuk membantu pemulihan ekonomi? 

Dari tahun 2020 ketika awal pandemi, DJBC senantiasa berperan penting. Salah satunya adalah dengan memaksimalkan pemenuhan alat-alat kesehatan untuk penanganan pandemi. Kami dengan Kemenlu mengupayakan agar tidak semua APD yang dihasilkan dari kawasan ekonomi diekspor, termasuk [APD yang diproduksi oleh] perusahaan Korea. Kami juga memberikan fasilitas kepabeanan untuk alat-alat kesehatan sampai dengan vaksin, yaitu dibebaskan bea masuk. Sampai sekarang, [fasilitas tersebut] masih [diberikan], tapi khusus alat kesehatan yang masih dibutuhkan. Lalu, kami juga mempercepat pelayanan importasi alat-alat kesehatan dengan mekanisme yang jauh lebih cepat dibandingkan yang lain. Kami juga memakai sistem rush handling secara online sehingga proses importasi bisa hanya dalam hitungan jam, dari biasanya lebih dari itu.  

Apakah sudah diperhitungkan potential loss karena pemberian insentif selama pandemi? 

Sebelum kami memberikan insentif, semua sudah kami hitung, termasuk biaya [yang akan dikeluarkan] atau bea masuk yang tidak akan kami terima.  Hal tersebut sudah menjadi satu kebijakan defisit APBN sebesar 5%-6% dari PDB. Kami mencari pemasukan dari area lain [yang tidak terdampak]. Kalau tidak salah, khusus insentif alat kesehatan, insentifnya bisa sampai Rp5 triliun, gabungan bea masuk dan PDRI (Pajak Dalam Rangka Impor). Insentif yang paling tinggi diberikan tahun 2020. Sementara di tahun 2021 sudah di bawah Rp1 triliun. Tapi bukan hanya masalah fasilitas, pelayanan juga kami support penuh.  

Apa yang dilakukan DJBC untuk memastikan efektifitas pemberian fasilitas kepabeanan?  

Kami melakukan pendalaman, monitoring, dan evaluasi terhadap pemberian fasilitas. Untuk kawasan-kawasan yang mendapatkan fasilitas, risikonya kami mitigasi. Kami yakin akan konsisten memberikan pelayanan yang lebih baik, bisa memfasilitasi dan percepat layanan ekspor-impor dan ekonomi. Kami juga yakin perbaikan layanan DJBC bisa menambah investasi, menambah cadangan devisa, dan penerimaan bisa lebih optimal, baik bea masuk, bea keluar, dan cukai.  

Tahun 2023, resesi global diprediksi menjadi shock baru, bagaimana DJBC memastikan layanan dan penerimaan bea cukai tak terganggu? 

Shock baru itu ‘kan dari sisi ekonomi dan makronya, tapi dari sisi pelayanan seharusnya tidak. Jadi, semua perbaikan ini nothing to do dengan krisis. Ini menjadi basic kami. Saya yakin efisiensi bisa mengompensasi perlambatan ekonomi. Seperti program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), kalau tidak ada PEN, kemiskinan bisa naik, pertumbuhan ekonomi bisa turun. Dengan adanya PEN, itu semua bisa ditekan. Sama halnya dengan kami, pembenahan dari sisi kepabenaan dan pelabuhan akan bisa membantu efisiensi ekonomi. Memang tantangan ekonomi bukan hanya pelabuhan, tapi kami punya menteri-menteri terkait yang punya fungsi masing-masing untuk mendorong yang lain.  

Bagaimana dengan kebijakan cukai rokok tahun depan?  

Kami konsisten untuk cukai rokok sesuai roadmap. Untuk penyesuaian tarif cukai hasil tembakau kami punya pakem dengan melihat banyak faktor yang mencakup masukan stakeholders dan WHO dari sisi kesehatan yang harus kami perhatikan. Kalau pertimbangnya dari sisi kesehatan, tarif harus dinaikan setinggi-tingginya. Tapi, kami harus melihat juga dari sisi industrinya. Industri rokok di Indonesia itu beda dengan negara lain—masif, padat karya, dan dengan turunannya yang tidak hanya rokok tapi juga pertanian, tenaga kerja, dan income. Semua harus tetap survive. Kalau pertimbangannya hanya dari sisi industri, maka harapannya kenaikan tarif tidak terlalu tinggi.  

Apakah akan ada perluasan atau penambahan barang kena cukai? 

Kalau rencana 1-2 tahun yang lalu sebenarnya [yang akan ditambah adalah] plastik. Kemudian kami menghadapi pandemi dan kami lihat kondisi industri dan masyarakat di tengah pemulihan ekonomi. Sehingga sampai tahun 2022 belum bisa kami eksekusi hal tersebut. Pada 2023, kami tetap siapkan regulasinya [cukai plastik], termasuk juga cukai minuman berpemanis. Tapi kembali lagi, dalam perjalanan waktu akan kami lihat kondisi. Sama seperti 2022, sudah kami siapkan tapi momentumnya kurang pas untuk menerapkan cukai plastik. Kami lihat nanti kondisinya. Kami harus tetap waspada sekaligus mengantisipasi kondisi ekonomi global dan domestik. Jadi, sangat tergantung kondisi 2023.  

Terkait UU Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), apa yang menjadi tugas DJBC? 

Amanat UU Ciptaker dari sisi bea dan cukai: (1) penegasan dipungutnya cukai di kawasan FTZ sesuai dengan ketentuan dibidang cukai; (2) penambahan jenis KEK di kesehatan dan pendidikan; (3) pemberiaan fasilitas impor barang konsumsi untuk KEK non-produksi dan pengolahan; (4) kebijakan pengaturan ekspor impor, larangan dan pembatasan (Lartas); dan (5) insentif fiskal untuk usaha mikro.  

Terkait UU HPP, kami diamanatkan untuk mengimplementasikan ultimum remedium di bidang cukai. Penegakan hukum di bidang cukai diarahkan ke restorative justice. Tidak ke pidana, tapi lebih ke sanksi administrasi. Jadi lebih ke arah edukasi [dan tindakan] preventif. Implementasinya, kami harus membuat PP (Peraturan Pemerintah), [yang] sedang [dalam] proses [penyusunan] dan mudah-mudahan tahun ini selesai. Kami juga sedang menyiapkan PMK-nya. Untuk itu, kami bicarakan dengan Kejaksaan, Kemenkumham, Setneg, dan instansi terkait mengenai cukai.  

Bagaimana dengan pengawasan barang kiriman di era booming media sosial dan e-commerce? Apa tantangan dalam menangani ritel model sekarang? 

Pada praktiknya, barang kiriman ini kadang juga dipakai untuk tujuan ilegal. Meski barangnya kecil, namun jumlahnya banyak. Jumlahnya itu masif. Nah, itu yang menjadi tantangan kami. Meski nilainya tidak seberapa, treatment-nya adalah kami harus periksa dan harus kami optimalkan semua tools. Jadi konsisten saja. Kami layani seperti biasa dan awasi ketat. Alhamdulillah tidak ada marketplace atau konsumen yang komplain. Hanya saja, imbas dari masifnya perdagangan melalui marketplace, ada penipuan yang mengatasnamakan DJBC. Itu jadi tantangan kami.  

Kemudian kami mendeteksi juga di marketplace ada yang menjual barang illegal. Ada rokok dan minuman keras yang tidak pakai pita cukai. Sehingga kami lakukan patroli siber (Cyber patrol). Bukan hanya di marketplace, tapi juga di Instagram dan Facebook. Jadi, kami pun harus awasi sampai sana, harus berkembang. Kewaspadaan kami harus terus tambah. Kami harus melayani barang kiriman yang banyak, tapi kemudian dimanfaatkan oleh oknum penipu.  

Penipuan seperti apa? 

Modusnya banyak. Intinya adalah, ada barang masuk, lalu ada ancaman atas nama DJBC yang menyatakan ‘Ini ada biayanya kalau barang mau keluar, harus transfer, dan lain-lain’. Hebatnya, oknum ini bisa tahu barangnya apa dan siapa yang pesan. Kami tidak tahu bagaimana caranya oknum ini bisa tahu.  Di WhatsApp, profilnya [menggunakan foto] personel DJBC berseragam. Dan itu konsisten terjadi setiap bulan. Ini jadi tantangan kami. Bahkan dua anak saya pernah hampir kena.  

Apa yang dilakukan DJBC untuk menindaknya?  

Kami tidak bisa melakukan penindakan hukum sebab tidak ada pengaduan. Kebanyakan konsumen tidak mengadu, tidak mengeluh. Kami perlu koordinasi dan ingatkan marketplace soal kerahasian data. Marketplace yang [merupakan] resmi perusahaan kami panggil dan kami ingatkan: tolong jangan memfasilitasi penjualan barang-barang ilegal! 

Dari hasil patrol siber, kami banyak banyak menemukan penjualan rokok illegal. Tidak hanya di marketplace, tetapi juga lewat Instagram dan Facebook. Ini kecil-kecil volumenya. Lalu kami hubung-hubungkan dan ketemulah gudangnya. Gudangnya kami geledah dan beberapa ada yang langsung kami tindak.  

Bagaimana membuktikan bahwa penipu yang menelpon konsumen bukan pegawai DJBC?  

Kami tegaskan bahwa report penjualan ritel ke customer itu bukan tugas pegawai DJBC. Kami infokan juga via Instagram dan Facebook agar masyarakat jangan percaya jika ada oknum yang mengaku sebagai petugas DJBC, karena petugas DJBC tidak mungkin menghubungi costumer. Saya juga mau ajak marketplace ikut bertanggung jawab, karena oknumnya bisa juga ada di sana [bagian dari marketplace tersebut]. Perlu ada iklan di marketplace yang mengingatkan konsumen agar hati-hati dan jangan meladeni oknum yang mengaku petugas DJBC. Selain itu, kerahasiaan data perlu dijaga. Hal-hal tersebut yang perlu dingatkan ke marketplace. Intinya mesti kami dalami. (AGS) 




Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.