Transfer Pricing & Nasib Konsensus Pajak Global di Tengah Konflik Geopolitik
MUC Tax Research Institute
|
Monday, 30 May 2022
Konflik geopolitik dan inflasi global tak hanya memicu krisis rantai pasok dan krisis energi, tetapi juga menutup akses pasar usaha di sejumlah kawasan yang berdampak serius terhadap kebijakan transfer pricing dan berpotensi menghambat konsensus pajak global.
Sudah lebih dari dua bulan Rusia menginvasi Ukraina. Berbagai penolakan, kecaman, hingga sanksi ekonomi dari Amerika Serikat (AS) dan para sekutu NATO-nya ibarat pepesan kosong bagi Rusia. Vladimir Putin justru semakin liar saja dalam mengerahkan armada Beruang Merah untuk membombardir negara tetangganya. Perang dua saudara eks Uni-Soviet itu kini semakin menggila hingga memicu krisis energi dan inflasi di berbagai negara, menyusul melambungnya harga-harga komoditas secara global.
Meski ekonomi Rusia dan Ukraina menyumbang kurang dari 2% PDB dunia, namun keduanya merupakan produsen penting komoditas utama dunia, seperti gas, gandum, dan kalium. Perseteruan kedua negara bertetangga ini lantas meningkatkan kecemasan publik dunia yang selama ini sangat bergantung pada pasokan komoditas-komoditas tersebut.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) meramalkan konflik Rusia-Ukraina yang berkepanjangan tidak hanya dapat meningkatkan inflasi tetapi juga berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi global lebih dari 1,08%. Pengikisan ekonomi terparah mungkin akan terjadi di wilayah Eropa dan AS, yang masing-masing berpotensi susut 1,04% dan 0,88%.
Konflik geopolitik dan inflasi global ini menjadi perhatian serius para pengambil kebijakan dan dunia usaha. Terutama perusahaan-perusahaan multinasional yang tidak hanya dihadapkan pada ancaman krisis rantai pasok dan krisis energi, tetapi juga tertutupnya akses pasar di sejumlah kawasan.
Campur tangan AS dan Eropa di perang Semenanjung Krimea, dengan membekukan aset dan perusahaan taipan-taipan Rusia, membuat berang Kremlin. Rusia mengancam akan mengambil hak Intelektual Properti (IP) merek-merek global yang hengkang dari wilayahnya. Hal ini akan berdampak serius pada kebijakan penetapan harga transfer transfer pricing (TP) perusahaan-perusahaan multinasional.
Tidak hanya itu, perselisihan Rusia-Ukraina juga dapat mempengaruhi agenda-agenda penting di berbagai forum internasional. Salah satunya nasib konsensus pajak global dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang tahun ini Bali, Indonesia menjadi tuan rumah.
Beberapa bulan sebelum pelaksanaan, Paman Sam bersuara lantang menolak kedatangan Vladimir Putin dan perwakilan Rusia dalam pertemuan tahunan pempimpin 20 negara ekonomi terbesar di dunia itu. Sementara, Rusia merupakan salah satu dari 141 negara anggota Inclusive Framework OECD yang dapat mempengaruhi jalannya diskusi dan tercapainya kesepakatan pajak global.
Konsensus pajak global saat ini berfokus pada dua pilar yang diharapkan bisa disepakati sebagai solusi bersama dalam menghadapi tantangan perpajakan yang semakin dinamis di era ekonomi digital.
Pilar pertama berisi tentang hak pemajakan bagi negara yang menjadi lokasi pemasaran perusahaan multinasional. Dalam hal ini, setiap perusahaan multinasional yang memiliki peredaran usaha secara global di atas 20 miliar euro harus mengalokasikan kembali lebih dari 25% keuntungannya di yurisdiksi tempat pelanggan atau pengguna jasanya berada.
Sedangkan pilar kedua, menekankan pentingnya upaya bersama dalam menghindari terjadinya erosi pajak global atau Global Anti-Base Erosion (GloBE). GloBE mensyaratkan penerapan pajak penghasilan (PPh) korporasi dengan tarif minimum sebesar 15%. Pajak minimal tersebut menyasar semua perusahaan multinasional dengan peredaran usaha lebih dari 750 juta Euro setahun.
Negara-negara G20—termasuk Rusia—sebetulnya sudah menyepakati konsensus dua pilar pajak global mulai diterapkan tahun 2023. Namun, konflik yang meluas bisa saja menghambat pelaksanaan, mengingat sebagian besar klausul di Pilar 1 dan Pilar 2 harus dituangkan dalam perjanjian multilateral yang juga melibatkan Rusia.
Pemerintah Indonesia sebagai presidensi pertemuan G20 tahun 2022 tentu tidak ingin melewatkan momentum konsensus pajak digital ini terganggu masalah geopolitik. Selain kredibilitas sebagai tuan rumah yang dipertaruhkan, konsensus global sangat diharapkan Indonesia bisa tercapai karena menciptakan sumber penerimaan pajak baru.
*Penulis: Asep Munazat Zatnika (Researcher MUC Tax Research Institute)
*Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan kmencerminkan sikap institusi di mana penulis bekerja.
*Artikel telah terbit di Kumparan.com (27 Mei 2022)
Kumparan.comDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.