IMF Kritik Penanganan Inflasi Lewat Pemotongan Pajak
Monday, 03 October 2022
JAKARTA. Lembaga dana moneter internasional atau International Monetary Fund (IMF) menilai kebijakan memangkas tarif pajak untuk merespons kenaikan harga di berbagai negara berbahaya. Sebab, alih-alih membantu daya beli masyarakat, kebijakan itu justru bisa memicu inflasi yang lebih tinggi.
Salah satu negara yang belum lama ini dikabarkan akan memangkas tarif pajak adalah Inggris, di bawah pemerintahan Perdana Menteri Liz Truss, yang disebut-sebut sebagai pemotongan pajak terbesar negeri Tiga Singa itu sejak tahun 1970.
Liz dikabarkan akan memangkas pajak sebesar 45 miliar poundsterling atau senilai US$ 48 miliar dan menghapus pajak penghasilan tertinggi bagi mereka yang berpenghasilan tinggi
Baca Juga: Ketentuan Pemilihan KLU Wajib Pajak Disempurnakan
Mengutip cnnindonesia.com, Kebijakan tersebut dinilai tidak tepat dilakukan saat ini karena bertentangan dengan kebijakan moneter. Apalagi, dengan memangkas tarif pajak justru membuat nilai tukar poundsterling anjlok ke level terendah.
Untuk itu, IMF meminta pemerintah Inggris mengevaluasi kebijakan pajaknya, serta menyarankan untuk menggunakan anggaran pada November untuk memberi dukungan kepada masyarakat yang tepat sasaran.
Bantuan Sosial Lebih Efektif
Senada dengan IMF, Bank Dunia juga memandang pemberian batuan tunai dinilai sebagai skema paling pemberian bantuan yang paling efektif untuk merespons tingginya inflasi dan menjaga daya beli masyarakat.
Pendapat Bank Dunia itu disampaikan dalam konteks pandangannya terhadap kondisi ekonomi di negara Asia Pacific termasuk di dalamnya Indonesia.
Mengutip Kontan.co.id, melalui laporan yang berjudul East Asia and The Pasific Economic Update edisi Oktober 2022, Bank Dunia menghitung, pemerintah Indonesia bisa menghemat biaya fiskal hingga 0,6% produk domestik bruto (PDB) dengan skema ini.
Baca Juga: Insentif Pajak Tambahan Untuk Wajib Pajak Penerima Fasilitas KITE Dicabut
Namun demikian, tidak semua negara bisa menggunakan skema bantuan tunai karena beberapa alasan.
Pertama, banyak negara yang tidak memiliki infrastruiktur penyaluran dana yang memadai, termasuk di dalamnya data yang detail, by name by adress, terkait penerima bantuan. Misalnya di Thailand, kurang dari separuh penduduk miskin yang memiliki kartu kesejahteraan sosial yang diperlukan.
Kedua, pemberian bantuan sosial jadi tidak bisa dinikmati merata, karena ada kemungkinan masyarakat yang sedikit berada di garis kemiskinan tidak termasuk ke dalam daftar penerima, padahal sama-sama merasakan dampak tekanan inflasi.
Ketiga, subsidi yang diberikan pemerintah, bisa menciptakan kontrol harga yang dapat melindungi perusahaan dari kenaikan biaya produksi pasca Covid-19.
Keempat, bantuan yang tepat sasaran masih tetap menyundut inflasi terutama bagi negara yang memiliki otoritas moneter yang kurang kredibel dalam menjangkar ekspektasi inflasi. (ASP)